12 April 2013

Tragikomedi Rakyat

30 Juli 2004 - 12 April 2013

Yang paling tragis dan menyedihkan menyayat hati, sekaligus konyol dan bersifat ketolol-tololan dari tragikomedi kehidupan sesuatu objek bernama 'rakyat' adalah; mereka suka, gemar, perlu, butuh, cinta, berhasrat, kecanduan, ketergantungan, dan sakau menggelepar-gelepar untuk menipu, membohongi, mempertolol, dan menggobloki dirinya sendiri hingga detak kesadaran yang terakhir.

28 August 2012

Jiwa Merdeka

16 Juni 2006 8:42:45

Segala yang sejati hanya tumbuh dari jiwa yang merdeka.

Jadilah Murtad

22 Juli 2006 0:41:47

Agama, walaupun tidak seluruhnya, benar-benar menggobloki umat manusia. Menggobloki dalam segala hal dan semakin goblok sang manusia, maka semakin ia tertungging-tungging pada agama - yang mana akan semakin dan semakin menggoblokinya lagi.

Kukatakan tidak seluruhnya, karena memang bahkan dalam suatu agama pun, tidak secara keseluruhan agama itu bersifat menggobloki. Dari aliran yang satu ke aliran yang lain memiliki perbedaannya masing-masing, bahkan antara pemuka yang satu dengan pemuka yang lain pun punya tingkat menggobloki yang berbeda-beda.

Yang sulit adalah ketika pengetahuan telah memiliki cap sebagai salah satu sumber dosa berat. Maka sejak saat itu orang akan terseret-seret dalam ketakutannya, menjadi goblok dan sedemikian setia kepada kegoblokannya itu sehingga ia merelakan diri untuk menjadi semakin goblok dari hari ke hari.

Ada yang mendalilkan bahwa mencoba untuk mempelajari agama sebagai dan melalui sudut pandang sejarah adalah suatu dosa - dengan dasar berbagai macam alasan yang bolak-balik bersumber dari buku-buku tua nan usang bau ompol bernama kitab suci. Pengetahuan yang bersarang di dalam kepala seseorang lantas tinggal menjadi monopoli sang agama, dan dengan demikian kebenaran baginya pun sebatas pada batas-batas yang ditentukan oleh sang agama. Hasilnya adalah manusia-manusia yang KERDIL, PENAKUT, GOBLOK, TOLOL, DUNGU, dan sedemikian bangga - dengan disertai ketakutan - atas gelar-gelarnya itu sehingga mereka berlomba-lomba untuk semakin dan semakin KERDIL serta DUNGU. Sejauh yang mereka mampu.

Mereka mengaduk-aduk antara iman dengan sejarah, iman dengan ilmu pengetahuan, iman dengan politik, iman dengan hukum, bahkan mereka gunakan iman mereka sendiri dalam melihat manusia lain dengan iman yang berbeda. Menjadi sebuah pertunjukkan tragikomedi yang berputar-putar dengan cerita masyarakat dengan KEKERDILAN dan KEDUNGUAN kolektif.

Pada seseorang telah kukatakan bahwa sejarah adalah sejarah dan iman adalah iman. Jangan pernah kau melihat sejarah sebagai suatu objek untuk imanmu, dan sebaliknya kau boleh memegang teguh imanmu, tapi jangan pernah kau mengklaim kebenaran sejarah dengan dasar imanmu itu.

Tetapi siapalah aku dengan kata-kataku itu, dibandingkan dengan orang yang telah berhasil mencuci otaknya, mengisinya dengan kebohongan, menggoblokinya, mempertololnya, memperkosa logikanya, memberangus nalarnya, dan memasung keberanian berpikirnya - hingga ia menjadi manusia yang KERDIL lagi DUNGU.

Ia tetap membaca sejarah dengan imannya, dan tetap menganggap imannya adalah sejarah. Ia pun melihat ilmu pengetahuan melalui imannya, dan ia anggap imannya adalah ilmu pengetahuan. Kemudian ia mencari-cari pembenaran bagi KEDUNGUANNYA itu dengan cara yang KERDIL, kemudian ia bela pendiriannya dengan menyelipkan iman ke manapun ia bisa menyelip dengan cara mengambil bocat-bacot dari kitab-kitab omong kosongnya. Setelah itu ia kebingungan sendiri karena logika yang mampet dan nalar yang terpasung, maka ia menutup mata dan menjadi tuli, seraya berdoa meminta ampun karena telah mendengar kata-kata setan bin iblis, terakhir - ia menjadi bangga karena telah sekali lagi berhasil menjaga dirinya supaya tidak keluar dari lingkaran KEKERDILAN dan KEDUNGUAN.

Tinggalkan agama, jadilah murtad dan pendosa, maka matamu kan terbuka.

Di Sebuah Gang

11 Mei 2006 04:26:03

Dalam gang gelap sempit orang tidur berserakan. Di teras-teras rumah kecil, di emperan, bersama nyamuk dan lembab udara malam. Diselingi tikus-tikus got berlarian.

Di sana orang yang tersingkir mengadukan nasib pada mimpi-mimpinya. Beralas kardus berselimut kain rombeng.

