23 July 2012

Bacaan Sebelum Makan

29 Mei 2005 19:03:56

Maaf malam ini hendak kurampas nafsu makanmu.

Tujuh orang anak telah mati dalam kematian yang begitu sunyi. Tujuh orang anak telah mati karena kelaparan. Angka tujuh bukanlah angka yang luar biasa bagimu? Maka kuberitahu kau, bahwa angka itu hanyalah puncak dari seratus delapan puluh ribu anak-anak yang mati kelaparan di Indonesia setiap tahunnya, dan sebelas juta orang anak di muka dunia ini.

Karena kelaparan: KARENA KELAPARAN!!

***

Malam ini kurampas nafsu makanmu, lain hari akan kurampas seluruh harta kekayaanmu!

Harga Kesadaran

29 Desember 2004 2:38:55

Semakin jauh kau mendekati kesadaran, kau akan semakin larut dalam kenyataan, bahwa proses menyadari adalah sebuah kutukan.

Sesuatu yang sekali kau ungkap dan mulai kau sadari, akan terus bergentayangan di dalam jiwamu, menyiksa dan mempermainkan hidupmu. Merombak hidupmu menjadi sesuatu yang menyakitkan dan hambar. Membuatmu terasing di duniamu sendiri, membuatmu semakin terperosok ke dalam jurang pencarian.

Harga mahal yang harus kau tanggung untuk sepercik kesadaran. Sama sekali bukan anugrah.

Berita Kebenaran (serius!)

19 Desember 2004 9:47:13

Si setan kurap itu; sang taik anjing budug bajingan laknat keparat bangsat psikopat, jancuk terkutuk jahanam haram jadah, si babi biadab kejam keji yang najis menjijikan dan memuakkan, setan-setan penghuni lubang dubur iblis di dasar pelosok neraka paling busuk. Si setan kurap itu bernama 'komunisme'.

Komunisme adalah sumber dari segala sumber masalah di muka bumi. Komunisme itu kejam, keji, brutal, laknat, biadab, alias tak beradab. Liat aja film G/30-S/PKI! Betapa kejam-keji mereka si Partai Komunis Indonesia taik anjing itu. Betapa mereka bertingkah laku layaknya binatang buas tak berkeprikemanusiaan!

Jendral-jendral itu dibunuh sama PKI. Sukarno juga dikudeta sama PKI. Lantas Sesudah itu pembantaian di mana-mana juga karena PKI. Dari taun 1920, 1948, sampe 1965, PKI selalu jadi biang keladi di mana-mana, PKI selalu jadi sumber masalah dan jadi penjahat kemanusiaan.

Sekarang ini juga PKI mulai bangun lagi. Hati-hati! Bapak Soeharto dari dulu sudah mengingatkan tentang BAHAYA LATEN KOMUNIS. Ini sungguhan, ini berbahaya! Kita harus selalu waspada terhadap komunisme. Bau-bau komunisme mulai tercium lagi. Kita harus waspada, kita harus selalu siap untuk mengganyang komunisme.

Coba liat aja tanda-tandanya. Pemerintahan Indonesia susah jalan itu karena komunis, pemberontakan di mana-mana itu karena komunis, demonstrasi juga karena komunis, ekonomi susah bangkit pasti karena komunis.

Di tingkat dunia juga komunis harus diwaspadai. Komunis mulai menyusup di mana-mana. Anti Islam dan anti Arab itu karena komunis, Zionisme itu komunis, Israel itu komunis, Amerika juga komunis, perang-perang belakangan ini karena komunis mau memerangi agama. Pokoknya bahaya munculnya komunis mulai terasa, sungguh, saat ini kita harus siap-siap sekali lagi mengganyang komunis.

Perhatikan tetangga dan teman-teman, jangan lengah, hati-hati dan waspada. Perhatikan tingkah laku orang di rumah seberang atau kamar kos sebelah, termasuk tukang-tukang becak dan tukang ojek di pengkolan jalan. Jangan lupa juga sama orang-orang yang suka nongkrong-nongkrong, termasuk di Masjid, komunis suka menyamar dan menyusup ke mana-mana. Liat tingkah laku mereka, awasi, selalu awas dan jeli, berjaga sepanjang waktu. Hati-hati. Mungkin salah satu dari orang-orang itu, mungkin salah satu dari teman kita sendiri, atau malah keluarga kita adalah komunis!

Ini namanya tindakan prefentif, berjaga-jaga, mencegah - mencegah lebih baik daripada mengobati, kan?! Mau tidak mau kita harus seperti ini. Karena komunis mengakar di mana-mana dan berbahaya. Lebih dari itu, komunis juga merusak apapun yang dijamahnya, kalau kita terlambat salah-salah bisa jadi korban komunis sekali lagi. Ganyang sebelum diganyang! Ingat, komunis itu bukan mahluk yang bisa dipercaya, sudah banyak sekali yang jadi korban dan dirusak sama komunis.

Panen gagal itu karena komunis, gempa bumi karena komunis, banjir karena komunis, WTC disruduk kapal terbang itu karena komunis, Pentagon juga, dan perang dunia I dan II juga karena komunis. Perang salib itu karena komunis, Munir dibunuh sama komunis, dan Pangeran Diponegoro juga begitu - dibunuh komunis. Yang ngejajah Indonesia itu Belanda komunis dan Jepang komunis, Hitler itu komunis, Mussolini juga komunis, preman-preman Tanah Abang dan Tanjung Priok itu komunis. Kapal terbang jatuh karena komunis, bom-bom di Jakarta dan Bali itu yang masang komunis, yang bikin binatang pada punah itu komunis, yang bikin laut Jawa jadi kotor itu komunis, yang nyebarin ajaran gereja setan itu komunis.

Menyeramkan sekali kan?! Komunis emang setan kurap biang segala masalah di muka bumi!!

Komunis itu yang bunuh Yesus, Fir'aun itu komunis, uler yang nawarin Adam dan Hawa buah terlarang itu komunis, komunis itu penyembah berhala (maka itu diperangi sama Muhammad), komunis juga yang ngebantai Cina-cina di Kali Angke, komunis yang jatuhin bom atom di atas Jepang, dan komunis yang memproduksi film-film porno. Komunis itu yang bikin tempat perjudian dan maksiat di Las Vegas, begitu juga dengan tempat pelacuran di Kali Jodo, komunis itu penyebab TKW diperkosain, komunis yang bikin politik Apartheid, komunis yang ngebantai penduduk kulit hitam di Amerika, komunis yang diskriminasi suku Aborigin di Australia, dan bahkan orang Mongol yang nyerang Islam dulu itu komunis. Suku-suku Indian kuno pada punah itu karena komunis. Perang Dayak-Madura karena komunis. Kerusuhan Mei 1998 karena komunis. Tragedi Tanjung Priok itu karena komunis. Islam Syiah dan Suni perang karena komunis, Klu Klux Klan itu antek komunis, teroris itu komunis, ubur-ubur beracun juga komunis.

Iklim dan musim jadi acak-acakan juga karena komunis. Malah kalo Godzilla beneran ada, itu juga pasti karena komunis!

Lahirnya Sang Dendam

11 Oktober 2004 16:49:15

I. Menyentuh Bumi

Lahir, menemukan hidupnya di dunia, menyentuh bumi.
Tanpa tangis dan tanpa tanda, dalam keheningan dan kekosongan.

Sebuah hirupan nafas, persentuhan darah dengan udara, menjadi hidup;
daging yang menjadi manusia.

Merekah, membuka, melihat dunia, menatap, kosong, dalam, tenang, kelam.

Persatuan dua jiwa;
nafsu kebinasaan dan kekecewaan, gumpalan dari segala rasa sakit dan pedih kehidupan, wujud ekspresi puncak ketertindasan.

Sang Dendam telah lahir.

Dalam dan dari gelap kekosongan terdalam kekecewaan hati.

Sang Dendam telah lahir:
"Kelahiranku - adalah awal dari akhir kehidupanmu."

***

II. Kesadaran
Daging dan darah, yang tumbuh dan hidup;
di dalam dunia di antara kehidupan lain. Dengan nafas kebencian, tenang dan mengancam.

"Akulah Aku.
Sang Dendam yang terlahir ke dunia, dalam darah dan daging ini, dalam tubuh dan wujudku."

"Akulah Dia.
Nafasku adalah kebencian, detak jantungku adalah taluan tambur pembalasan, aliran darahku adalah gelombang kemurkaan."

"Akulah Sang Dendam.
Putra kebinasaan dan kekecewaan. Sakit hati dan kebencian."

"Akulah Sang Pendendam.
Dendam yang terlahir ke dunia untuk sebuah pembalasan, atas nama diriku:
UNTUK SEBUAH PEMBALASAN."

***

III. Pertemuan Besar
"Kau milikku;
jiwamu adalah penawar hidupku. Hidupku adalah kematian kehidupanmu. Kematianmu adalah pemenuhan hidupku."

"Jangan harapkan senyum di wajahmu.
Tak ada tenang bagimu, tak ada keselamatan bagimu, tak ada pengampunan bagimu, tak ada pengecualian bagimu;
tak ada penjinak bagiku."

"Waktu kita baru akan dimulai.
Temukan kekosongan dan kematian di dalam hidupmu - yang kuberkati dengan janji pembalasan."

"Akulah takdirmu.
Mimpi burukmu, penyesalanmu, tangisanmu: Ratap jiwamu. Akulah bunga di dalam hidupmu;
penyesalanmu, penderitaanmu, kepedihan hidupmu, kesepian jiwamu. Akulah pembunuh hidupmu."

"Aku!
Akulah Dendam!
Yang menemukan hidup dalam kesengsaraan dan kehancuranmu!
Pembalasan terhadapmu, kematianmu; adalah alasan hidupku."

***

IV. Dendam Terbalaskan
"Inilah puncak dari segalanya.
Inilah akhir.
Pemenuhan takdirku.
Kematianku."

Pidato Bapak Pejabat (Yang Terhormat)

9 September 2004 01:03:??

"Selamat pagi saya ucapkan kepada saudara-saudara sekalian yang terhormat dan berbahagia, semoga ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian dalam keadaan sehat walafiat dan sejahtera makmur sentausa." [Protokoler Cuap-cuap Pejabat; bagian 8 (Pejabat Masuk Desa), nomor 39, revisi ke-19]

"Untuk tidak membuang-buang waktu, langsung saja kita mulai acara dialog dan diskusi yang diselenggarakan di hari yang berbahagia ini." [Panduan Cuap-cuap Pejabat; bagian 8 (PMD), nomor 78, revisi ke-2]

"Kami telah mendengar pesan-pesan bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian mengenai keadaan yang terjadi di desa yang kita cintai bersama-sama ini. Sudah merupakan kewajiban bagi kami untuk mendengarkan apa yang bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian telah sampaikan kepada kami melalui ibu-ibu dan bapak-bapak DPRD yang terhormat." [Teknik Pandai Membacot untuk Pejabat; jilid 3, bab 91, halaman 1024]

"Pesan-pesan yang bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian sampaikan telah kami terima dengan baik sekali dan telah kami teliti dengan seksama, dan kami berkeputusan untuk mempelajarinya dengan lebih cermat, agar hasil yang dicapai nantinya dapat benar-benar sesuai dengan apa yang kita inginkan bersama-sama." [Kitab Siliat Lidah Pejabat; rol ke-2, bab 7, point 14]

"Namun tentu saja kami telah berulang kali mengadakan rapat untuk membahas permasalahan-permasalahan yang kita hadapi bersama ini. Sehingga dapat dikatakan penyelesaian yang dapat dilakukan masih dalam proses. Oleh karena itu kami mohon agar bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian dapat bersabar demi lancarnya usaha kita untuk menyelesaikan permasalahan ini." [Jurnal Mbalelo Pejabat; volume 158, halaman 33]

"Staf kami-pun tengah bekerja keras mencari kemungkinan jalan pemecahan yang dapat dilakukan dengan melakukan studi banding, peninjauan, dan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah di dalam dan luar negeri." [Pedoman Cuap-cuap Pejabat; bagian 8 (PMD), nomor 149]

"Sementara menunggu hasil dari proses yang kami lakukan; baik itu penelitian terhadap pesan-pesan bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian, pembahasan-pembahasan yang terus menerus kami lakukan, serta studi banding dan kunjungan-kunjungan, juga hal-hal lainnya; sekali lagi kami berharap bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian dapat bersabar dan menunggu dengan tertib hasil yang akan kami capai." [Protokoler Cuap-cuap Pejabat; bagian 8 (PMD) nomor 287, revisi ke-2]

"Akhir kata, saya ucapkan terimakasih kepada bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian yang terhormat atas waktu dan tempat yang diberikan kepada saya." [Protokoler Cuap-cuap Pejabat; bagian 8 (PMD), nomor 434]

Menjadi Mantra!

11 Agustus 2004 20:21:14

Kau merintih, kau mengerang.
Sakitkah? Pedihkah?

Kau menangis, kau terisak.
Menangislah: Jangan kau tahan, biarkan lepas.
Menangislah: Menjadi mantra. Menjadi mantra!

Berteriaklah: Murka membakar dan berpijar.
Berteriaklah: Menjadi kutuk, menghujam jantung - mengundang badai.

Biarkanlah dunia tahu; bersaksilah pada dunia: Kau sakit hati.

***

- Untuk semua anak-anak yang dikorbankan demi harta dan kekuasaan.

Kami: Orang-orang yang Kalah

15 Juli 2004 23:05:??

Kami. Adalah orang-orang yang kalah. Yang tersingkirkan menjadi orang-orang pinggiran: Orang buangan tak berguna, sampah masyarakat yang menjijikan; tanpa arti dan tak bernilai, debu jalanan yang mengotori duniamu yang indah penuh keagungan.

Kami. Adalah orang-orang rendahan. Yang terkucil di dasar neraka kehidupan, yang tak mampu menjangkau dunia tanpa cela-Mu; terusir dan terdampar di sini: Di dunia yang penuh kenistaan dan menjijikan sehingga tak layak untuk menyentuh kehidupanmu.

Kami. Adalah orang-orang murahan. Darah dan keringat kami telah kau takdirkan dan kau kutuk menjadi tak berharga. Nyawa kami tak lebih berharga dari kenikmatan yang kau rasakan.

***

Kami: Adalah orang-orang yang kalah. Yang hidup dengan logika dan kesadaran kami sendiri; di dalam dunia kami sendiri. Yang telah meredusir tujuan kehidupan kami menjadi bertahan tetap hidup dan segala tujuan kami yang penuh dengan iri, tamak, dan dengki. Keinginan-keinginan yang hidup di dalam kepala kami, adalah keinginan-keinginan yang jahat dan tanpa moral.