Dua puluh tahun pengabdiannya tak memiliki arti apapun ketika ia berbalik menolak pemiskinan atas nama pembangunan yang sejatinya hanya penumpukan kekayaan di lain tempat. Dua puluh tahun tenaga dan keringat yang dikeluarkannya terlupakan begitu saja, ketika dalam nama efisiensi dan revitalisasi tiga ratus orang tercerabut dari hak hidupnya.

Bahkan kemiskinan telah merenggut tempat tidurnya.

Manusia

12 April 2006 17:43:47

Ialah mahluk yang dipenuhi dengan kebohongan dan penipuan diri, yang ingkar terhadap nalar dan keyakinannya, yang bermuka-muka dan sarat akan kemunafikan.

Penjilat-penjilat pantat sejati yang hanya mampu mengemisi keselamatan diri seraya menikam siapapun dari belakang ketika kesempatan untuk itu tiba. Jahanam sejati pengkhianat kebenaran, yang menjilat ludahnya sendiri, yang tidak henti-hentinya melacurkan jiwanya, yang tunduk dan takluk kepada ketakutan. Keparat hina-dina penyembah kepalsuan.

Kitalah mahluk terkutuk itu. Kitalah sang lacur.

Orang-orang Kesepian

15 Mei 2006 23:38:06

Seperti bulan yang mengambang sendirian di langit hitam, ada orang-orang yang ditakdirkan untuk menjadi orang yang kesepian. Tak dimengerti dan terasing, berkawan mimpi dan harapan. Tenggelam dalam penantian dan kesunyian.

Aku Ingin Pergi

17 Juni 2006 12:06:22

Aku ingin pergi. Pergi jauh entah ke mana. Melintas jalan-jalan panjang merengkuh jarak, berpayung langit berkawan diri. Menjenguk bintang di atas samudra, membelai mentari membakar bumi, mereguk sayat dingin angin pegunungan.

Aku sungguh ingin pergi. Melarikan diri dari kepalsuan dan kepengecutan ini, tempatku seharusnya bukan di sini. Aku bukan anjing peliharaan, aku bukan hamster yang goblok atau kucing persia yang tolol. Aku adalah tikus liar, aku adalah anjing pengembara, aku adalah camar.

Aku sungguh sangat ingin pergi.

Terbitlah!

21 Juni 2006 2:34:32

Gelap.

Terbitlah! Terbitlah hai matahari. Terangilah segala, perlihatkan pada bola mataku, tunjukkan padaku semuanya. Kenyataan itu, kebenaran, apa yang tersembunyi dalam rahasia kegelapan.

Aku siap! Kuhadapi apapun. Apapun yang kau perlihatkan. Apapun kenyataan itu.

Maka tunjukanlah, bukalah sang tabir, koyaklah malam, berpijarlah engkau, bakarlah sang fajar. Terangi.

Perlihatkan padaku!

Bau Anyir Darah

18 Juni 2006 4:47:44

Jejak-jejak darah yang ditinggalkannya belum lagi hilang. Bau anyirnya pun masih mengambang di udara. Mayat-mayat yang mati penasaran masih berserakan di dalam kuburnya masing-masing, di pojok-pojok kampung, dan di tempat-tempat yang tidak diketahui lagi oleh manusia manapun. Arwahnya berkeliaran di pinggir jalan desa dan kota, di tengah perkebunan dan sawah, di pojokan rumah kumuh, di balik jeruji penjara, di tepi pelabuhan, di tanah negeri ini.

Pembantaian demi pembantaian sejak empat puluh satu tahun yang lalu, yang masih berlumuran darah dan belum terurai menjadi tanah. Lenyapnya jutaan manusia, pemelaratan abadi, penganiayaan demi penganiayaan, penyiksaan, dan perbudakan; atas jasa Yang Terhormat Jenderal Soeharto.

Aceh, Timor, dan Papua, Pulau Buru, Maluku, Tanjung Priok, Bali, dan segala tempat di Nusantara. Di Jakarta dan di setiap kampung-kampung dari kepulauan ini. Darah berceceran, darah membalut tanah, bola-bola mata yang penasaran tersembul dari kepala yang telah menemui ajal.

Ajal yang terjadi karena pembantaian dalam nama kekuasaan dan pembangunan, dalam nama profit dan persatuan dan kesatuan, dalam nama stabilitas nasional. Dalam nama keabadian cengkeraman kuku kekuasaan Haji Muhammad Soeharto!

Dan kini orang berebut bacot tentang maaf untuknya. Orang meminta pertimbangan akan jasa-jasa yang telah dilakukannya. Agar kesalahannya dilupakan, dan ia dibiarkan mati dengan tenang. Anjing-anjing itu memintakan maaf baginya, ketika kita semua masih menginjak genangan darah dan menghirup bau anyir bangkai-bangkai manusia yang pernah dibantainya!

Oo! Biarlah seluruh api neraka tertuang ke dalam surga!!

Tentara memang bertugas untuk menembak dan menghabisi nyawa musuhnya, dan pemimpin memang harus berkepala dingin. Tetapi Jenderal atau pemimpin sekalipun kukira adalah manusia, manusia yang mempunyai kemanusiaan, logika, nalar, nurani, dan hati.

Ternyata justru mereka, Jenderal-jenderal kita yang terhormat, dan pemimpin negeri ini, memiliki hati yang membatu, otak yang membatu, logika dan nalar seekor keledai, nurani yang membusuk, dan kemanusiaan yang telah mati tertindih kuasa dan harta.