Kami! Adalah jahanam-jahanam yang kalah! Yang suatu hari nanti, akan membongkar dunia dan kehidupan ini!

Ratap Pengangguran

19 Juli 2004 18:01:58

Sebuah sore yang tenang. Perlahan sekali langit mulai redup dan awan-awan menguning indah. Suara adzan meraung-raung pelan, mesin jet pesawat terbang, musik, dan desir daun diterpa angin.

Tapi aku duduk diam di sini, di beranda rumah kecilku ini, di mana anak laki-lakiku tidur lelap di dalamnya. Mungkin ia masih marah padaku karena sepedanya telah kujual tiga hari lalu, untuk uang makan aku dan dia. Maafkan bapakmu, nak.

Sebelumnya segala perhiasan dan jam tangan aku dan istriku yang telah kujual untuk mencoba sebuah usaha yang gagal total. Aku ini hanya anak seorang tani, tanpa pendidikan, dan tanpa kemampuan apapun.

Setelah hartaku, kemudian istriku yang lari meninggalkan aku dan anaknya. Ia masih muda dan cantik, memang. Orang tuanya cukup berada; ia tinggalkan aku untuk mengikuti seorang pengusaha mata keranjang karena kehidupan kami yang semakin hari semakin melarat.

Sekarang perabotan rumahkupun menghilang satu persatu untuk membayar hutang dan mengganjal perut aku dan anakku. Terakhir kujual sepedanya. Dan ia marah sampai hari ini.

***

Beberapa bulan lalu aku dipecat bersama puluhan buruh lain. Rasionalisasi katanya. Sejak hari itu hatiku semakin hancur setiap harinya, semakin kering, dan kini istriku telah pergi meninggalkanku - dan anakkupun marah padaku.

Berulang kali aku mencoba melamar pekerjaan, tidak ada satupun yang diterima. Aku hanya lulusan SD kampung. Dan sekarang bagaimana caranya aku harus menyekolahkan anakku, kelak ia akan seperti aku juga - seorang tak berguna di tengah-tengah dunia yang sama sekali tak bersahabat.

***

Mulutku menagih jatah rokoknya. Tetapi tidak sebatangpun kupunya. Puntung-puntung pun telah habis kuhisap.

Oh dunia.

Cerita di Atas Kursi

05 Januari 2005 0:38:47

Ia, orang tua itu selalu duduk di sana. Di depan pos jaga petugas keamanan, di atas sebuah kursi di samping sebuah pohon yang juga selalu berada di sana. Sejak pagi hingga sore ketika hari mulai gelap ia akan selalu berada di sana, makan dan minum ia lakukan di sana, juga kadang tertidur di kursinya yang juga telah tua. Dulu sewaktu ia masih muda dan kuat ia memang juga anggota petugas keamanan di kotanya, sehari-hari ia habiskan di dalam pos jaga yang hingga kini - lama setelah ia pensiun - masih juga ia tunggui. Tidak ada yang terganggu karena kehadirannya, tidak juga dengan petugas-petugas keamanan yang baru - yang telah berganti generasi beberapa kali. Seperti pohon yang tumbuh di samping pos jaga itu, tidak ada yang aneh dengan kehadirannya di sana, selayaknya ia memang sudah seharusnya berada di sana.

Ketika beberapa orang mulai berkumpul di sekitarnya, biasanya ketika waktu istirahat siang untuk orang-orang yang bekerja di sekitar sana, atau pergantian jam jaga, ia akan menerawang dan menyalakan rokok kreteknya. Maka mulailah ia bercerita. Cerita yang sama dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, hingga tidak ada yang benar-benar tahu pasti sejak kapan ia ceritakan cerita yang selalu sama tersebut. Mungkin hanya kursi tuanya dan pohon di samping pos jaga yang mengetahuinya - walaupun tak ada yang benar-benar ingin mengetahuinya - yang sayang tak dapat memberitahukan hal itu.

Pada waktunya ia bercerita, orang-orang pun akan mendengarkan seperti mereka belum pernah mendengarkan cerita yang pada kenyataannya telah mereka dengarkan setiap hari. Tidak ada merasa bosan, dan tidak ada yang pernah protes dengan ceritanya yang selalu sama, karena layaknya kursi dan pohon di tempatnya masing-masing - yang selalu dan tidak pernah tidak hadir - cerita yang ia sampaikan pun adalah bagian dari tempat itu.

Orang-orang akan meninggalkannya satu per satu ketika ceritanya telah selesai, kembali ke pekerjaannya semula, kembali ke pos jaganya, atau apapun lainnya. Dan ia pun akan kembali meneruskan renungannya, atau tertidur di atas kursi tuanya, untuk kembali akan bercerita ketika orang-orang berkumpul di sekitarnya, entah besok, entah beberapa jam atau beberapa menit kemudian. Dan seperti itu terus sepanjang minggu dan sepanjang tahun.

Ia memang tak punya keluarga, tanpa istri dan anak, orang tuanya telah meninggal sejak ia masih kanak-kanak; sama sekali tanpa keluarga lainnya. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil tak jauh dari pos jaga, hidup dari tanggungan uang pensiun, dan tidak ada apapun yang dikerjakannya setiap hari - selain menceritakan hal yang sama; di atas kursi tuanya, di depan pos jaga, di samping pohon. Hingga suatu ketika, orang tua itu ditemukan telah meninggal ketika sedang tertidur di sore hari yang cerah dan kuning. Tidak ada yang kaget karenanya, pun tidak ada kesedihan yang terasa.

Pemakamannya dihadiri oleh orang-orang yang biasa mendengarkan ceritanya. Salah seorang dari mereka - yang tertua di antara mereka - membacakan sebuah pidato perpisahan, tetapi karena tidak ada apapun yang benar-benar diketahui orang tentang dirinya, maka setelah menceritakan apa yang sedikit diketahuinya tentang orang tua itu, ia lanjutkan dengan bercerita tentang apa yang selama ini selalu mereka dengarkan dari orang tua yang telah mati.

Setelah hari pemakaman, kursi tua di depan pos jaga tidak menjadi kosong. Seseorang telah duduk di sana menggantikan orang tua sebelumnya, seseorang yang membacakan pidato perpisahan di hari sebelumnya di pemakaman. Pohon dan kursi tua tetap di tempatnya, seseorang yang baru pun telah duduk di atasnya. Sejak hari itu, ia, sambil duduk di atas kursi tua itu, akan bercerita tentang seseorang yang telah mati, yang hampir separuh dari masa kehidupannya dihabiskan untuk duduk di atas tempatnya ia sekarang duduk, dan menceritakan hal yang sama setiap hari, setiap minggu, setiap tahun.

Lalu cerita itu; cerita yang sama seperti cerita yang dahulu selalu diceritakan oleh orang tua yang telah mati, terus tetap terdengar setiap hari, setiap minggu, setiap tahun. Dan orang-orang pun tetap mendengarkannya.

Setetes Hujan

20 Januari 2005 10:21:25

Setetes bening dan jernih. Dari ketinggian langit, dari puncak luasnya cakrawala. Melepas diri menggumpal dan meluncur turun. Jatuh melayang bebas, diterpa angin menerobos langit. Dalam hening dan kebisuan, bungkam dalam kesendirian.

Menghujam bumi.

Separuh Sakit Jiwa

20 Januari 2005 20:04:09

http://groups.yahoo.com/group/separuhsakitjiwa

Tempat ini adalah dasar jurang neraka paling jahanam.

Ke tempat inilah seharusnya dibuang segala sampah-sampah peradaban manusia; dari puisi-puisi tolol, analisis tumpul yang bego, bacotan tanpa makna, bualan politik dan ekonomi, gombalan birahi berbalut cinta, dusta dan fitnah, iklan-iklan memuakkan lagi menjijikan, hingga sumpah serapah dan hujat maki dalam artiannya yang paling harafiah.

Siapapun bebas mengusung pribadi, jiwa, jidat, dan pantatnya masing-masing; melankolis-puitis-najis, pendongeng cengeng, propagandis haram jadah, jahanam sarkastis-satiris-ironis, pengiklan bangsat-psikopat, para penganut ajaran agung skizofren, anjing-anjing religius, babi-babi atheis, kafir keparat (apapun labelnya), kapitalis dan komunis ngentot, semua hasil kebudayaan-sakit-jiwa manusia lainnya.

Setiap lubang dubur akan menemukan surga tempatnya bisa memamerkan setiap ketololan dan kegoblokannya dengan leluasa. Setiap ketololan dan kegoblokan akan tumbuh dengan subur, bak bunga berembun di pagi hari yang mekar dengan indah dan segarnya - di atas seonggok tai hangat yang maha-bau dan berlalat.

Binatang-binatang nista yang menyedihkan bebas untuk memuntahkan segala isi perutnya tepat di hadapan binatang-binatang lainnya, tanpa perlu merasa khawatir bahwa bekas muntahannya akan dihapus atau diedit. Setiap binatang laknat bebas untuk membalas muntahan dengan muntahan yang lebih banyak dan lebih kental lagi berlendir.

Tempat berkumpul bajingan-bajingan paling brengsek, hanya mengenal satu jenis hukum tertinggi yang tak terbantahkan oleh siapapun oleh apapun; Bab I pasal 1 ayat 1: HUKUM DIBATALKAN. Tidak ada hukum lain apapun yang berlaku di kubangan lumpur ini.

Tidak ada tempat untuk meletakkan pantat bagi jenis manusia yang merasa diri mulia-terhormat-suci-agung. Tempat ini mempersilahkan, bahkan memohon dan mengemis-ngemis, agar mahluk jenis itu segera pergi dengan sukarela.

Di sini adalah tempat bagi mahluk-mahluk rendah: rendah-serendah-rendahnya.

camarmerah

Obat Cinta

14 Februari 2005 5:41:00

Suatu hari nanti di masa depan, cinta akan diperjualbelikan dalam bentuk pil. Siapa ingin cinta, belilah sebotol, tenggak sebutir, maka hadirlah cinta. Atau kalau kau benci menelan pil, tinggal kau minta tablet hisap cinta atau ada juga obat cinta dalam bentuk spray dan sirup. Lebih praktis lagi, pesanlah sticker cinta dan tempel di pantat atau ubun-ubunmu, hadirlah cinta di sana. Dengan deras dan lancar. Bisa juga kau beli paket hemat, cinta menggebu plus ngentot tiga hari tiga malam, atau cinta yang lembut disertai grepe-grepe sekitar delapan jam, bisa ditambah dengan obat gosok cinta. Untukmu yang lebih bajingan, tinggal minta kondom rasa cinta, menghadirkan cinta di setiap sodokan penismu ke dalam lubang vagina perempuan yang kau setubuhi atau kau perkosa. Cinta bisa muncul di manapun dan kapanpun, asal kau punya obatnya.

Tapi jangan harap cinta akan hadir tanpa obat-obatan itu. Cinta telah lama mati di dunia. Tidak ada cinta lagi. Di kota atau di desa, di laut atau di dalam rimba, cinta telah mampus, cinta hanya ada di dasar jurang neraka paling jahanam. Terbakar melepuh meleleh dan kemudian gosong menjadi abu, ditiup angin dan lenyap dari alam semesta. Sekali lagi: Cinta telah mati.

Beli sekarang mumpung lagi diskon, hari palentin hari kasih sayang. Lihatlah cinta botolan ini, menjanjikan cinta menggairahkan yang hangat-hangat panas.

Cinta diperjualbelikan, cinta menjadi komoditi. Tak ada cinta di kepala manusia, tak ada cinta di kehidupan manusia, tak ada cinta di dalam kemanusiaan, bahkan mungkin kemanusiaan pun telah minggat dari dirinya sendiri lari mengejar cinta ke alam baka untuk menemaninya di neraka. Getir dan suram, itulah manusia tanpa obat-obatan cinta, tanpa cinta dan tanpa kasih sayang. Karena cinta telah diternak dan kemudian dijagal, ekstraknya dijadikan pil atau tablet hisap, juga jenis obat lain serta paket-paket hemat yang tersedia di pasaran. Tak membeli maka tak ada cinta, cinta tidak lagi ada di dada tapi di laboratorium kimia.

Hari ini cinta mulai diperjualbelikan. Cinta dan kasih sayang mulai dijagal dan terwakili oleh materi, dalam bentuk kertas jantung hati merah muda dan coklat juga barang-barang TOLOL dan GOBLOG lainnya. Besok cinta akan musnah dan mampus diinjak-injak manusia. Carilah cinta di apotik.

Palentines dei? Hari kasih sayang? DUBURMU!!

Studi Banding Sorga Neraka

07 Maret 2005 21:43:08

Tahun dua ribu dua ratus empat belas. Teknologi telah mencapai ketinggian luar biasa tinggi. Manusia mulai beranak-pinak di bulan dan di planet Mars, sementara plesiran ke planet Jupiter sudah biasa. Bangunan tinggi menyentuh awan dan jauh dalam merojok ke dalam perut bumi, kendaraan jarang menyentuh tanah, dan satu teknologi yang maha-penting telah berhasil ditemukan; yaitu Teknologi Komunikasi Jarak Jauh Bumi-Sorga-Neraka (TKJJ BSN).

Layaknya internet yang pada akhir abad 20 membuat tempat-tempat berjauhan di muka dunia menjadi begitu dekat, di awal abad dua puluh tiga ini bukan cuma berbagai tempat yang berserakan di muka dunia yang dibuat menjadi dekat, tapi juga jarak yang tak dapat dihitung antara Bumi, Sorga, dan Neraka - telah dihubungkan dengan sistem komunikasi super-canggih. Sehingga orang di dunia sudah mulai dapat bertangis-tangisan bersama menggunakan telepon atau e-mail dengan kerabat yang telah mampus bertahun-tahun lalu atau sekadar menanyakan kabar kepada sahabat yang baru modhar kemaren sore. Kadang juga dilakukan tele-conference antar kerabat keluarga di dunia, di sorga, dan di neraka.

Kemampuan manusia untuk berkomunikasi dengan dua dunia yang letaknya entah di mana di alam jagad-raya ini akhirnya dilengkapi dengan kemampuan manusia untuk bukan hanya berkomunikasi, bahkan melainkan bepergian mengunjungi sorga dan neraka jahanam; Teknologi Komunikasi dan Transportasi Jarak Jauh Bumi-Sorga-Neraka (TKTJJ BSN). Yang kemarin lusa hanya bertelpon-telponan atau saling berkirim e-mail, sekarang sudah dapat bertemu langsung dengan orang-orang yang telah mati.

***

Indonesia pun sudah menjadi negara yang mampu mengikuti perkembangan teknologi maju. Sudah terdapat perusahaan komunikasi bumi-sorga-neraka, pun sudah didirikan perusahaan jasa transportasi yang menjangkau sorga dan neraka. Malah Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mendirikan kedutaan besarnya di Sorga dan Neraka. Pokoknya Indonesia juga sudah menjadi negara super canggih. Hanya satu saja yang kurang, yaitu utangnya ke IMF dan World Bank masih belum lunas, atau kalau mengutip perkataan seorang pejabat Indonesia di tahun 2167 adalah "sedang dalam masa penyelesaian pembayaran hutang-hutang luar negeri".

Dalam suatu kunjungan pejabat-pejabat pemerintahan Republik Indonesia ke sorga untuk menjenguk Soeharto dan petinggi-petinggi Indonesia lain yang telah mati, Soeharto menyarankan supaya pemerintah Indonesia mengirimkan delegasinya ke sorga dan neraka untuk melakukan studi banding tentang sistem manajerial, pelayanan umum, birokrasi, kependudukan, keamanan, dan lain-lain hal. Alasannya, karena menurut Soeharto sistem kepengurusan di sorga dan neraka sangat baik adanya.

Maka dikirimlah lima orang pejabat kelas atas dari bidang-bidang yang terkait dengan yang telah disebutkan oleh Soeharto untuk melakukan studi banding selama satu bulan. Lengkap bersama para istri yang menor-menor dari para delegasi, empat belas orang dikirim menuju sorga - dan kemudian neraka. Tapi, empat belas?? Bukan sepuluh? Bukan. Karena ada satu delegasi yang beristri lima.

***

Kunjungan dimulai dari akhirat bagian penerimaan dan pengadilan bagi manusia yang baru mampus.

Sesampainya di akhirat, para delegasi menyaksikan seseorang berbadan besar dan bermata sipit, berpakaian jas lengkap dan bersepatu kinclong, berjalan bersama perutnya yang buncit menuju pintu pengadilan. Senyum disungging di bibir sejadi-jadinya, didampingi langsung oleh malaikat pencabut nyawa. Di ruang pengadilan - yang juga dihadiri oleh para delegasi sebagai bagian dari acara kunjungan resmi - telah duduk hakim ketua, hakim pembantu, dan lain-lain pejabat pengadilan sorga. Semuanya dipersilahkan duduk.

Hakim ketua memulai, "Selama hidup di dunia, anda telah membunuh tiga puluh satu orang secara tidak langsung, merusak seribu seratus tiga tempat tinggal keluarga manusia, menyebabkan empat orang cacat, menyakiti orang lain dengan perbuatan tingkat A seratus delapan kali, tingkat B tiga ratus sepuluh kali, tingkat C lima ratus enam puluh satu kali, berselingkuh tujuh kali, berzinah enam puluh delapan kali, mencuri uang sebanyak empat puluh miliar mata uang rupiah Indonesia, ..."

"Mohon dipertimbangkan juga perbuatan-perbuatan baik yang sudah dilakukan oleh klien saya, yang mulia." - kata pengacara si badan besar memotong pembicaraan hakim.

"Iya itu nanti dulu." Kemudian ia melanjutkan, "... merusak alam seluas lima ratus enam hektar, melanggar sumpah tiga puluh tiga kali, berdusta enam ribu tujuh ratus sebelas kali, ..."

Sang pengacara kembali memotong, "Hakim ketua yang mulia, tolonglah dipertimbangkan bahwa klien saya juga banyak melakukan perbuatan baik dan menjunjung tinggi dunia akhirat dan dunia sorga..."

"Iya, bisa sabar atau tidak?"

"..."

"... menyebabkan rasa takut pada orang lain sebanyak seratus dua puluh sembilan kali dengan total jumlah korban dua puluh empat juta tiga ratus empat belas ribu dua ratus satu orang dan tingkat ketakutan rata-rata 463 Afr [satuan unit tingkat ketakutan manusia bumi] selama total jumlah waktu dua ratus tujuh puluh satu tahun lebih tiga bulan enam hari, menyebabkan enam ratus tujuh puluh tiga orang kelaparan selama total tiga puluh satu hari waktu bumi, memaksakan kehendak kepada..."

"Hakim ketua, saya mohon..." - pengacara sekali lagi memotong, dan kali ini tampak air mukanya sudah tidak terlalu tenang seperti pada awalnya. Kliennya, si tambun pun sudah mulai agak gugup dan senyum di bibirnya tidak lagi disungging selebar sebelum memasukki pintu pengadilan. Pengacara melanjutkan "Pertimbangkanlah perbuatan-perbuatan baik klien saya...", yang terakhir dikatakan sambil mendorong amplop tebal di atas meja menuju ke depan ke arah hakim ketua.

"Oh ya. Ya... ya, ya. Ya, benar. Ya, sebaiknya kita segera membahas perbuatan-perbuatan baik yang sudah dilakukan semasa hidupnya." Hakim ketua kembali bersuara, dan dilanjutkan dengan membahas berbagai macam perbuatan baik yang sudah dilakukan orang yang tengah diadili. Senyumnya kembali mekar berbunga-bunga hingga agak monyong, pengacaranya pun ikut tenang, dan duduknya santai melipat tangan - sambil sesekali mengangguk-anggukan kepala botaknya.

Menjelang akhir persidangan, beberapa saat sebelum hakim ketua menentukan keputusan, ketika sang hakim ketua sedang membaca dalam hati beberapa berkas penting berkaitan dengan persidangan kali ini, pengacara kembali menyorongkan amplop kedua yang jauh lebih tebal dari yang pertama ke arah hakim ketua - sambil berkata "Mohon perbuatan-perbuatan baik yang telah disebutkan benar-benar dipertimbangkan oleh yang mulia."

Hakim ketua tampak tetap berkonsentrasi membaca berkas-berkas di tangannya. Kemudian amplop ketiga yang sama tebalnya meluncur, keempat, kelima, dan tiba-tiba hakim ketua menatap pengacara dan berkata "Baik, keputusan telah saya ambil: Masuk sorga!"

***

Kunjungan dilanjutkan ke sorga itu sendiri. Di sana delegasi disambut oleh para mantan pejabat penting di Indonesia yang telah moksa bin mampus. Soeharto menjadi ketua rombongan penyambut, diikuti oleh orang-orang terkenal seperti Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita, Wiranto, Megawati, Susilo Bambang, dan lain-lain banyak sekali jumlahnya. Di sampingnya masih terdapat rombongan para konglomerat yang sudah mamphus. Jauh di belakang rombongan utama, diikuti oleh orang-orang mantan anggota MPR-DPR. Luar biasa ramai sorga ini. Banyak orang Indonesia yang tinggal di sana. Semuanya pernah jadi pejabat penting, gubernur, pimpinan TNI atau ABRI, walikota, wakil rakyat, bisnismen, konglomerat, dan lain-lain posisi yang terhormat. Karena itu pakaian yang mereka kenakan pun mentereng kinclong aduhai keren-keren.

Selesai acara pertemuan antara anggota delegasi dengan rombongan penyambut, mereka berjalan keluar dari gedung pertemuan, dan tiba-tiba terjadi ribut-ribut di luar. Ribut cukup keras dan tampaknya mulai terjadi kepanikan di antara keramaian. Anggota delegasi dan sebagian rombongan penyambut segera pergi meninggalkan gedung pertemuan melalui jalan lain. Setelah terbebas dari hiruk pikuk dan tengah dalam perjalanan menuju kantor administrasi sorga, seorang anggota delegasi bertanya kepada Sutiyoso mantan gubernur Jakarta yang juga ada di sorga "Tadi itu ada apa, pak?"

Sutiyoso tersenyum dan menjawab, "Oh biasa, ada penduduk sorga yang ilegal..."

"Oooh..." anggota delegasi manggut-manggut dan menerawang, lantas tiba-tiba kembali bertanya, "Eh iya pak, ngomong-ngomong, apa sih rahasianya masuk ke sorga...?"

Sutiyoso lagi-lagi tersenyum manis - manis sekali hingga matanya tenggelam tak terlihat - dan berkata "Yah, banyak-banyak saja beramal. Itu saja."

***

Anggota delegasi telah sampai di kantor administrasi sorga, sebuah kantor yang santai, tidak banyak kesibukan yang terjadi. Para pegawai saling bercengkrama - kadang hingga terbahak. Hanya ada sebagian pegawai yang tampak sedang sibuk menyeleksi tabel-tabel panjang bergulung-gulung, itupun sambil sesekali ikut berkomentar dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Anggota delegasi bertanya kepada staf pimpinan bagian humas dari kantor administrasi sorga, "Sedang apa mereka - kok keliatannya sibuk sekali?"

"Iya, sedang menyortir daftar penghuni sorga yang harus diusir."

"Lho kok diusir??"

"Lah iya, kalu engga, lama-lama sorga bisa full dong. Setiap setengah bulan kita tinjau lagi daftar penduduk sorga, melihat yang semasa hidup di dunia paling sedikit memberikan amal sumbangan. Nah mereka itu kita usir, supaya orang yang beramal sumbangan yang baru dateng bisa dapet tempat di sorga."

"Oooh... Lantas terus mereka dikemanain?"

"Lah terserah mau ke mana, mau ke neraka boleh, mau ke akherat tidur di emperan pengadilan akherat juga boleh, mau balik ke dunia jadi setan hantu gentayangan juga terserah. Paling banyak sih mereka jadi penduduk ilegal di sorga ini, karena itu tiap setengah taun juga kita lakukan pembersihan penduduk ilegal. Huh, bikin sesak dan kumuh aja mereka itu."

Sang anggota delegasi kemudian kembali teringat tentang apa yang dikatakan oleh Sutiyoso beberapa saat sebelumnya. Tanpa sadar dia bergumam sambil bengong, "... berarti yang Sutiyoso bilang emang bener... cuma yang beramal sumbangan paling banyak yang bakal dapet tempat di sorga..."

Kepala staf pimpinan bagian humas kantor administrasi sorga yang ternyata masih ada di sebelahnya mendengar perkataan itu dan berkata, "Iya benar. Ini adalah keputusan dewan perwakilan masyarakat penghuni sorga, tahun lalu malah udah ditegaskan dengan peraturan pemimpin sorga. Ini sudah menjadi hukum dan peraturan di sorga, ya harus ditaati."

Terkaget karena komentar orang yang mengantarnya berkeliling, si anggota delegasi menjadi gugup sesaat, melihat sekeliling dan kemudian berkata - "Oooh..."

***

Studi banding ini dilanjutkan dengan mengunjungi neraka. Setelah melalui perjalanan yang cukup lama, akhirnya keempat belas anggota delegasi tiba juga di neraka. Disambut oleh koordinator pengelola neraka di pelataran parkir neraka, tampaklah antrian panjang menuju pintu utama neraka. Sebagian besar mengenakan pakaian seadanya atau bahkan compang-camping, beberapa malah tidak berpakaian sama sekali. Wajah mereka semua kuyu dan kusam. Banyak yang dalam keadaan cacat fisik, beberapa lagi tampak menderita penyakit jiwa. Jarang terdapat orang yang tampak normal. Anggota delegasi memasuki neraka melalui pintu samping.

Di dalam kantor administrasi neraka, telah menunggu kepala biro penerangan neraka, ia segera menerangkan berbagai macam hal kepada anggota delegasi. Bahwa semakin hari neraka menerima semakin banyak penduduk baru, bahwa semakin hari neraka semakin padat dan penuh sesak, bahwa dikarenakan oleh hal-hal itu wilayah neraka kini telah semakin melebar dari keberadaannya semula, bahwa sebagian dari penduduk neraka adalah buangan dari sorga, dan berbagai macam hal lain.

Seperti kantor administrasi sorga, di neraka pun kantor administrasi merupakan kantor yang santai tidak sibuk sama sekali walaupun ada banyak sekali pegawai yang bekerja di kantor itu. Pegawai administrasi hanya perlu menyocokan data yang ada dengan orang-orang yang baru datang - entah itu orang yang baru mati, atau orang operan dari sorga. Pegawai lainnya hanya perlu melakukan pencatatan-pencatatan berkaitan dengan penghuni neraka yang telah ada. Lalu ada pula pegawai yang mengurus perihal sarana-sarana yang bisa didapatkan penduduk neraka. Dan beberapa hal yang harus diurus lainnya. Lantas sisanya cukup hadir ke kantor, melakukan absensi kehadiran, dan kemudian bebas melakukan apa saja - nonton tv, bergosip, membaca koran atau buku, tidur, atau apa saja. Terserah.

Anggota delegasi mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan seorang penghuni neraka. Tampak bahwa ia cukup merasa tidak bahagia di dalam neraka. Badannya kurus kering, ada beberapa luka-luka di badannya, tampak haus, dan konsentrasinya tidak terfokus. "Bapak kenapa bisa masuk ke neraka?" tanya seorang anggota delegasi.

"Saya pencuri."

"Emang bapak nyuri apa?"

"Nyuri ayam sama duit majikan."

"Lah kenapa sampe mencuri?"

"Abisnya anak saya sakit, istri saya hamil, saya sendiri di-PHK. Malah terus harga BBM naik pula."

"Oooh..." Lalu dengan rasa ingin tahu yang menggelitik, pelan-pelan anggota delegasi itu bertanya "Bapak tidak pernah beramal sumbangan...?"

"... Amal sumbangan apaan?! Untuk ngurus anak dan istri sendiri saja saya kerepotan, mau beramal pake apaan?!" bentak penduduk neraka yang ditanyai, kemudian ia langsung pergi sambil memaki-maki.

Anggota delegasi yang lain sedang menanyai seorang penghuni neraka yang lain pula, "Ibu kenapa ada di neraka?"

"Tadinya saya masuk sorga, pak."

"Oooh... lalu kenapa ibu dipindahkan ke neraka?"

"Soalnya kata mereka saya tidak banyak beramal semasa hidup. Yah, emang saya hampir tidak pernah beramal sih..."

"Emang pekerjaan ibu sewaktu masih hidup apa sih?"

"Saya tukang jahit."

"Waktu masih hidup ibu pernah berbuat dosa?"

"Satu aja yang saya paling nyesel... waktu saya ingkar janji untuk membelikan anak saya mobil-mobilan... tapi mau begimana lagi, saya gak punya uang waktu itu. Dari hasil ngejahit cuma cukup buat makan dan kontrak rumah. Suami saya udah lebih dulu meninggal..."

"Oooh... sekarang ibu tinggal sama suami ibu di neraka?"