Dengan tenang dan dingin, dengan penuh wibawa dan kebapakan, dengan anggunnya mereka meminta, untuk memberi maaf kepada seorang manusia yang demi kekuasaannya telah membasahi setiap jengkal tanah bangsa ini dengan darah!

Apa yang ada di dalam kepala keledai-keledai itu?!

Mungkin karena itulah, langit malam di kota ini selalu memerah. Karena darah masih menguap bersama bau anyir mayat, dan arwah-arwah penasaran masih menunggu keadilan dan kebenaran.

Tetapi Jenderal dan pemimpinku, tenanglah karena aku tau kau takkan mampu dan tak bernyali untuk mengadilinya, karena hal itu akan sama saja dengan mengadili bapakmu sendiri. Tenanglah, karena aku tak akan mengemisi pengadilan baginya kepadamu, aku tak akan menuntut kau menghentikan bacotmu. Biarlah kekuasaanmu memaafkannya, biarlah kau menunaikan baktimu yang terakhir sebelum ia mampus dengan tenang.

Tetapi Jenderal dan pemimpinku, adalah tangan anak-anak bangsa ini sendiri yang akan mengadilinya, merenggutnya dari damai kematian, dan mendudukannya kembali di atas kursi pesakitan abadi.

Dan ingatlah Jenderal, bahwa sejarah tidak pernah mengenal maaf. Maka tunggulah, ketika waktu akan mengadili bapakmu dan kau sendiri, mempertemukan kalian dengan arwah penasaran dari orang-orang yang pernah kalian bantai.

Demi sebuah perhitungan!

Lembah Mandalawangi

02 Juli 2006 ??:??:??

Angin dingin merajam tubuh, lelah mengoyak raga, matahari terik membakar kulit, dan bau badan bagai neraka.

Langit biru, awan mengambang, kabut membelai bumi, cakrawala menggantung jauh, hening yang sakral, hangatnya mentari pagi, mata air jernih sumber kehidupan, jutaan eidelweis, embun membeku, dan milyaran bintang.

Di sini waktu terhenti.

Puncak Salak I #4

29 April 2008 16:41:16

22 - 25 April 2008

Naik Cidahu turun Cimalati.

Bersama tiga orang kawan pesta hutan, bersama lumpur duri pacet lumut batu angin kabut gerimis semuanya semuanya.

Ciremai 3078 mdpl

8 Januari 2008 13:08:34

Beberapa hari sebelum tahun baru, perasaan ingin melarikan diri ke dalam hutan-hutan gunung semakin kuat. Memang sudah lama aku tak pergi ke sana karena hal ini dan hal itu dan hal-hal lainnya. Kuajak beberapa teman, tidak ada yang mau atau bisa. Lalu kuajak sebanyak-banyaknya teman, tetap saja demikian adanya. Akhirnya setelah sedikit tawar menawar, jadilah ditetapkan tanggal 3 sampai 7 Januari 2008, dengan peserta akhir sebanyak 3 orang.

Sejak awalnya ajakanku adalah untuk mendaki gunung Ciremai di Kuningan, dekat Cirebon, hampir di ujung Jawa Barat. Dan sebenarnya sudah lama pula aku merencanakan ingin pergi ke gunung Ciremai ini, sudah dari jauh-jauh hari kusiapkan rangkuman catatan-catatan perjalanan yang dibuat orang, sekaligus untuk tiga jalur. Ditambah lagi, salah satu dari antara dua temanku ada yang sudah pernah dua kali mendaki gunung tersebut lewat jalur Linggajati, walaupun kedua-duanya selalu hanya sampai pertengahan jalan. Tetapi bahwa ada yang tau dengan pasti bagaimana cara mencapai titik awal pendakian, dan kurang lebih tau jalur perjalanan hingga pertengahan jalan adalah merupakan keuntungan yang besar.

2 Januari 2008: Di sebuah warung.

Kami bertiga bertemu, makan sebentar, membicarakan rencana, dan diteruskan di kamar kosku, kemudian berbelanja kebutuhan-kebutuhan. Dari hasil pembicaraan, disepakati untuk mendaki lewat jalur Linggajati. Setelah itu satu orang menginap di kosku, dan satu orang lainnya, karena salah pengertian tentang kapan akan berangkat, pulang mengambil barang-barangnya dan baru kembali besok paginya.

3 Januari 2008: Dari kamar kosku menuju Linggajati.

Sesudah makan nasi padang ketika mata masih belekan dan bangun kesiangan, kami bertiga sudah ada di kamarku lagi, mengepak barang-barang bawaan, dan menuju pinggir jalan besar. Kami menunggu bus jurusan terminal Lebak Bulus, tetapi setelah menunggu berabad-abad lamanya tak juga muncul, akhirnya pukul 13:30 kami naiki saja bus jurusan terminal Kampung Rambutan dengan jaminan cap jempol darah di atas materai dari sang kondektur bahwa di sana akan ada bus jurusan Kuningan.

Tak sampai terminal Kampung Rambutan, di (kalau tidak salah) perempatan Halim kami turun dan menunggu sebentar ditemani hujan gerimis. Bus jurusan Cirebon muncul, menebar propaganda sesat bahwa sang bus akan ke Kuningan juga, dan kami terperdayai. Tiga puluh lima ribu rupiah dikali tiga sama dengan seratus lima ribu ditawar goceng jadi cepekceng. Pukul 14:35 mulai jalan dan sampai di terminal Cirebon pukul 19:00, langsung dioper ke bus jurusan Kuningan yang tetap saja meminta tambahan ceban dari kami.

Sekitar 19:45 turun di "Pertigaan Linggarjati" dan langsung disambut oleh tukang ojek yang segera mengerti arah, tujuan, dan maksud, serta niat kami dari barang bawaan yang ada di punggung kami. Setelah menyempatkan diri kencing di sembarang tempat, kami tunggangi juga ojek-ojek itu, berbelok ke kanan jalan dan kemudian entah ke mana lagi tidak kuperhatikan betul. Tujuh ribu perak seorang, diberi murah karena sudah malam. Katanya.

20:00 kami tiba di Pos Pendakian yang berada di sisi kanan jalan; desa Linggajati, kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, 640 mdpl. Mengisi buku tamu dan membayar karcis masuk pendakian. Enam ribu lima ratus rupiah ditambah gopek tun untuk "Karcis Sumbangan Pembangunan Jalan Jalur Ciremai Desa Linggajati".

Setelah itu kami makan, dan pergi menumpang tidur di belakang warung.

4 Januari 2008: Hujan pagi-pagi dan angin kencang sore-sore.

Kami bangun dan makan lagi di warung depan sambil menunggu hujan reda. Setelah hujan reda kami pergi ke warung lain untuk membeli sayuran; sedikit berjalan ke atas, belok kanan di pertigaan, sang warung ada di sebelah kanan. Pemilik warung ini sebenarnya masih sama-sama saja dengan warung yang ada di sebelah Pos Pendakian tempat kami makan tadi. Kami beli segelondong tempe, seiket kacang panjang, seiket caisim, dan tidak boleh lupa bawang merah bawang putih.

Barang-barang yang baru dibeli dimasukkan ke dalam kerier, dan pukul 8:30 pagi kami mulai berjalan menanjak menyusuri jalan aspal lurus ke atas. Jalan akan mentok di sebuah tempat di mana terletak bangunan yang mirip-mirip vila bergaya pura Bali dengan topeng kepala gajah di pintu gerbangnya. Di sana jalan terbagi dua ke arah kanan dan kiri bangunan, pendakian menggunakan jalan yang ke arah kanan.

Jalan berubah menjadi berbatu-batu yang sedikit bercampur tanah, menanjak lagi ke atas menyusuri jalan yang perlahan-lahan berubah menjadi jalan tanah dengan sedikit batu-batu besar di atasnya. Di samping kanan-kiri jalan masih terdapat rumah-rumah dan warung penduduk, hingga tiba di sebuah tempat yang disebut "Pos Pemeriksaan" alias Cibunar, 750 mdpl. Di sini ada banyak warung, dan di bagian kanan beberapa belas meter ada sebuah penampungan air dari sumber yang tak berhenti. Di sini air resmi dan legal serta berlimpah terakhir yang bisa didapatkan di jalur pendakian Linggajati.

Sepanjang jalan kami menyempatkan beristirahat sebentar di beberapa titik, terutama aku yang selalu keteteran jalan paling belakang. Di tempat ini pun kami duduk sebentar di balé panjang dari bambu sambil bertegur sapa dengan orang-orang yang ada di pos. Mereka katakan di atas sering badai, ada yang sudah mencapai tanjakan Binbin tetapi turun lagi karena badai, dan mereka sedang menunggu peserta DikSar yang sakit dan mereka sebut "korban" turun dari atas. Sedikit serem, tapi kami cengengesan dan senyum-senyum aja.

Dari titik ini jalan terbagi dua lagi ke arah kiri, satu jalan langsung (sebelum "Pos Pemeriksaan") membelok datar ke kiri (ini kemungkinan menuju perkebunan penduduk) dan jalan satunya lagi terletak sesudah "Pos Pemeriksaan" (di samping kanannya) membelok menanjak ke kiri. Jalur pendakian menggunakan jalan yang kedua, yang menanjak.

Kembali lagi aku berada di urutan terakhir dari rentetan tiga orang sontoloyo ini, ngos-ngosan menapaki jalur setindak demi setindak. Memasuki hutan pinus yang perlahan-lahan berganti menjadi perkebunan pisang. Jalan berupa tanah merah keras yang licin ketika basah dengan sedikit batu-batu, sering agak tertutup oleh semak-semak tetapi tetap jelas terlihat.

Tiba di suatu tempat bernama Leuweung Datar, 1200 mdpl, berupa lapangan datar di mana terdapat sebuah warung di sana. Bertegur sapa dengan seorang ibu tua yang ada di depan warung, tetapi kami tidak beristirahat lama di sana karena sebelumnya baru saja mengambil waktu istirahat di bawah. Jalan diteruskan menanjak memasukki hutan.