"Engga. Suami saya masih gentayangan di dunia. Dia kuli bangunan, jatuh dari lantai empat belas."

"Oooh..."

***

Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di neraka, akhirnya anggota delegasi kembali pulang menuju tanah air. Anggota delegasi tampak telah belajar banyak dari sistem manajerial dan lain-lain yang mereka saksikan sendiri di sorga dan neraka, juga di pengadilan akherat. Istri-istri mereka pun banyak membawa oleh-oleh untuk kerabat di dunia, membawakan baju yang lagi mode di sorga, kenang-kenangan dari neraka, cinderamata dari akherat, dan lain-lain.

Dalam laporan singkat anggota delegasi kepada presiden Republik Indonesia, seorang anggota delegasi mengatakan "Setelah melakukan studi banding, ... dari apa yang kami saksikan dan pelajari dari sistem manajerial dan lain-lain di sorga dan neraka dan akherat, ... dapat kami katakan, sistem yang kita gunakan di tanah air sekarang sudah cukup sebanding dan sesuai dengan sistem yang digunakan di ketiga tempat itu... sudah cukup memuaskan."

Ini Kemiskinan

03 September 2005 15:53:31

Asap di atas kali. Di atas air penuh limbah dan sampah, hijau menebar bau, diramaikan tikus-tikus sebesar kucing. Rumah-rumah berjejer, batu bata hingga papan lapuk dan seng berkarat, berhimpitan bertumpukan menyempil terdesak, kumuh menyerupai kandang kambing. Udara panas menandingi neraka jahanam, keringat menetes mengalir deras, asap rokok dan metromini bersiteru bergulungan. Suara-suara tak sudi berhenti, mobil motor dan bus PPD, kondektur gendeng disambut pedagang kaki lima. Hari demi hari tetap seperti ini, semerbak tinja dan kencing siang malam, mengundang seringai orang-orang hilang ingatan: Hari ini masih menganggur.

Sunyi yang Mengerikan

24 Agustus 2006 03:37:20

Di suatu tempat, tepat di saat ini. Ada yang sedang terbaring menerawang kosong. Entah apa yang dipikirkannya, entah apa yang dilihatnya, kita tak akan pernah tau karena ia akan segera pergi. Kesakitan mendera tubuhnya, siksa yang tak terperi, lalu sunyi yang mengerikan - ia meregang hidup. Mati. Persis di detik ini. Mati karena kelaparan yang telah mengisi hidupnya selama berbulan-bulan terakhir, mati karena tidak ada lagi yang dimasukkan ke dalam perutnya, mati setelah lima atau enam tahun hidup di muka bumi. Ya, orang, anak-anak yang mati karena kelaparan. Manusia, yang sama seperti aku dan kau.

Kesunyian demi kesunyian, bertumpukkan, berderet. Setiap hari. Setiap jam. Dan saat ini. Ratusan ribu setiap tahun. Teror kenyataan yang enggan dihadapi oleh umat manusia. Lupakan, tak perlu dipikirkan. Terlalu luas, tak realistis, memang seharusnya begitu. Tak ada apapun yang dapat dilakukan, kemudian alam yang disalahkan.

Memang. Kita mungkin baru akan perduli, ketika kitalah yang berada di balik tempurung kepala, menerawang kosong dalam berbulan siksa kesakitan, menatap kesunyian, dan meregang nyawa. Ketika saat itu tiba, jangan kita lupa untuk mengatakan; memang seharusnya begitu.

Terlalu Banyak Orang Goblok

12 September 2006 20:41:00

Sungguh. Terlalu banyak orang goblok di dunia ini. Ada terlalu sangat banyak orang goblok yang tololnya mendekati predikat tolol yang teramat sangat. Aku tidak bercanda dan kukatakan padamu bahwa aku serius.

Kesalahan Tuhan yang terbesar, kalau Ia ada, adalah Ia telah menciptakan sedemikian banyak orang goblok di muka dunia. Sementara kesalahan terbesar keduanya adalah Ia membiarkan saja orang-orang goblok itu terus hidup dan berkeliaran di mana-mana.

Sehingga terjadilah; mereka semakin dan semakin goblok setiap menitnya, saling menggobloki satu sama lain, dan mempergoblok diri mereka sendiri dengan begitu intens, serta bangga akan kegoblokan itu, plus selalu ingin mempertunjukkan kegoblokannya, juga merasa perlu untuk terus-menerus berusaha mencapai tingkat kegoblokan yang semakin dan semakin goblok. Menit demi menit!

Bahkan mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang tergoblok di antara yang goblok; menjadi raja goblok dari para goblok, menjadi trend-setter kegoblokan.

Ah! Ya, menjadi goblok adalah suatu trend, dalam arti goblok adalah sesuatu yang menular dan saling menjangkiti. Dengan tingkat penularan yang sangat tinggi yang lebih mudah menular ketimbang virus influenza sekalipun. Karena masalahnya memang, orang-orang itu, yang sedikit atau banyak memang goblok, merasa senang untuk tertulari, mereka ingin tertular kegoblokan, mereka suka menjadi goblok, dan seperti yang sudah kukatakan, mereka selalu dan sangat ingin serta terobsesi juga akan menyerahkan apapun untuk menjadi yang tergoblok.

Aku bersungguh-sungguh dan apa yang kukatakan adalah suatu kebenaran. Juga bukan suatu perumpamaan atau kiasan. Aku sama sekali tidak sedang bercanda atau berusaha berfilsafat. Sekali lagi kukatakan; aku serius!

Malah sebenarnya aku sudah tidak dapat lagi bercanda. Tersenyum pun tidak. Aku merasa frustrasi karena kehadiran begitu banyak orang goblok. Sebenarnya lebih tepat jika kukatakan karena hampir semua orang yang kulihat adalah goblok. Yang jika aku harus lebih jujur lagi, semua orang yang kulihat adalah orang-orang goblok! Sangat-sangat goblok! Bayangkan! Bagaimana aku tidak frustrasi karenanya? Bagaimana aku mau tersenyum dan bercanda di tengah lautan manusia-manusia goblok di sekelilingku?!

Benar, belum ada kutemukan atau kujumpai orang yang tidak goblok. Sama sekali tidak pernah!

Semuanya goblok. Penumpang-penumpang bus goblok, sopirnya juga goblok, tetanggaku sangat goblok, tetanggaku yang satu jauh lebih goblok lagi, teman-temanku semua goblok, rekan kerjaku goblok, anak-anak sekolah goblok, mahasiswa pun goblok, satpam goblok, penjual makanan goblok, penjaga toko goblok, saudara-saudaraku goblok, orang tuaku pun goblok, tidak ada satupun yang tidak goblok. Bahkan kulihat di TV, pembawa acaranya goblok, semua yang muncul di sana goblok.

Termasuk bule-bule dan orang negara lain pun goblok tidak tertolong, termasuk juga presiden mereka, raja-raja mereka, pemimpin mereka, semua goblok hingga dasar kegoblokan yang tergoblok. Dan bukan cuma di TV. Ketika sekali dua kali aku bertemu orang-orang luar negeri itu, bah! Dengan jelas dan tidak dapat berarti lain kuketahui, mereka sama saja gobloknya!

Aku melihat orang goblok di mana pun dan ke mana pun aku melihat. Manusia-manusia goblok dengan setiap tindakan mereka yang begitu goblok. Melihat orang merokok aku mengerti ia goblok; orang berjalan pertanda goblok, orang memasak hanya menunjukkan kegoblokkan padaku, orang tertawa jelas sekali gobloknya, orang berbicara menunjukkan setiap kegoblokkan yang ia punya, orang menyapu, orang sedang berdiri pun begitu terlihat goblok buatku. Bahkan bukan saja berdiri! Tatapan seseorang, tidak perlu itu tertuju padaku, sudah dengan sangat jelas menunjukkannya! Sangat-sangat goblok! Sangat-sangat bukan main gobloknya!!

Setiap orang! Setiap apa pun yang mereka lakukan, setiap tindakan mereka, segala suara dan gerak yang mereka lakukan, bahkan ketika mereka tidak bertindak sedikit pun, ketika mereka diam tidak bergerak, mereka mempertontonkan kegoblokan mereka padaku. Dan mereka sangat senang melakukannya.

Apakah sekarang sudah dapat kau bayangkan apa yang kurasa? Apakah kau mengerti bagaimana rasanya hidup, terjerumus, dan terperangkap di tengah-tengah orang-orang goblok yang keterlaluan gobloknya ini??

Hah!!

Dan bukan cuma orang-orang goblok itu yang menyiksaku. Selayaknya api akan meninggalkan gosong dan abu, orang-orang goblok itu pun meninggalkan jejak dan bekas-bekasnya di mana-mana, di mana pun mereka pernah berada, melalui apapun yang mereka kerjakan, di setiap hal yang pernah mereka sentuh: KEGOBLOKAN! DI MANA-MANA!

Kulihat kursi: Kulihat kegoblokkan di sana. Lampu, juga kegoblokan. Komputer, kegoblokan yang lain lagi. Kipas angin, satu lagi kegoblokan. Motor: Goblok. Sendal: Goblok! Air minum: Bukan main gobloknya!!

Meja, lemari, buku-buku, tas, pintu, kalender, celana, dinding, jam, semuanya tampak goblok. Helm dan sepatu juga goblok. Kertas dan pen yang kugunakan untuk menulis sangat-sangat goblok. Bahkan aku merasakan kegoblokan ada di udara kosong, di kegelapan malam, di atas langit, semua kegoblokan hasil kegoblokan manusia tercecer tumpah ruah berserakan di mana pun.

Sekali waktu aku sudah tak tahan lagi. Kepalaku mau pecah dan isi perutku berputar-putar. Sungguh mematikan rasanya ketika bahkan udara yang kau hirup pun adalah kegoblokan! Aku menjadi sangat pusing dan mual. Aku mau muntah. Tetapi di dalam kamar mandi kulihat kloset duduk yang kuhadapi, dan kulihat kegoblokan di sana! Sekalipun kloset, kloset tempat membuang tai-tai manusia yang pada dasarnya sangat logis dan selogis memasukkan makanan ke dalam perut! Kloset! Ia tidak terbebas dari kegoblokan itu. Dan serta merta mualku hilang, aku tak jadi muntah.

Tetapi kegoblokan tetap ada di mana-mana! Semuanya adalah kegoblokan!

Jangan kau kira aku merasa senang dan bangga karena hal ini. Jelas aku merasa tersiksa bukan kepalang karenanya. Dan jangan pernah kau sarankan untuk pergi memeriksakan diri ke psikiater: Itu sudah pernah kulakukan!

Hanya psikiater itulah yang ketika kulihat, bukanlah orang goblok. Hanya satu orang itu dan tidak ada orang lainnya. Walaupun ia bekerja di dalam ruang yang goblok, bersama suster goblok, di atas kursi goblok dan meja goblok, menulis di atas kertas goblok, dengan pen goblok, mengenakan kacamata yang tidak kalah gobloknya. Tetapi psikiater itu, ia tidak goblok ketika kulihat.

Kudengarkan kata-katanya dan kuikuti semuanya. Obat yang ia tuliskan di atas kertas yang goblok dengan tinta yang juga goblok itu kutebus di apotek yang keterlaluan gobloknya. Kubayar dengan uang yang goblok dan diterima oleh kasir goblok di balik mesin goblok yang menampilkan angka-angka goblok. Kubawa obat itu pulang dan ketika kubuka bungkusnya, ternyata obatnya adalah pil-pil yang tampak luar biasa bukan main amat sangat goblok!! Maka segera kubakar semuanya, termasuk copy-resep obat yang sekarang membuat segalanya menjadi tampak jelas: Bahwa obat goblok itu telah disarankan oleh seorang psikiater yang maha-goblok.

Tidak perlu bersimpati padaku. Aku tak butuh sedikitpun hal-hal semacam itu. Walaupun aku masih merasa frustrasi dan setiap saat kudengar, kulihat, kusentuh, kurasakan kegoblokan itu dengan semua panca inderaku, yang semakin menjadi-jadi dan meledak-ledak setiap harinya; tetapi aku mulai terbiasa dengan perasaan kesakitan, muak, jijik, marah, dan segala yang buruk dan tidak enak ini.

Aku mulai dapat menerima, bahwa aku memang hidup di dalam lautan raya kegoblokan, berasama kegoblokan, dan tidak ada ruang sedikitpun dan materi apapun yang terbebas daripadanya, serta tidak ada yang dapat kulakukan terhadap bencana kegoblokan ini.

Sekali lagi kuminta tidak perlu bersimpati padaku, jangan pernah lakukan itu, dan terlebih lagi jangan pernah berpikir untuk berusaha berhubungan denganku, bahkan jangan pernah menyampaikan sesuatu padaku, JANGAN: Karena aku mulai curiga bahwa kau pun goblok.

Aku Bertemu Tuhan!

07 Agustus 2006 12:54:09

Sebenarnya aku lebih suka bicara langsung denganmu, muka berhadapan dengan muka, supaya kau dengar apa yang kukatakan langsung dari mulutku. Tapi apa mau dikata, aku ada di sini dan kau ada entah di mana, sementara apa yang mau kukatakan jelas sudah harus kukatakan sekarang juga. Maka sekarang kau sedang baca tulisanku. Anggaplah ini kata-kataku, walaupun jelas beda dan orang tolol manapun mesti bisa membedakan antara tulisan dan perkataan. Tapi anggaplah ini kata-kataku, karena aku tak bisa mengatakannya langsung padamu, sementara apa yang mau kukatakan sudah sangat mendesak sifatnya.

Begini. Aku bertemu Tuhan!

Ya. Tuhan. Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, yang maha tau, maha adil, dan maha segalanya. Tuhan yang menciptakanmu, menciptakan aku, dan menciptakan segalanya. Sungguh-sungguh Tuhan yang sesungguhnya Tuhan.

Aku bertemu denganNya dua hari yang lalu ketika pagi subuh-buta. Pukul berapa tepatnya aku tak ingat lagi, yang jelas ayam tetangga belum mulai meracau dan keponakan induk semangku belum mulai menyapu lantai. Mungkin sekitar pukul empat, tapi sudah kubilang aku tak tau pasti. Langit waktu itu masih gelap dan udara kota terkutuk ini sedang dingin-dinginnya, tidak ada siapapun yang masih atau sudah melek sepagi itu. Hanya aku sendirian di dalam kamarku, membaca buku, dan sedikit terkantuk-kantuk.