Mencapai Condang Amis di ketinggian entah berapa yang berbentuk lapangan yang lebih luas lagi dan dapat diisi berbelas-belas tenda, kemudian Kuburan Kuda di ketinggian 1450 mdpl, Pangalap 1600 mdpl, dan Ceblokan . Jalur dapat terlihat dengan mudah, berupa tanah merah licin, kadang disertai akar pohon yang bisa dijadikan pegangan, dan kadang hampir tidak ada akar pohon sehingga jalur menjadi longsor dan tidak ada yang dapat dipegang, di beberapa tempat ditingkahi oleh pohon-pohon tumbang.

Di suatu tempat terbuka yang luas kami berhenti, mengeluarkan kompor dan memasak tiga mie instant untuk makan siang singkat siang hari ini. Setelah selesai makan dan mulai berjalan lagi, kadang turun gerimis dan kadang berubah menjadi hujan walaupun tidak besar, cukup untuk membuat pakaian dan sepatu menjadi basah, kerier menjadi lembab, dan badan kelelahan.

Setelah melalui Tanjakan Binbin, hari sudah sore dan aku mengusulkan untuk mencari tempat membuka tenda, dengan kriteria utama terlindung dari angin yang mulai terdengar menderu-deru. Sepertinya sedang badai di atas sana. Setelah menanjak beberapa jauh, kami temukan sepotong tempat yang sungguh layak di bagian kanan jalur. Tenda dibuka, menguras isi kerier, dan kemudian masing-masing berganti pakaian. Ada yang di dalam tenda, dan aku sendiri berganti pakaian di samping luar tenda, unik juga rasanya bertelanjang bulat di tengah hutan belantara, walaupun mungkin hanya sekitar satu atau dua detik saja.

Posisi tidur diatur, dan acara selanjutnya adalah minum teh manis hangat untuk menenangkan perut-perut yang kedinginan ini.

Ketika hari mulai gelap kami mulai menyiapkan makan malam. Menyiapkan lauk, memasak nasi, sambil memasak lauknya. Ya, nasi putih, tumis kacang panjang dengan tempe, plus mie instant kuah telur dengan caisim.

Semakin malam, ternyata angin masih saja kencang menembus sela-sela pepohonan, tulangan tenda sampai agak membengkok ketika angin bertiup. Karena kuatir di tempat ini pun akan terjadi badai, kutarik tali mengikat kaki-kaki tulang tenda dan tujung-ujung flysheetnya ke pohon-pohon di sekitar. Selanjutnya kami tidur, dan aku sendiri tak sekalipun bangun lagi sampai pagi.

5 Januari 2008: Pagi di tengah hutan hingga Pengasinan.

Sepanjang perjalanan ini kami sering sekali menghitung-hitung air yang kami bawa. Total ada delapan botol air 1,5 liter yang kami bawa. Bahwa tiap kali masak akan membutuhkan sekitar satu botol atau kurang sedikit, bahwa setiap kali perjalanan akan membutuhkan segini banyak air minum, dan sisanya ada segitu yang dapat dibawa, sehingga berarti masih ada kesempatan menginap sekian hari lagi.

Sudah pagi, dan bahkan dapat dikatakan kesiangan, sekitar pukul sembilan satu persatu bangun, berkicau-kicau karena matahari muncul dan angin sudah mereda, menjadi optimis karena ada sebagian langit yang membiru di atas sana. Kesempatan untuk menjemur barang-barang dan pakaian yang basah atau lembab terkena hujan.

Maka kami makan. Nasi putih, tumis kacang panjang dicampur telur, dan tempe goreng mentega yang garing wangi dan agak asin. Nikmat. Setelah makan dan membereskan barang-barang yang akan dimasukkan ke dalam kerierku, kusempatkan mencari sepojok tanah agak masuk ke dalam hutan, menggali lubang dengan sekop kecil, memelorotkan celana, dan mengeluarkan isi perut. Dua kali kenikmatan.

Barang dan tenda sudah dimasukkan ke dalam kerier masing-masing, sampah-sampah sudah dikumpulkan dan sebagian yang dapat dibakar sudah dibakar, sekitar pukul 12:00 kami mulai berjalan kembali menanjak ke atas. Sayangnya, mendung dan kabut datang kembali seiring kami mulai berjalan.

Yang pertama adalah tanjakan Seruni 1800 mdpl, diikuti Tanjakan Bapatere 2000 mdpl. Berbeda dengan Tanjakan Setan di gunung Gede yang benar-benar terasa menanjak, ketiga tanjakan ini (dengan Tanjakan Binbin pada hari sebelumnya) seingatku tidak terlalu berbeda jauh dari tanjakan-tanjakan lain yang berserakan di jalur Linggajati ini, sama-sama licin dan sama-sama terjal.

Setelah tanjakan-tanjakan itu, bertemu dengan Batu Lingga di ketinggian 2250 mdpl, di mana terdapat sebuah plakat pengingatan terhadap pendaki yang tewas di gunung ini. Selanjutnya adalah Sangga Buana I dan kemudian Sangga Buana II di ketinggian kurang lebih 2500 mdpl. Ketiga tempat tersebut berupa tanah datar yang agak luas dengah sampah di sana-sini dan dapat digunakan untuk membuka tenda.

Sebenarnya, seringkali aku tidak menyadari bahwa aku tengah berada di mana, karena sebagian besar tanda-tanda nama tempatnya telah hilang entah ke mana. Ketika kulewati jalur Linggajati ini, yang masih nangkring pada tempat seharusnya hanya tanda nama tempat Ceblokan, Tanjakan Binbin, Tanjakan Bapatere, Batu Lingga, Sangga Buana I, dan Sangga Buana II.