Masih ingat betul, aku baru saja mulai membaca halaman seratus tujuh puluh dua waktu itu, ketika tiba-tiba seekor kutu buku muncul di antara lipatan di bagian tengah buku. Merayap-rayap menuju halaman seratus tujuh puluh tiga. Tidak ada yang aneh dengan kutu itu, persis sama seperti kutu-kutu lainnya yang pernah kulihat. Baru saja aku hendak menyentilnya, tiba-tiba ia bersuara. Awalnya aku tak mengerti apa bunyinya, kukira cuma sekadar suara, walaupun aneh juga seekor kutu bisa bersuara seperti itu. Setelah mencoba mendengarkan lebih teliti baru aku mengerti, ia berkata "tunggu! Tunggu dulu! Hei! Aku ini Tuhan!"

Jangan salah sangka, aku tidak langsung begitu saja percaya pada apa yang dikatakannya. Bahkan aku tidak langsung percaya pada apa yang kudengar. Bahwa seekor kutu bisa berbicara. Seekor kutu, berbicara? Mengaku Tuhan pula? Aku justru mengira aku sudah terlalu mengantuk dan linglung sampai bisa mendengar seekor kutu berbicara denganku.

Tetapi ia mengajakku bicara lagi. "Woi. Dungu! Kau tak dengar? Aku Tuhan!"

Aku langsung tersentak dan secara reflek menutup buku yang sedang kupegang, menjepit si kutu di antara halaman seratus tujuh puluh dua dan seratus tujuh puluh tiga. Rasa kantukku langsung menghilang, bahkan menjadi sangat segar. Setelah yakin aku memang sungguh-sungguh sadar dan tidak sedang bermimpi, kubuka lagi buku itu.

Maka muncullah sang kutu yang tampak kejengkang tak karuan. Ia segera berdiri dan pertama-tama menghardikku dengan keras, "goblok!" Aku hanya terbengong-bengong memperhatikan kutu yang kemudian celingak-celinguk memeriksa bagian samping dan belakang tubuhnya, persis seperti orang yang merasa ada permen karet menempel di pantat celananya. Setelah selesai baru ia menengadah lagi tepat ke arah mataku, bagaikan bertolak pinggang ia memperkenalkan diri "aku Tuhan. Siapa namamu? Santai aja, gak perlu tegang begitu."

Yakinlah aku, bahwa kutu itu memang berbicara, ia berbicara padaku. Tetapi ia mengaku Tuhan. Kutu yang berbicara, walaupun tidak masuk akal, akhirnya bisa kuterima karena bagaimanapun aku memang mendengarnya berbicara. Tapi ia mengaku Tuhan. Kutu buku yang mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan! Sungguh di luar akal sehat manusia yang sehat lahir dan batin seperti diriku.

Kuputuskan untuk mengajaknya berbicara, karena aku menjadi sangat ingin tau, kutu macam manakah yang bukan saja - sekali lagi di luar akal sehat - dapat berbicara, melainkan juga mengaku sebagai Tuhan.

***

"Kau Tuhan?" Aku memulai perkataanku. Dan aku sungguh merasa sangat tolol ketika memulai pembicaraan itu. Bayangkan saja, berbicara dengan seekor kutu, yang mengaku Tuhan pula! Orang gila pun mungkin tak sudi melakukannya. Tapi kutu ini memang berbicara, dan ia memang mengaku Tuhan. Maka walaupun rasa ketolol-tololan itu menyengatku hingga ke ubun-ubun, kulanjutkan juga pembicaraan itu. "Ke mana saja kau selama ini? Mengapa baru sekarang kau muncul lagi?"

Dengan suara yang datar dan berkesan dilambatkan kutu itu justru berkata, "tadi kutanya siapa namamu. Dan kau belum menjawabku." Kujawab dengan suara yang datar pula karena, kau tau, memberitahu namaku ke seekor kutu adalah puncak dari ketololan yang kurasakan. Setelah itu baru sepertinya ia merasa puas dan melanjutkan kembali.

"Aku ini Tuhan. Aku ada dan selalu ada. Aku tidak pernah pergi. Dan aku pun selalu berusaha berkomunikasi dengan orang-orang, tapi pada umumnya mereka terlalu dungu, atau banyak dari mereka segera dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa."

Pantas saja mereka segera dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Bagaimana tidak, di mana di dunia ini ada orang waras yang berbicara dengan seekor kutu yang mengaku Tuhan. Tetapi tampaknya itu sebuah kesalahan. Karena tepat di pagi hari itu ternyata aku sedang berbicara dengan seekor kutu, yang nyata-nyata mengaku bahwa dirinya Tuhan. Dan jelas aku adalah seorang waras.

"Mengapa kali ini kau memilihku untuk berkomunikasi, kutu - maksudku Tuhan?"

Sambil mengusap tangan-tangannya, kepala, dan badannya secara bergantian, yang mana membuatku sekilas berpikir, bahwa kutu yang mengaku Tuhan ini pesolek juga sifatnya, ia menjawab enteng, "sederhana saja, karena kau tak terlalu dungu. Tapi juga tak terlalu cerdas."

Setelah menjawab, ia mulai berjalan ke tepian buku, menengok ke belakang ke arahku dan berkata "turunkan aku."

"Ha?" Aku tidak mengerti, jelas jidatku berkerut dan mulutku celangap sambil menatap si kutu yang masih menengok ke arahku. Dengan tidak sabar dan hampir memotong ucapanku ia berkata "turunkan aku. Ke lantai!"

Maka kuturunkan buku yang sejak awal tadi masih kupegang di depan dadaku. Ia mulai merayap turun dan menjauh dari buku yang kini tergeletak di lantai di depanku. Setelah berjarak kira-kira satu meter dari tempatku duduk ia mulai berhenti dan merapat ke tepi lemari pakaianku, kemudian dalam satu kejapan mata yang kulakukan, telah muncul seorang manusia di tempat itu menggantikan sang kutu.

Aku terkaget-kaget dan terperanjat, mundur dari tempatku duduk di lantai, dan hampir bangun karena ternyata di belakangku adalah dinding. Di depanku duduk seorang manusia yang berusia kurang lebih sama denganku. Rambutnya kering dan tidak terlalu tercukur rapi, kulitnya coklat, matanya tampak agak lelah, pakaiannya berupa jubah hitam - seperti jubah yang digunakan oleh pendeta-pendeta Kristen zaman dulu, berlengan panjang dan bagian bawahnya menerus hingga kaki seperti daster.

Ia menatapi pakaiannya sendiri seperti menimbang-nimbang, kemudian menatapku yang masih membeku dalam posisi setengah jongkok dan setengah duduk. "Maaf. Salah." Ia tersenyum singkat, dan ketika mataku berkejap sekali lagi, pada saat mataku membuka ia telah berganti pakaian. Ia mengenakan kaos oblong dan celana panjang katun polos berwarna putih. Sekali lagi ia menatapi pakaiannya, tampak puas, dan balik menatapku. "Ada rokok?"

Setelah menelan ludah dan mengambil rokok di sampingku tanpa melepaskan pandangan darinya, kusodorkan rokok sekaligus dengan koreknya. Ia ambil sebatang, menyalakannya dengan sebuah isapan panjang, menariknya ke dalam paru-paru, dan menghembuskannya dengan puas sambil menyandarkan punggungnya ke lemariku. Kakinya diselonjorkan, yang kanan diletakkan di atas yang kiri. Aku perlahan-lahan mulai duduk kembali, tetapi tetap tidak melepaskan pandanganku yang jelas dipenuhi dengan keheranan. Ia hisap lagi rokoknya dan menghembuskan asapnya sambil mengambil asbak yang ada di antara kami berdua, kemudian ia kembali pada posisinya semula dan menatapku sambil tersenyum tipis. "Nah. Sepertinya ada yang hendak kau tanyakan?"

***

Mulutku masih celangap, tetapi perlahan-lahan aku mulai menguasai diriku. Baik, kutu - yang mana sekarang telah berubah menjadi seorang manusia - di hadapanku ini adalah Tuhan. Menyaksikan apa yang dilakukanNya, aku tak dapat berpikir lain selain bahwa Ia memanglah Tuhan yang sesungguhnya. Hanya saja hal ini terlalu tiba-tiba, dan tidak perlu dipertanyakan lagi, aku tidak terbiasa untuk - karena memang aku tidak pernah - duduk berhadap-hadapan dan bicara langsung dengan Tuhan, yang kini sedang duduk selonjoran sambil asik merokok di hadapanku. Dan tingkah lakuNya itu membuatku ragu kalau Ia adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan yang selama ini dibicarakan orang-orang. Yang jelas aku tau, di kitab suci manapun tidak pernah diceritakan tentang Tuhan yang merokok dan berkaos oblong, terlebih lagi Tuhan yang menyamar menjadi kutu.

"Baik. Kau Tuhan. Apakah Kau Tuhan yang dikenal selama ini?" Agak terbata-bata aku menanyakannya sesudah beberapa kali menelan ludah dan mencoba untuk membuat otot-ototku menjadi lebih santai.

Seakan-akan Ia benar-benar tidak mengerti, Ia langsung menjawab, "Tuhan yang mana? Tidak ada Tuhan yang lain. Tuhan ya cuma aku."

"Maksudku Tuhan yang sekarang ini diimani oleh orang-orang beragama."

"Ah, bohong itu! Nggak bener. Wong Tuhannya aku."

Sedikit bingung karena seakan-akan menjadi ada dua Tuhan yang mengaku dirinya adalah Tuhan, atau bahkan lebih dari dua Tuhan yang mengaku Tuhan, aku terdiam sambil berusaha berpikir tentang hal itu. Kemudian mataku terarah kepadaNya lagi ketika Ia kembali menyambar, "yang Tuhan itu aku. Yang lain bohongan. Maksudmu yang disembah-sembah oleh orang-orang dari zaman dulu sampai sekarang, di dalam rumah-rumah ibadah itu toh?" Aku menganggukan kepala tapi tak berkata apa-apa. "Ya itu dia. Bohong itu. Aku ndak pernah minta disembah kok. Aku juga nggak ngerasa aku disembah. Entah apaan yang mereka sembah, yang jelas bukan aku."

Aku berusaha berpikir lagi, meneruskan pikiranku yang terpotong oleh kata-kataNya. Tapi yang terpikirkan cuma bahwa agama-agama itu mengatakan mereka menyembah Tuhan, kalau sekarang Tuhan ada di hadapanku, seharusnya tentu saja yang mereka - orang-orang agama itu - sembah adalah Tuhan yang ada di hadapanku ini. Tuhan. Maka kukatakan pikiranku itu, "tetapi mereka bilang mereka menyembah Tuhan," aku terdiam sebentar, "kalau Kau adalah Tuhan, berarti mereka menyembahMu. Kan?"

"Enggak. Udah kubilang aku nggak minta disembah. Dan yang mereka sembah itu bukan aku. Lagipula aku nggak seperti yang mereka omongin dan nggak seperti yang mereka tulis-tulis itu kok."

"Tapi mereka bilang mereka menyembah ..." belum selesai kata-kataku Ia sudah berkata "mereka bilang begitu. Tapi mereka tau dari mana kalo mereka bener-bener nyembah aku?"

"Kitab suci bilang begitu. Semua kitab suci bilang agamanya menyembah Tuhan."

"Lha ya tau dari mana itu kitab suci isinya bener?"

"Nabi-nabi penulisnya mendapat wahyu...," sempat sedikit ragu untuk meneruskannya, "dariMu..."

"Kukasih tau, aku tidak memberi wahyu apa-apa pada mereka! Kenalpun tidak. Jadi mereka bukan bicara tentang aku."

Aku terbengong-bengong. Walaupun aku bukan seorang religius, tetapi tetap saja kenyataan ini membuatku terbengong-bengong. "Berarti... apa yang dikatakan kitab suci itu bohong, nabi-nabinya pun bohong, agamanya bohong, dan umat-umatnya semua dibohongi...?"

"Ada kemungkinan apa lagi? Kalau bukan bohong ya gila."

Sejujur-jujurnya aku masih bingung juga. Logikaku sulit untuk langsung menyocokkan apa yang dikatakanNya dengan apa yang selama ini dikatakan oleh orang-orang. Setelah berpikir sebentar, aku bertanya lagi, "apakah Tuhan memang cuma Kau, atau masing-masing agama itu menyembah Tuhan yang lain, tetapi bukan Kau?"

"Aduh! Jangan-jangan semua manusia memang dungu. Kau pun mulai menjadi dungu. Kukatakan Tuhan itu cuma aku. Tidak ada Tuhan yang lain selain aku. Begitu ada orang yang mengaku menyembah Tuhan, berarti dia bohong, atau tertipu, karena dia bukan menyembah aku. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang menyembahku." Ia menghisap rokoknya, menjentikkan abunya di asbak dan meneruskan, "lagi pula kau tak melihat kekonyolan itu? Orang-orang dungu itu punya banyak agama untuk menyembah Tuhan, lantas maksudnya ada banyak Tuhan dengan banyak cara menyembah, atau ada banyak Tuhan dengan cuma satu cara menyembah yang benar, ..." Ia berhenti, menghisap rokok lagi, "atau ada satu Tuhan dengan banyak cara menyembah, atau ada satu Tuhan dengan cuma satu cara menyembah yang benar?"

Asap rokok keluar dari mulutNya ketika Ia mengucapkan potongan kalimat yang terakhir itu, dan sesudah selesai berucap Ia hembuskan semuanya sambil menatapku dengan dalam, membuatku kembali berpikir-pikir. Lagi-lagi, belum selesai aku berpikir Ia sudah meneruskan, "bagaimanapun yang sesungguhnya, tau dari mana kau bahwa apa yang dikatakan oleh agama-agama itu, dengan kitab-kitab mereka, adalah benar adanya? Lebih tepatnya, tau dari mana kau, bahwa apa yang tertulis di kitab itu adalah sebuah kebenaran? Kitab-kitab yang ditulis ribuan taun lalu, oleh orang-orang yang sama sekali tak kau kenal, yang hanya mengatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Kau tau dari mana?"

Aku hanya dapat mengangguk-angguk, sambil perlahan-lahan mencerna apa yang dikatakanNya barusan, satu demi satu, sambil berharap kali ini pikiranku tidak Ia potong lagi.

***

Kalau Tuhan yang sesungguhnya, yang sedang duduk selonjoran di hadapanku ini bukanlah Tuhan seperti yang dikatakan oleh agama-agama, maka Tuhan seperti apakah Dia? Rasa ingin tahuku tergelitik karena menyadari bahwa ternyata manusia, selama entah berapa ribu tahun, telah mengenal Tuhan yang sama sekali salah, dan Tuhan yang sesungguhnya tepat berada di hadapanku. Kalau cerita yang dikatakan oleh agama-agama itu tidak benar, maka bagaimana cerita yang sesungguhnya?