Hari ini jalur mulai berubah, dari tanah merah yang licin dan seringkali gembur, menjadi tanah berpasir yang kadang berbatu-batu. Aku lupa tepatnya di titik mana perubahan jalur ini dimulai.

Setelah menanjak terus dari Sangga Buana II, jenis pepohonan mulai berubah, pohon-pohon tidak terlalu tinggi lagi, dengan batang berlumut dan bercak putih. Pasir, batu gelondongan, dan batu endapan semakin mendominasi jalur.

Menjelang sore kami melewati Pengasinan, 2750 mdpl. Pohon-pohon Edelweis sudah terlihat. Tidak sedang berbunga sekarang, hanya ada daun-daun menyerupai paku yang hijau segar. Angin sudah kembali menderu-deru dan udara sangat lembab. Di suatu tempat kami beristirahat duduk di bebatuan dan tiba-tiba gerimis turun, langsung diikuti hujan yang cukup deras.

Kami agak kecewa, tetapi perjalanan tetap kami lanjutkan. Semakin ke atas angin semakin kencang, suhu menjadi semakin dingin, dan kami sepakat untuk berjalan terus ke atas mencari tempat yang layak untuk membuka tenda.

Melewati jalur yang sempit seperti retakan bumi, menyusuri punggungan tipis dengan kanan kiri jurang yang hanya terlindung pepohonan pendek, merambat pelan-pelan karena jari tangan mulai mati rasa dan kami sering berhenti serentak ketika angin bertiup kencang menyapu jalur.

Setelah naik cukup jauh sekilas di balik kabut terlihatlah puncak punggungan lain yang harus dilalui untuk menuju puncak, ternyata masih jauh, dan melihat keadaan jalur yang sekarang melulu pasir berbatu dengan pohon-pohon kecil yang tidak dapat melindungi tenda dari angin, kami memutuskan untuk turun kembali ke titik awal di mana hujan tadi mulai turun. Di sana di sisi kanan jalur (dilihat dari arah naik) ada sebuah lembahan kecil yang tampaknya cukup terlindung.

Maka kami turun kembali, melewati lagi jalur-jalur berpasir, sampai bertemu titik pertigaan yang dimaksud. Menyusuri jalan setapak kecil menurun ke arah kiri (dilihat dari arah turun), sampailah kami di tempat yang dimaksud.

Membungkuk pun sudah sulit dan jari-jari tangan ini sudah tidak becus lagi membuka ikatan-ikatan tali, tetapi akhirnya tenda berdiri juga. Secepatnya memasukkan barang-barang dan berganti pakaian.

Beberapa meter dari tenda kami terdapat sebuah tebing batu putih yang menyerupai lelehan lahar yang telah membeku. Di beberapa bagiannya terdapat cekungan-cekungan kecil yang menampung air hujan. Ketika kami datang persediaan air masih cukup banyak, tetapi ketika pada akhirnya kami berniat mengambil air, ternyata tinggal ada sedikit air yang tersisa. Rupanya sebagian besar cekungan di tempat ini tidak dapat menampung air (merembes), dan air-air yang sedikit itu pun hanya akan muncul tepat setelah hujan.

Hanya kurang dari satu botol air minum 1,5 liter air yang kami dapatkan. Setelah disaring, yang pertama dilakukan dengan air tersebut adalah membuat minuman wedang jahe.

Makan malam mengekor wedang jahe, dengan menu nasi putih, (lagi-lagi) tumis kacang panjang, ikan mackerel, dan mie instant goreng dengan telur dan caisim. Tetap saja nikmat.

Tetapi sebelum makan, kupermak dulu ventilasi tenda ini, kututup dengan kain parasut tambahan yang kubawa dan mengganjal pasak-pasak tenda dengan batu.

Persediaan air kembali dihitung-hitung. Setelah masak ada sisa dua botol air minum 1,5 liter. Ditambah dengan panci bersih yang diletakkan menganga di luar tenda untuk menampung air apapun yang mendarat ke dalamnya. Setelah ditimbang-timbang, keputusan diambil, dengan alternatifnya jika keadaan ternyata berbeda.

Dan malam itu kami tidur bergeseran ke samping karena posisi tenda yang ternyata agak miring.

6 Januari 2008: Angin dan kabut bersenda gurau.

Panci tempat menampung air yang diletakkan di luar tenda ternyata tidak menampung apapun karena hujan tidak turun semalaman. Hari cerah, matahari bersinar kembali, langit membiru manis, angin hanya menderu sesekali, dan seekor burung hitam berparuh kuning menggoda kami bertiga.

Lagi-lagi kami bangun agak kesiangan. Menyempatkan diri menguras isi perut lagi, menjemur lagi barang-barang yang basah, dan mulai memasak lagi. Menu kali ini tidak begitu menarik, hanya mie instant kuah dengan caisim.

Di sini kami sempat bertemu dengan kelompok pendaki lain dari Bekasi yang sedang turun. Mereka berdelapan membuka dua tenda di cerukan gua di dekat puncak. Ternyata puncak tidak terlalu jauh lagi, sekitar 40 menit kata mereka.