"Tuhan, apakah Kau yang menciptakan Adam dan Hawa?", mulai kupancing Ia agar bercerita.

"Siapa lagi itu? Manusia dungu lainnya?"

"... dua manusia pertama yang... katanya... diciptakan oleh Tuhan..."

"Kalau Tuhan yang disebut-sebut oleh agama-agama itu sudah salah, maka yang lain-lainnya yang dikatkannya juga pun mesti salah. Jadi siapa itu Adam dan Hawa aku tidak tau menahu, tepatnya tidak ada itu dua manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Aku tidak pernah menciptakan dua manusia dungu pertama itu."

"Berarti cerita penciptaan alam semesta selama tujuh hari pun tidak benar?"

"Tentu saja tidak. Mungkin itu cuma dongeng sebelum tidur untuk anak-anak kecil dua atau tiga ribu tahun lalu, yang kemudian diadaptasi menjadi cerita resmi, oleh orang-orang cerdas yang penipu. Atau gila. Dan diimani oleh orang-orang dungu, yang saling mendungui orang lainnya."

Baru saja aku hendak menanyakan hal yang lainnya, Ia melanjutkan, "Bahkan bahwa dunia ini bulat dan matahari adalah pusat tata surya saja orang-orang dungu itu tidak tau. Apa yang kau harapkan dari mereka, suatu pengetahuan tentang asal muasal dunia? Non sense!"

Sesudah Ia berhenti berbicara baru kukatakan, "cerita tentang buah terlarang juga dongeng...? Dan dosa asal juga dongeng...?" Sedapat-dapatnya kuusahakan supaya apa yang kuucapkan itu tidak terdengar seperti pertanyaan, karena semestinya memang itu tidak perlu ditanyakan lagi. Tetapi aku ingin dengar dari mulutNya sendiri, aku ingin sungguh-sungguh mendengar suatu konfirmasi bahwa itu memang bohong.

"Itu kau tau!" Ia berkata sambil menunjuk singkat ke arahku dengan rokok yang tinggal setengah di tanganNya dan menghembuskan asap dari mulutNya. "Jelas dongeng. Manusia yang dungu-dungu saja bisa menciptakan lemari besi, kalau aku yang sungguh berada di sana waktu itu, tentu saja buah jahanam itu sudah kumasukkan ke dalam lemari besi. Apa susahnya? Lebih masuk akal lagi kalau aku tidak usah repot-repot menciptakan buah yang tidak boleh dimakan, dipajang mentereng di tempat umum pula. Tuhan yang ada di dongeng itu mesti dimaksudkan sebagai Tuhan yang dungu seperti kalian-kalian manusia ini." MataNya dialihkan dari arahku ke arah yang lain sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ngaku Tuhan kok dungu... setidaknya aku tak akan sedungu itu."

Seperti teringat akan sesuatu, Ia tiba-tiba melanjutkan lagi. "Dan soal dosa asal. Itu pun gila. Yang makan buah kan cuma dua manusia dungu itu, tapi semua anak-cucu-cicitnya ikut kena akibat, sampai kau yang dungu itu di hari ini pun kena akibat buah sinting itu. Sungguh dongeng yang dungu tentang Tuhan yang dungu, yang dipercayai oleh orang-orang dungu."

Berarti Ia sesungguhnya tau tentang cerita-cerita itu, tetapi dari nada bicara dan gerak-gerikNya, aku merasa Ia menjadi semakin dan semakin emosional. Seperti mengeluarkan suatu ketidaksukaan yang telah lama dipendamNya. Dan oleh karena itu aku tidak dapat berkata-kata, Ia menjadi seperti orang tua yang sedang ngedumel pada anaknya. Terlebih lagi kalimat yang Ia ucapkan sesudahnya, terdengar lebih pelan, seperti berbicara dengan diriNya sendiri, tetapi jelas Ia ingin aku mendengarkannya.

"... katanya maha tau, mestinya udah tau itu buah bakal dimakan, ya tetep aja diciptain, tetep aja dipajang di depan idung manusia dungu... Mana ada Tuhan sontoloyo kayak begitu... Cerita bohong. Cerita bohong tentang Tuhan yang dungu..."

***

Kubiarkan dulu Ia menenangkan emosiNya yang mungkin baru sekarang dapat Ia keluarkan setelah sekian lama. Aku duduk diam memperhatikanNya tanpa terlepas, perlahan-lahan bergerak mengambil rokok dan korekku yang ada di sampingNya. Ia melirik dan kemudian menatapku sekilas, Ia dorong benda itu ke arahku. Kuambil sebatang dan kunyalakan. Kami berdua merokok sekarang. Bayangkan! Aku merokok bersama Tuhan, di kamar kosku.

"Ada makanan apa di sini?" Ia tiba-tiba bertanya sambil menatapku. Ia tampak lebih tenang sekarang, tidak dikuasai lagi oleh emosiNya. Pikiranku bergerak lambat mengingat makanan apa yang masih tersisa. Hanya sebungkus biskuit coklat yang sebagian sudah kumakan. Aku bangun dari dudukku, berjalan melintas di depanNya untuk mengambil biskuit itu. Aku berjalan dengan agak kikuk, perasaanku aneh, menyadari aku tengah berjalan berdiri lebih tinggi di depan Tuhan yang kini duduk termenung-menung di lantai. Persis aku biasanya duduk, persis seperti bagaimana manusia pada umumnya duduk.

Biskuit dan sebotol air minum kuletakkan di lantai di dekatNya. "Cuma ini yang ada, sebagian sudah kumakan pula," berhenti sebentar kutambahkan, "maaf..." "Oh tenang aja. Gak apa-apa. Aku nggak lapar kok." Ia mulai membuka bungkusnya yang kulipat dan kurekatkan dengan solatip bening. Meletakkan isinya di lantai, mengambil sebongkah biskuit coklat, dan mulai makan.

Pertama Ia seekor kutu, kemudian manusia, lantas merokok, sekarang Ia makan biskuit coklat yang tinggal setengah bungkus. Pikiranku sulit berkonsentrasi melihat dan memikirkannya. Ini sungguh ajaib. Sungguh tidak masuk di akal. Tetapi Ia memang di sana di depanku, sedang makan sambil memegang rokokNya yang tinggal sedikit di tangan yang satunya. Manusia paling gila pun mungkin akan mengutukiku dan menganggapku gila jika kuceritakan tentang ini. Tapi sungguh, Ia ada di depanku, Ia sedang makan, dan aku sadar-sesadar-sadarnya. Kuharap kau pun tidak ikut menganggapku gila, aku menaruh harapan padamu, maka kutuliskan hal ini, supaya kau dapat membacanya. Aku harap kau mengerti, walaupun ini sulit dipercaya, dan aku pun mungkin tidak percaya jika kau yang menceritakan hal ini padaku. Tetapi tolonglah untuk percaya.

Jika kukatakan aku bertemu Tuhan yang sungguh agung bersinar-sinar dengan jubah putih berkilauan, berjanggut putih berambut gondrong yang juga putih, dengan tongkat di tangannya serta lingkaran halo di belakang kepalanya, kau boleh curiga bahwa aku cuma berbohong atau sedang ngelindur ketika aku mengalaminya. Tetapi justru yang bertemu denganku bukanlah Tuhan semacam itu, bukan Tuhan yang selama ini digambarkan atau tergambarkan oleh orang-orang. Ternyata Tuhan hadir sebagai seekor kutu, dan sekarang Ia manusia yang sedang makan biskuit coklatku, mengunyahnya perlahan-lahan, menelannya, dan menghisap lagi rokoknya.

Tuhan yang selama ini digambarkan, tuhan berjenggot dan berkilauan itu, sesungguhnya memang, tau dari mana para nabi-nabi itu bahwa Tuhan memang berwujud seperti itu, terlebih lagi, tau dari mana mereka bahwa yang mereka kenal adalah memang sungguh Tuhan. Seperti yang Tuhan - yang sesungguhnya - katakan padaku. Melihat tingkah lakuNya, mendengar ucapanNya, aku justru mulai percaya bahwa Dia yang duduk di depanku itu adalah Tuhan. Tuhan yang sebenarnya.

Melihat Ia sudah tenang kembali dan bahkan sedikit terhibur karena biskuit coklatku, aku mulai bertanya lagi, "Tuhan, apakah Kau menciptakan takdir?"

"Aku tak akan repot-repot mentakdirkanmu menjadi seorang pembunuh hanya untuk kemudian memasukkanmu ke dalam neraka. Aku yang mentakdirkanmu, tetapi aku juga yang menghukummu atas takdir yang kuberikan. Itu namanya nggak ada kerjaan. Perbuatan bodoh."

"Berarti manusia bebas melakukan apa yang diinginkannya?"

"Sederhananya begitu. Intinya aku tidak mau repot-repot menciptakan takdir untuk masing-masing daripadamu." Ia menutup ucapannya sambil mematikan rokok di dalam asbak.

Pikiranku serentak melayang-layang, membayangkan apa yang selama ini telah dipercaya oleh manusia sebagai takdir. Mulai dari tetanggaku yang percaya ia ditakdirkan untuk tidak lulus pada semester kemarin, kawan masa kecilku yang orang-orang percaya ia memang telah ditakdirkan seperti itu ketika ia meninggal tertabrak truk tronton, para presiden dan raja-raja yang percaya pada takdirnya sebagai raja, hingga bangsa-bangsa yang percaya pada takdir bangsanya masing-masing. Rupanya memang semua orang pun gila. Dan aku menjadi tidak terlalu khawatir kalau ternyata aku memang gila.

Terutama semua orang yang percaya takdir, memang sekarang menjadi nyata buatku bahwa mereka gila. Pamanku ditakdirkan jadi seorang pengedar obat-obatan, dan sesudah mati nanti ia akan diadili atas perbuatan yang telah ditakdirkan untuk ia lakukan. Itu sungguh konyol. Bagaimana pula dengan bangsa Israel yang selama ribuan tahun mempercayai bahwa ialah bangsa yang ditakdirkan untuk terpilih. Kalau bukan kegilaan mereka, berarti sekadar kebohongan belaka. Tetapi bagaimanapun, kata Tuhan, maksudku Tuhan yang sebenarnya yang sekarang duduk di depanku, Tuhan yang katanya memilih mereka itu adalah Tuhan bohongan. Berarti seperti apa pun ceritanya, mereka pasti pembohong, atau sekali lagi, gila.

Nah sekarang Tuhan yang sesungguhnya ada di depanku, ... apakah mungkin Ia kini ada di hadapanku karena Ia telah memilih bangsa ini? Aku membelalak sekilas karena memikirkannya. "Apakah bangsaku adalah bangsa yang terpilih, Tuhan?"

"Maksudmu? Aku tak memilih bangsamu. Kalau dapat memilih, aku memilih untuk meminta sebatang rokok lagi."

Aku tidak langsung mengerti dengan ucapanNya. Setelah mencernanya sejenak dan mengerti, langsung kusodorkan lagi rokok ke arahNya, dengan korek apinya sekaligus.

"Maksudku seperti cerita tentang bangsa Israel..."

Ia tak langsung menjawab, melainkan mengambil sebatang rokok dari dalam bungkus, memasangnya di mulut, dan menyalakannya. Kali ini dengan isapan-isapan pendek. Asap mulai mengepul-ngepul, menatap sekilas pada rokoknya, baru Ia menjawab. "Tuhan kok memilih satu bangsa di antara bangsa-bangsa lainnya. Yang kayak begitu itu ya cuma Tuhan karangan bangsa itu dhéwék, atau kalo emang ada yang seperti itu ya artinya itu Tuhan fasis!" Cara bicara dan mimik mukaNya benar-benar suatu ekspresi penghinaan. Seketika mimikNya berubah dan bertanya dengan nada rendah, "kau mau punya Tuhan fasis? Atau jadi korban fasisme Tuhan?"

Aku tak dapat menjawabnya. Lagi pula kupikir itu memang cuma sebuah pertanyaan retorik dariNya. PertanyaanNya kemudian Ia jawab sendiri, "kurasa kau tak akan mau. Dan aku pun tak mau menjadi Tuhan yang fasis, Tuhan yang keji."

***

Jadi sudah jelas, yang di hadapanku ini adalah Tuhan yang sesungguhnya, dan Ia tadi katakan bahwa cerita yang sesungguhnya bukanlah seperti cerita yang selama ini kita ketahui atau dengar. Bahkan Ia, Tuhan, bukanlah Tuhan seperti yang orang-orang katakan tentang Tuhan. Atau biar kukatakan begini, yang selama ini kita ketahui tentang Tuhan adalah salah, dan orang-orang agama itu selama ini tinggal menjadi objek penipuan para nabi-nabi mereka. Yang mereka omongin tentang Tuhan adalah salah, mereka tidak mengenal Tuhan yang sesungguhnya, dan cerita yang sebenarnya tidak seperti cerita-cerita di dalam kitab suci itu.

Lucu juga, bahwa manusia telah selama ribuan tahun berputar-putar dalam lingkaran kebohongan dan kegilaan akan Tuhan yang ternyata sama sekali salah. Sementara para nabi-nabi di zaman dahulu itu berbohong atau mengidap kegilaan, memang, manusia manakah yang akan tau bahwa mereka dulu berbohong, setelah ribuan tahun seperti sekarang. Kita tak akan tau apakah nabi-nabi itu berbohong, kita tinggal cuma bisa baca dari tulisan-tulisan di dalam kitab suci, tanpa tau apakah yang tertulis di dalamnya adalah kebenaran. Hanya percaya. Tidak lebih dari itu. Aku jadi tersenyum-senyum membayangkannya. Dan semakin bertanya-tanya, Tuhan seperti apakah itu Tuhan yang sebenarnya, yang ada di hadapanku ini? "Apakah Kau pendendam, Tuhan?"

"Aku bisa mendendam. Tentu saja. Tapi aku bukan pendendam." Ia tertawa kecil setelah jawabanNya itu. Sepertinya ada yang lucu di sana, sepertinya ada yang menggelitikNya tentang cerita itu. "apa kau mau punya Tuhan yang pemarah sekaligus pendendam, yang membunuh ribuan bayi-bayi kecil di Mesir hanya untuk mendatangkan seorang nabi? Yang marah-marah lantas menenggelamkan seisi dunia dalam air bah? Atau yang mengutuk manusia yang satu sementara meninggikan manusia yang lain? Keji sekali Tuhan seperti itu. Aku bukan Tuhan semacam itu."

Setelah tertawa halus, Ia teruskan lagi, "Kuberitahu padamu, Tuhan yang kau kenal itu, sungguh keji. Dan dia bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Akulah Tuhan. Tetapi bukan Tuhan yang keji seperti itu. Aku bukan Tuhan yang menuntut seisi alam semesta untuk menyembahku, aku tidak gila hormat, aku tak akan kirim orang yang menghujatku ke dalam api neraka jahanam seperti yang katanya dilakukan oleh Tuhan dongeng itu."

Ia tersenyum-senyum ketika mengatakannya. Rupanya cerita tentang betapa pendendam dan pemarahnya Tuhan, maksudku Tuhan yang bohongan, yang dipercayai oleh umat manusia, membuatNya merasa geli. Memang aku pun merasa, akan menjadi tontonan yang lucu, seandainya ada seonggok boneka yang orang-orang anggap adalah diriku. Tetapi, "apakah Kau Tuhan yang pencemburu?"

Singkat, jelas, dan padat, Ia menjawab sederhana, "kalau aku pencemburu, sudah kumusnahkan semua manusia seisi dunia yang bebal dan tak tau adat ini!" Lalu Ia tertawa cukup lepas. Rupanya tidak, Ia sama sekali bukan Tuhan pencemburu seperti yang dikatakan orang. Bahkan Tuhan yang sebenarnya memandang tragedi kesalahkaprahan manusia menyembah Tuhan-Tuhan palsu menjadi hal lucu untukNya.

***

Melihat Ia tertawa lepas aku langsung kembali dari perjalananku dalam pemikiran. Aku langsung menyadari keberadaanku, kembali lagi ke dalam diriku yang tengah terduduk di lantai bersama Tuhan. Bersama Tuhan! Ada Tuhan di hadapanku. Benar-benar Tuhan dan bukan sekadar tulisan, patung, ukir-ukiran, ataupun segala rupa hal lain yang terwakilkan oleh bentuk atau cuap-cuap para pemuka agama. Tuhan ada di sini bersamaku. Aku menjadi sedikit merasa konyol dan menjadi canggung lagi. Bagaimana sikapku seharusnya pada Tuhan? Apakah memberi setengah bungkus biskuit coklat, rokok, dan air putih sudah cukup sopan untuk menyambut kedatangan Tuhan? Atau harus kulakukan yang lain? "Apakah aku, dan manusia lain, ... perlu berdoa kepadaMu, Tuhan?"

"Untuk apa? Manusia sendiri yang mengatakan bahwa aku maha tau. Tentu, kalau aku mau, aku tau apa yang ingin kau ucapkan dalam doa."

"Memang... tapi berdoa padaMu kan belum tentu berarti meminta sesuatu. Bisa juga manusia berdoa untuk berterimakasih kepadaMu... mengekspresikan..."

Sekali lagi kata-kataku dipotong ketika aku belum selesai bicara, "tetap saja, untuk apa? Kau mau meminta, berterimakasih, curhat, atau mengutukku sekalipun, aku toh sudah tau apa yang hendak kau katakan. Lalu untuk apa lagi kalian membuatku sibuk dengan segala ocehan kau dan semua mahluk manusia di dunia? Bisa dikatakan kalian justru menghinaku kalau masih tetap saja berdoa padaku. Seperti memberitahukan sesuatu kepada seseorang bahwa besok matahari akan terbit di Timur, yang mana jelas-jelas sudah diketahui oleh orang itu. Apakah orang yang memberitahu itu menganggap yang diberitahu sedemikian gobloknya sehingga tidak tau apa yang diberitahukannya?"

Kata-kataNya menyeretku kembali ke dalam jalan-jalan pemikiran yang membuatku termenung-menung. Benar juga apa yang diucapkanNya, memang tidak perlu berdoa. Tetapi kalau begitu, kalau Tuhan sungguh maha tau sehingga kita tidak perlu lagi berdoa padaNya untuk memberitahukan apa yang jelas semestinya sudah diketahuiNya, mengapa ia masih perlu memberi ujian atau cobaan kepada manusia? Tetapi tunggu, apakah Ia memang mencobai manusia? "Tuhan, apakah Kau mencobai manusia?"

"Mencobai? Kata-kata macam apa itu?? Apa maksudmu?"

Ia mengatakan 'mencobai' dengan nada dan ekspresi yang menunjukkan kejijikan. Tiba-tiba aku heran juga, bagaimana Ia dapat mengaku bahwa Ia maha tau, sementara Ia tidak mengerti apa yang kukatakan ini, sepotong kata sederhana sesederhana 'mencobai'? Tetapi biarlah itu nanti saja akan kutanyakan. Satu per satu.

"Maksudku memberi ujian, memberi cobaan pada manusia...?"

"Sepertinya kau yang sedang ... mencobai ... aku. Kan sudah kukatakan aku maha tau. Tanpa ... mencobai dirimu pun aku sudah tau bagaimana itu dirimu, dari ujung kuku jempol kakimu, hingga sejentik ketombe di pucuk rambutmu. Kau jangan bawa-bawa ajaran sesat tentang Tuhan agama-agama itu, itu semua kebohongan. Tuhan yang dikatakan nabi-nabi itu mesti saja sungguh dablek, apa gunanya lagi mencobai manusia yang - katanya - ia ciptakan sendiri kalau ia memang benar-benar maha tau, sehingga semestinya ia tau segala sesuatu tentang manusia itu. Iya kan?"

Sebelum sempat aku mulai berpikir lagi, Ia sudah menambahkan, "dan Tuhan palsu itu, yang sekarang dikenal, merasa perlu menyuruh seorang nabi membantai anaknya sendiri, hanya untuk mengetahui kadar iman dan kesetiaannya. Dan Tuhan palsu itu juga mengirimkan azabnya kepada berjuta-juta manusia di muka bumi, dalam bentuk kelaparan, penyakit-penyakit, kematian, kemelaratan, penderitaan, semua itu hanya untuk sekadar 'mencobai'? Aku tak habis pikir bagaimana Tuhan yang semacam itu dapat disebut Tuhan? Yang maha tau pula!" Terdengar ekspresi kejijikan yang sama setiap kali Ia mengucapkan kata 'mencobai'.

Selain tidak membutuhkan doa-doa dari manusia, rupanya Tuhan yang tampak nyenterik ini tidak juga memberi cobaan pada manusia. Karena Ia maha tau, katanya. Tapi tadi Ia sendiri kebingungan tentang kata 'mencobai' yang kuucapkan. Bagaimana mungkin Ia maha tau, kalau begitu? Tapi sekali lagi itu nanti saja, ada satu hal lain yang harus kutanyakan dulu kepadaNya. Tuhan, yang sesungguhnya, memang tidak ... mencobai (aku pun menjadi agak jijik dengan kata itu) manusia, tetapi bagaimana dengan setan dan iblis yang melakukan dan menyebabkan segala yang jahat di muka bumi? "Apakah setan dan iblis itu ada, Tuhan?"

"Ah itu pun bohong, para nabi-nabi yang dungu itu cuma membutuhkan kambing hitam saja untuk segala keburukan. Mereka mati-matian berusaha untuk menjaga supaya nama Tuhannya, yang palsu itu, tetap bersih suci, maka mereka limpahkan segala yang buruk kepada setan dan iblis. Sesungguhnya justru, berbeda dengan yang dikatakan oleh para nabi-nabimu, semestinya aku dan iblis adalah satu, tidak terlepas dan terpecah menjadi dua seperti yang mereka percaya."

Ia ambil botol air mineral, membuka tutupnya, dan menempelkan lobangnya ke mulut. Seperti kehausan karena telah tanpa henti berbicara menjawab pertanyaan demi pertanyaanku, Ia minum cukup banyak, berteguk-teguk air meluncur melalui tenggorokanNya dengan bersuara. Aku dapat mendengarnya.

Setelah selesai, sambil menutup kembali botol air minumku, Ia seka mulutNya dengan lengan kaos oblongNya, dan segera melanjutkan, "aku ini Tuhan, dan karena aku Tuhan, aku mesti mencakupi segala sifat dan keadaan yang ada, baik atau buruk. Aku bukan hanya maha yang positif, maka aku pun mesti maha yang negatif, demikian barulah aku dapat dikatakan sebagai Tuhan. Manusia sendiri yang mengatakan, Tuhan adalah maha segalanya. Jadi jika salah satu sisi telah dipecah dan dipisahkan kepada pihak yang lainnya, maka jadilah aku Tuhan yang cacat, yang tidak lagi maha segalanya, dan oleh karena itu bukan lagi merupakan Tuhan." Ia berhenti sebentar seperti memeriksa kembali apa yang sudah dikatakanNya, kemudian baru berkata "kau mengerti tidak?"

Aku mengangguk-angguk mendengarkan jawabanNya, bahkan sesudah Ia selesai bicara pun aku masih mengangguk-angguk, dengan hanya sekilas mengucap "ya... ya..." karena disibukkan oleh pikiran yang tengah mengaduk pikiranku. Pemikiran tentang Tuhan yang baru saja diperkenalkan kepadaku oleh Tuhan sendiri. Bahwa Tuhan yang maha segalanya semestinya juga mencakupi baik dan buruk, positif dan negatif, besar dan kecil, segalanya, dan oleh karena itu pemisahan segala sifat yang negatif ke dalam diri iblis, setan, atau siapapun itu justru akan membuat Tuhan itu sendiri menjadi tidak lagi sempurna, tidak lagi maha segalanya. Hampir tanpa sadar, mengikuti pikiranku itu, aku menggumam, "jadi, ... Kau maha segalanya?"

Dan Ia hanya menjawab dengan penuh optimisme, "Kalau tidak demikian aku tidak disebut Tuhan!"

***

Dengan segera topik tentang kemahaanNya itu membuatku terpikir, semestinya Ia juga maha adil! Lalu bagaimana dapat segala ketidakadilan dan kehancuran dunia sekarang ini terjadi? Mengapa Ia tidak memperbaikinya, atau setidaknya membuatnya jadi lebih baik, atau menunjukkan batang hidungnya dan mengatakan dengan tegas apa yang Ia kehendaki? Aku memutuskan untuk menanyakan hal itu kepadaNya, tetapi dengan perlahan-lahan.

"Tuhan, berarti Kau maha adil juga?"

"Perlu ditanya? Tentu saja!"

"Lalu... maaf... tapi kalau Kau maha adil, bagaimana dunia ini dapat menjadi dunia yang sangat tidak adil seperti sekarang? Yang dipenuhi dengan kejahatan dan pembunuhan, yang rusak berantakan, dan sangat amburadul...?"

Aku mengatakannya dengan sedikit hati-hati, secara tidak sadar aku takut Ia sampai marah atau tersinggung karena pertanyaanku. Tetapi ternyata Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalaNya dengan ringan, dan kemudian sambil berkata "ck.. ck.. ck.. kau belum mengerti juga ya?"

Ia menatap ke lantai dan mematikan rokok yang sejak tadi sudah tidak lagi dihisapNya, lantas berbicara "justru itu intinya. Aku ini maha adil, dan oleh karena itu aku tidak dan tidak dibenarkan dan tidak dapat memihak kepada pihak yang manapun yang ada. Aku harus membiarkan segalanya terjadi tanpa campur tanganku, keadilanku adalah keadilan yang utama, keadilanku benar-benar merupakan suatu kenetralan absolut, di mana aku tak menghadirkan diriku di mana pun, bahkan aku tak ambil peduli terhadap apapun, bagaikan bahwa aku ini tidak ada."

Kali ini apa yang dikatakanNya agak sulit untuk kucerna, tetapi perlahan-lahan dapat juga kumengerti. Ia maha adil justru karena Ia tidak memihak kepada apapun, entah itu baik atau pun buruk, maka dengan demikian segalanya terbebas dan mesti Ia bebaskan dari campur tanganNya, membiarkan segalanya mengalir dan terjadi tanpa Ia perlu dan boleh ambil perduli. Ia maha adil karena Ia maha segalanya, dan dengan demikian Ia menjadi sungguh netral secara absolut dalam arti yang sesungguhnya.

***

Berarti semestinya... "Tuhan... kalau Kau tidak memihak kepada sisi yang manapun, berarti Kau pun tidak memaksakan... atau katakanlah meminta manusia untuk melakukan perbuatan baik?"

"Tentu saja tidak. Itu kan Tuhan dongeng, yang dikatakan para nabi-nabi itu. Sementara aku nggak begitu. Aku nggak ngancem, juga nggak minta-minta kau melakukan perbuatan apapun. Sakarepmu dhéwék!"

"Bagaimana dengan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan manusia, Tuhan? Seperti memperkosa, merampok, membunuh, ... perang, penindasan, dan lain-lain... apakah Kau akan menghukumnya?"

"Kau sebut apa itu tadi segala macem memperkosa, merampok, membunuh, dan lain-lain?"

Kujawab "... perbuatan buruk..." dengan sedikit ragu dan sekaligus dengan nada yang seperti sebuah nada untuk bertanya.

"Nah itu udah tau. Buruk. Semestinya yang buruk ndak usah dilakukan, toh? Aku ngga ambil pusing dengan apa yang kalian lakukan di sini. Sabodo teuing."

Setelah mengatakan yang terakhir itu, tiba-tiba Ia mengangkat punggungNya yang sebelumnya disenderkan di lemari. Ia ambil botol air mineral dan minum kembali. Kali ini sedikit. Setelah selesai minum, sambil menutup botol Ia berkata "sudah ya, aku mau tidur dulu. Capek nih!"

Aku tergagap-gagap melihatnya perlahan-lahan meletakkan botol air mineral ke lantai. Ada sesuatu yang belum kutanyakan, tetapi aku agak sulit untuk mengingatnya. Ada yang terlupakan yang kutunda sebelum aku sempat bertanya. Aku merasakan keterburu-buruan untuk mengingat, hingga tiba-tiba aku teringat dan berkata dengan cukup keras "Oh! ... Tuhan! Ada yang belum kutanyakan... kalau Kau maha tau, kenapa sepanjang percakapan kita sepertinya Kau... tidak maha tau... setidaknya Kau tidak tau tentang kata 'mencobai'...?" Keningku terasa berkerut ketika menanyakannya.

"Ah. Kau tak punya rasa humor!" Hanya itu jawaban yang kemudian Ia berikan, sebelum tiba-tiba setelah mataku terbuka dari sebuah kedipan yang amat singkat, Ia telah menghilang, berubah bentuk menjadi seekor kecoak di sudut lemari pakaianku, di atas lantai.

Aku merangkak ke depan perlahan-lahan, dan bertanya, "Tuhan, apakah kita akan bertemu lagi?"