Sesudah makan, barang-barang mulai dibereskan, tenda digulung, dimasukkan ke dalam kerier untuk perjalanan pulang. Setelah itu kerier-kerier kami bungkus dengan satu atau dua trashbag, mengikatnya, dan menyembunyikannya di balik semak-semak.

Tetapi lagi-lagi! Seiring kami mengepak semua barang-barang, semakin siang perlahan-lahan langit mulai menjadi putih, kabut kembali turun, gerimis-gerimis lembut turun, dan deru angin mulai agak sering terdengar. Setelah semuanya selesai dan tinggal berangkat, kami sempat terbengong sesaat karena cuaca yang cukup cepat berubah seperti itu.

Bagaimanapun kami mulai berjalan. Pukul 10:50 kami kembali ke jalur utama dan mendaki lagi jalan-jalan berpasir dan berbatu yang kemarin telah sempat kami lalui. Menyusuri lorong-lorong punggungan yang sempit, mendaki lempeng terakhir kerucut besar ini. Kabut cukup tebal di sekitar kawah dan puncak, angin cukup kencang bertiup, dan langit putih pucat pasi.

Di depan kami sebongkah besar batu berdiri berlatar putih. Tak ada pohon lagi di sana, dan tak ada apapun lagi di baliknya: Puncak Ciremai. Pukul 11:25 kami telah berdiri di sana.

Begitu tiba di sana kami bertiga bersalam-salaman, kucium batu besar di pinggir kawah itu. Memandang ke berbagai tempat sekilas, tetapi tak ada apapun yang dapat dilihat. Hanya ada hamparan hijau hutan di bawah sana, siluet tebing curam beberapa puluh meter ke sisi kiri, sebentuk siluet lainnya di sisi kanan, dan sementara gigir kawah dan kawah itu sendiri hilang tertutup kabut.

Kami berlindung dari terpaan angin lembab di balik sang batu besar. Membakar sebatang racun dan mengambil beberapa foto.

Angin bertiup dari berbagai arah, dinding kawah diterpa angin berkabut, membuat kawah yang tak terlihat dasar dan seberangnya itu seperti menghembuskan asap putih dengan sangat cepat, menghasilkan suara-suara menyeramkan, dan angin berkabut bertiup ke tempat lainnya, kehilangan arah, menghasilkan putaran-putaran angin kecil di sekitar puncak.

Lendir di hidung sudah mulai mencair karena dingin, dan racun pun sudah habis terhisap, perlahan kami turun kembali meninggalkan puncak gunung Ciremai, 3078 mdpl, meninggalkan deru-deru angin yang sepertinya tengah saling bercanda dan bersenda gurau di sekitar puncak sana.

Kami turun. Mengambil kembali kerier-kerier yang telah dibungkus trashbag, dan kembali turun lagi, melintasi jalur Linggajati gunung Ciremai dengan arah terbalik dari hari-hari sebelumnya. Turun, turun, dan terus turun. Kami berhenti di tempat-tempat tertentu secara rutin, beristirahat, untuk kembali berjalan turun lagi. Melewati tanah-tanah berpasir, tanah merah berbatu, tanah merah yang gembur dan longsor, tanah liat yang mengeras tetapi licin setengah mampus, jalan-jalan tanpa pijakan, merangkak dan merosot, terpeleset, merayap, membungkuk, dan ratusan gaya lainnya dengan masing-masing gondolan di punggung kami.

Dan perlahan-lahan fisik kami mulai kelelahan. Kakiku sendiri sudah benar-benar lemah. Tempat demi tempat kami lalui, dan aku semakin kelelahan. Hingga akhirnya sore hari tiba juga di "warung" alias Leuweung Datar. Meletakkan beban, selonjoran kaki, dan hujan pun turun.

Tak ada orang yang menjaga warung ini, ibu tua yang kami temui pada awal pendakian pun tak ada. Padahal aku sempat berpikir, kalau warung ini buka, aku ingin mengajak kedua temanku untuk menginap dulu saja di warung ini untuk mengembalikan tenaga.

Setelah hujan berhenti kami paksakan melanjutkan kembali perjalanan. Memasukki hutan lagi, pohon-pohon pisang, semak-semak, rumput dan ilalang, pohon-pohon pinus, terus berbelok-belok kanan dan kiri. Di tengah jalan ini kami keluarkan senter dan mulai berjalan dengan penerangan senter. Berkali-kali aku terpeleset, lebih sering lagi hampir terpeleset, dengkul dan betis ini benar-benar kehilangan tenaga. Berkali-kali juga kutanyakan pada temanku "masih jauh kagak sih?" - rasanya mau semaput.

Beberapa kali kami berhenti dan duduk di tengah gelap malam di antara dengung nyamuk, ilalang, dan pohon pisang. Coklat tak dapat menolong lagi air minum pun sudah tinggal beberapa teguk. Di tengah jalan temanku menawarkan untuk menukar kerierku dengan miliknya yang cukup jauh lebih ringan, dan sebagian kemampuan jalan ini pulih kembali, walaupun tetap saja kepeleset, dan tetap saja betis dengkul ini sudah keok tak terkendali.

Tetapi akhirnya tiba juga di Cibunar! Kebahagiaannya sulit dibandingkan dengan kebahagiaan sewaktu mencapai puncak sekalipun. Kuletakkan gondolan, rebahkan badan, dan apapun kata bumi dan langit beserta segala penguasa dan penghuninya, aku akan bersikeras untuk menginap di sini! Dan ternyata tak ada yang protes.

Tak ada warung yang buka di sana, tetapi untung kami masih memiliki sisa bahan makanan dan di sini air berlimpah. Dengan sisa tenaga yang masih ada, kami ambil air di pancuran bak air, berganti-gantian cuci kaki-muka-dan-badan, ganti baju, mengeluarkan keperluan tidur, dan memasak. Nasi putih berlimpah, ikan mackerel, mie instant goreng dengan telur, dan perkedel kornet menjadi menu malam itu. Sungguh kenyang walau belum bisa mengusir rasa lelah ini.

Selesai makan malam, perut ini disiram lagi dengan wedang jahe, mengobrol tak tentu arah sambil menenangkan otot-otot yang masih berdarah-darah dan babak-belur. Lalu kami tidur.

Kesalahannya adalah, kami tidur di teras "Pos Pemeriksaan" slonjoran di kursi semen dan papan kayu menggunakan kantong tidur. Tak terpikirkan oleh kami bahwa tempat ini cenderung rendah dan dekat dengan perkebunan yang merupakan sarang kerajaan nyamuk. Menggunakan kantong tidur rapat-rapat ternyata terlalu panas, sehingga jadilah sepanjang malam itu kami berkelahi dan berusaha saling usir dengan nyamuk. Pertandingan berakhir remis ketika terakhir kali aku ingat masih terbangun dan melihat jam tangan: pukul 4 pagi.

7 Januari 2008: Perjuangan penghabisan sang betis dan dengkul.

Kali ini kami bangun tidak kesiangan. Cuaca cerah, tak ada apapun yang salah. Kami mulai bersiap-siap dengan santai, ada yang mandi, aku sendiri mengeluarkan isi perut lagi (senangnya), memasukkan lagi barang-barang bawaan, membersihkan tempat kami menginap, kugondol kembali kerierku sendiri dan perlahan-lahan mulai berjalan.

Walaupun sudah diselingi tidur, ternyata dengkul dan betis ini masih sangat lemah. Jalan tanah merah berbatu membelah perkebunan, sawah, rumah, dan warung penduduk menurun terus memberikan sensasi sengsara penyiksaan yang sungguh dramatis lagi memilukan serta mengenaskan pada betis dan dengkul ini.

Siksaan itu akhirnya mereda juga ketika sampai pada turunan terakhir pada pertigaan di depan bangunan dengan topeng gajah di gerbang depannya. Jalan berbatu-batu yang hancur-lebur berubah menjadi jalan aspal, sehingga kaki ini dapat lebih teratur bergerak, lebih santai, walaupun tetap saja nyut-nyut-an jika jalan bergerak menurun.

Sampai di warung sebelah Pos Pendakian, kami ngobrol sambil menunggu warungnya buka, yang ketika buka langsung kami serbu dengan pesanan makanan untuk mengganjal perut di dalam bus nanti.

Gerimis lembut mulai turun lagi, tetapi sepertinya tak akan berubah menjadi hujan lebat, maka kami berpamitan dan bergerak turun lagi, menyusuri jalan sampai pertigaan jalan besar. Naik angkot menuju jalan entah apa, di mana menurut keterangan sang sopir akan lewat bus jurusan Jakarta.

Lama ditunggu, benar saja bus yang dimaksud lewat, ketika ditanya apakah akan lewat Grogol, kondektur mengatakan ya. Dan sekali lagi kami terperdayai oleh kondektur. Ternyata bus bergerak menuju terminal Pulo Gadung, dan demi keamanan, serta kenyamanan, juga kesantaian, dan tidak lupa kecuekan, kami bertiga turun menunggu sang bus mentok di Pulo Gadung.

Dari sana seorang teman melanjutkan ke Bekasi, satu lagi bersamaku ke Grogol untuk melanjutkan menuju Pluit, aku sendiri berjalan kaki menyeberang jembatan penyeberangan, yang lagi-lagi menjadi siksaan mematikan untuk dua sejoli betis-dengkulku. Berjalan lagi bermandi keringat, untuk akhirnya tiba di kamar kosku.

8 Januari 2008: Satu hari setelah turun.

Sakit dan pegal yang manis ini masih berada pada tempatnya masing-masing.



Terimakasih untuk: Gunung Ciremai itu sendiri, teman-teman seperjalananku, warga desa Linggajati yang sudah sangat bersahabat, teman-teman pendaki yang bertemu di sana, dan teman-teman pendaki yang - dengan tidak ada kerjaan - suka menulis catatan perjalanan setelah mendaki gunung (yang kalian lakukan itu sudah beberapa kali menghantar ke, dan menyelamatkanku di gunung-gunung), teman yang kutitipkan kabar dan kontrol waktu di Jakarta, dan orang tuaku yang mengkhawatirkanku.

Pesan untuk pendakian gunung Ciremai: Nggak banyak-banyak amat, kalau nginep di Cibunar mending buka tenda - daripada mesti bertarung sampai subuh dengan nyamuk. Dan hal lainnya, persiapkan cukup air dan betis cadangan. Itu aja.