Sambil membalik arah tubuhNya menuju ke almari, dan entah bagaimana menurutku Ia tengah tersenyum lebar, Ia menjawab, "itu rahasia ilahi."

Setelah itu Ia mulai bergerak perlahan, dengan tanpa suara menyelip masuk ke kolong lemari pakaianku, menghilang di dalamnya.

***

Itulah pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dengan Tuhan. Ketika Ia berjalan memasuki kolong lemari pakaianku, sebagai seekor kecoak, adalah terakhir kalinya aku melihatNya.

Sekarang telah berselang dua hari sejak kejadian itu. Sepanjang dua hari ini aku sering sekali terbengong-bengong memikirkan apa yang terjadi di subuh hari dua hari kemarin, yaitu bahwa Tuhan telah datang ke dalam kamarku, sebagai seekor kutu, yang kemudian menjadi manusia, dan terakhir menjadi kecoak. Tuhan bukan hanya datang, tetapi juga berbicara dan mengobrol denganku, menghisap dua batang rokokku, minum dari botol air mineral milikku, Ia juga bahkan makan biskuit coklatku, yang tinggal setengah bungkus itu.

Selama dua hari ini aku hampir-hampir tidak dapat percaya pada apa yang kualami. Tetapi bagaimana aku dapat tidak percaya, jika ada tiga batang puntung rokok yang tergeletak di dalam asbakku, dan juga kini biskuit coklatku telah habis tanpa sisa. Dan yang membuatnya demikian, maksudku yang menghisap rokok yang dua batang, dan yang memakan biskuit coklatku, siapa lagi kalau bukan Tuhan.

Aku sungguh-sungguh bingung. Aku tak tau harus bagaimana. Bahkan aku tidak tau apakah sebaiknya kuceritakan hal ini kepada orang lain. Kepada pacarku sendiri aku belum menceritakannya. Tidak juga kuceritakan tentang berbagai macam hal yang Tuhan ceritakan kepadaku. Tetapi bagaimanapun aku harus menceritakan hal ini kepada seseorang. Seseorang yang kupercayai dan dapat memberiku pendapat yang benar.

Setelah berpikir demikian, aku segera menghubungimu lewat telepon, aku akan membuat janji untuk bertemu denganmu. Tetapi ternyata kau sedang pergi dan baru akan kembali tiga hari ke depan. Maka kuputuskan untuk menuliskan terlebih dahulu semua ini, agar ingatan-ingatanku tentang perjumpaan dengan Tuhan dua hari yang lalu itu masih jernih di dalam benakku.

Yang kuharapkan adalah profesimu sebagai psikiater dapat memberi masukan-masukan dan pendapat yang berharga untuk apa yang kualami. Setelah ini aku akan meletakkan surat ini di meja kerjamu di Rumah Sakit Grogol, mohon kau dapat menghubungiku dengan segera setelah kau pulang dan kembali bekerja. Terimakasih.



Kawanmu.

Jangan Mati Dulu

19 Februari 2006 01:27:20

Sore menjelang, senja kan datang.
Kosong merambat dalam redup,
sebelum langit membeku
dalam merah dan kelam.

Satu hari lagi telah lewat,
satu kesempatan telah terbuang.
Kawan apa lagi yang kita tunggu,
hidup ini singkat, waktu kita berbatas.

***

Sunyi subuh terkoyak.
Gelap menguap, biru berderap di langit.
Dingin embun pagi membasahi fajar.
Langit timur berpijar.

Hari yang baru pasti jadi.
Jangan mati dulu.

Neraka Mana Lagi yang Kau Maksud?

22 April 2007 01:51:32

Setiap tumpuk kerakusan-keserakahan-nafsu-dan-egoisme-mu telah membantu mewujudkan neraka terbrutal dan terkeji: Di muka bumi ini. Hingga tak ada lagi, di pelosok dunia bagian manapun tak ada lagi, yang terbebas dari belitan tentakel-tentakelmu yang penuh racun. Sejak tetes-tetes keringat pertama, luluhan air mata, hingga percik-percik dan genangan-genangan darah merah sepanjang mata memandang, telah kau tumpahkan. Laki-laki, perempuan, anak-anak, dan bayi sekalipun; semuanya terbantai menjadi mayat-mayat membusuk dengan wajah-wajah kosong perlambang kehidupan yang konyol.

Hidup Bukan Cuma Untuk Makan!

06 November 2007 07:45:13

Jangan lah kalian mengeluh dan merengek-rengek terus menuntut ini dan itu dengan cengengnya, kemiskinan kalian gunakan sebagai alasan, dan urusan makan selalu menjadi dalihmu. Hidup bukan cuma untuk makan!

Ya, hidup memang bukan hanya untuk makan, kami tau itu. Kau katakan dunia ini luas, kehidupan ini indah dan penuh dengan hal-hal yang patut direnungkan dan digali. Kita harus menciptakan cita-cita dan harapan untuk dikejar, ada banyak hal lain yang patut dialami dalam hidup selain hanya untuk makan, terlalu sia-sia kalau hidup hanya diukur dengan makan, bukanlah kehidupan kalau hidup hanya diabdikan untuk makan. Segalanya tentang makan, hidup untuk makan, rendah dan hina, seperti binatang.

Kami tau itu.

Bukanlah keinginan kami untuk hidup dalam keadaan seperti itu. Keadaanlah yang menempatkan kami menjadi demikian, dan perut ini harus diisi supaya kehidupan bisa diteruskan. Kalau kami hanya berbicara soal makan, menjadikannya bahan pembicaraan kami, menempatkan makan sebagai salah satu kerewelan kami, dan memiliki hidup yang berputar-putar pada soal makan, makan, makan, dan makan - itu karena memang di sanalah posisi kami.

Kalau kau telah mampu berpikir, berbicara, dan meracau tentang berbagai kenikmatan dunia lain selain makan, tentang segala hal besar dan agung, tentang bagaimana mengisi kehidupan ini, tentang memilih pekerjaan dan jalan hidup, bercita-cita dan merencanakan masa depan, dan menggali makna filosofis tai kucing tai kampret dari kehidupan ini; kalau kau telah mampu menyingkirkan makan menjadi permasalahan urutan kesekian dalam hidupmu, maka kami berada pada posisi memikirkan apa yang dapat kami makan besok atau minggu depan.

Kami harus berpikir, berbicara, dan memutar hidup kami pada persoalan makan. Kami harus menempatkannya sebagai persoalan nomor satu dan terkadang satu-satunya. Kami harus dan tidak-boleh-tidak mengatur hidup kami menyangkut permasalahan makan. Karena begitu kami menggantikannya dengan yang lain maka kami akan terancam kelaparan untuk kemudian dijemput malaikat maut!

Kemudian kau katakan bahwa hidup tidaklah sebegitu menyenangkannya hingga kita bisa mendapatkan apapun yang kita mau. Kau katakan hidup itu keras, hidup adalah urusan bekerja dan berkarya, berusaha untuk tetap hidup, hidup adalah perjuangan, hidup adalah kerja keras tanpa henti. Kami juga tau itu. Bahwa hidup itu terkadang kejam pun kami tau, bahkan aku yakin kami lebih tau bagaimana keras dan kejamnya hidup daripadamu.

Kau dapat merencanakan masa depanmu, memilih tempat belajarmu, mencari pekerjaan yang sesuai untukmu, atau mungkin kau teruskan usaha keluargamu, membangun tempat hidupmu, menabung untuk masa tuamu. Lalu kemudian kau bisa sekolah lagi, mencari pekerjaan yang lebih sesuai untukmu dengan hasil yang memuaskan. Maka kau dapat mengembangkan kehidupanmu, menikmati hidupmu dengan berbagai kegiatan, mengisinya dengan berbagai pengetahuan dan eksplorasi yang sungguh mendalam terhadap kehidupan, yang mana salah satu hasilnya adalah sebuah perkataan yang sungguh bijak: "Hidup bukan cuma untuk makan." Ya, kau memang sungguh bijak!

Tetapi sementara itu kami tidak memilih pekerjaan kami! Kami tidak mampu untuk itu. Kami hanya mencari pekerjaan, kerja, apapun itu, yang menghasilkan uang, berapapun itu. Kami menjadi buruh yang bekerja monoton selama delapan jam sehari di ruang-ruang membosankan, lalu kami ambil pekerjaan tambahan di waktu malam, kami berkubang dalam lumpur demi menumbuhkan padi-padi, atau menjadi kuli bangunan menantang maut di ketinggian puluhan lantai. Kami berjualan dan bermandi sinar matahari dan keringat dan debu jalanan dengan terancam penggusuran setiap hari, atau mendorong gerobak tua di tengah malam untuk mengorek-ngorek tempat sampah, kami juga mengais-ngais beras yang jatuh dari truk di pasar induk, menjadi pembantu rumah tangga dengan jam kerja dan jenis pekerjaan yang tanpa batas. Kami pergi ke luar negeri menjadi kacung yang ketika diperkosa dan disiksa hampir tak ada siapapun yang perduli, kemudian ketika pulang hanya pungli dan perampokan yang kami hadapi. Kami bekerja di jermal-jermal yang penuh dengan kekerasan. Anak-anak kami membuat sepatu di pabrik-pabrik, berjualan koran, atau menjadi tukang semir sepatu. Bahkan perempuan-perempuan kami juga menjual tubuh mereka di pinggir jalan!

Siapakah yang berani mengatakan, satu orang saja yang berani mengatakan bahwa kami bekerja tidak lebih keras daripada kau yang hidup enak sejahtera dan dipenuhi kecukupan dan bahkan kenikmatan dunia!?

Apakah kurang keras kami bekerja?! Apakah kurang habis-habisan membanting tulang kami mencoba untuk tetap hidup? Apakah masih kurang perjuangan kami? Apakah kami pemalas? Apakah risiko kematian, pemerkosaan, kekerasan, cidera, penyakit, keracunan, dan lainnya yang kami hadapi adalah masih kurang menurutmu?!

Maka ketika bagaimanapun kerasnya kami bekerja namun kemelaratan ini tetap berada pada tempatnya dan kehidupan kami tetap berputar pada permasalahan makan, kami tau: JELAS ADA SESUATU YANG SALAH!!

Doa Anak Manusia

06 November 2007 05:53:28

Aku adalah aku,
diri yang terkutuk ini,
anak manusia yang terlahir dan merana dalam kesendirianku.

Manusia di antara manusia,
bagian dari keluarga besar umat manusia,
yang hanya percaya pada kemanusiaan,
dan berbakti untuk persaudaraan umat manusia.

Sejentik kecil keajaiban,
dalam lautan besar alam semesta,
yang mencintainya dengan setiap nafasku.

22 July 2012

Pencinta Manusia

11 Januari 2008 05:16:55

Aku mencintai kehidupan,
aku mencintai kemanusiaan.

Dan aku pencinta kemanusiawian, pengagum dan pemuja manusia. Seutuhnya dengan segala sifatnya, dengan segala kekayaan jiwanya yang tak terkatakan dan tak terlukiskan. Seluruh kedalaman dan kedangkalannya, keagungan dan kekerdilannya; hatinya, imajinasinya, mimpi-mimpinya. Kedarah-dagingan ini.

Kesenangan, kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, birahi, cinta, hasrat, nafsu, air mata, keegoisan, kepicikan, penolakan, simpati, antipati, kebencian, dendam, kemarahan, murka.

Begitu banyak kemungkinan yang terkandung di dalam tiap potong diri, melampaui dirinya sendiri, melampaui logika yang terukur, melampaui setiap batasan realitas. Begitu cantiknya makhluk ini!

Betapa ia dengan tulus mengasihani seorang hampir mampus yang telah membantai ratusan ribu nyawa, ketika ia akan menjadi begitu murka bila secuil hatinya tersinggung.

Betapa ia di satu waktu akan meledak-ledak dalam kemurkaan bagai gunung berapi, dan di waktu lainnya tertidur pulas penuh kedamaian bagai genangan air sesudah hujan di sore hari.

Betapa ia dapat membuat dunia ini bukan main personal dan subjektif baginya, lalu membuat sepotong paku menjadi sesuatu yang universal dan objektif, untuk kemudian membuat paku yang lain lagi menjadi begitu politis dan mistis.

Betapa ia akan mengorbankan seisi alam semesta demi setetes nafsu dan ambisinya, sementara merelakan diri dengan penuh ikhlas diperkacung oleh sebatang nikotin.

Betapa ia dalam nama cinta akan dengan mudah membinasakan apapun yang dikehendakinya, memporak-porandakan segalanya dalam kebencian dan dendam; agar setelah itu dapat ia nikmati manis dan lembutnya kehidupan dengan damainya di atas bangkai-bangkai kurbannya.

Betapa ia bisa menjadikan sebongkah batu sebagai penentu kehidupan di muka bumi, betapa ia mampu menciptakan keagungan-keagungan yang tak terpikirkan, betapa imajinasinya begitu liar membentang begitu luas hingga relung-relung tergelap di mana ia ciptakan tuhan-tuhannya sendiri.

Betapa ia telah begitu jauh menaklukkan alam, meneteskan keringatnya pada tiap bagian dunia ini, menyingkap rahasia demi rahasia, menjawab pertanyaan demi pertanyaan, hanya untuk kembali pulang lagi dalam kontemplasi, sujud, dan kepasrahannya pada keping demi keping rahasia yang tersisa.

Betapa ia, makhluk yang lemah dan ringkih ini, telah melampaui kebuasan jenis apapun, kekejaman manapun, kebiadaban seisi dunia, kebrutalan ternista, dan menghadirkan neraka-neraka terkeji di seantero jagat; tetapi ia juga yang telah membangun cinta-cinta dari yang paling murahan level sinetron hingga yang tersuci di dalam kemanusiaannya.

Betapa ia, sang darah-daging ini, yang telah membentuk dunia sesuai impian-impian vulgarnya, mengobrak-abriknya sekehendak tetes demi tetes mani, melumatnya dalam kehancuran fatal demi kesenangan-kesenangan cabul; dan betapa hanya ia, makhluk yang miskin ini, yang memiliki kesadaran, harapan, cita-cita, keyakinan, kepercayaan, dan tujuan; yang mampu mengubah kelaknatan jenisnya sendiri.

Betapa ia, dan hanya ia, anak-anak manusia dengan sejarah yang berdarah-darah ini, mampu mengungkap kemanusiaannya, menyadari jenisnya, menciptakan impian-impian bersama, berjanji tentang masa depan yang lebih baik, bekerjasama, mengucap persaudaraan umat manusia.

Betapa! Dia: manusia dengan kemanusiawian seutuhnya, begitu cantik dan mempesona; puncak mahakarya teragung alam kehidupan.