23 July 2012

Ratap Pengangguran

19 Juli 2004 18:01:58

Sebuah sore yang tenang. Perlahan sekali langit mulai redup dan awan-awan menguning indah. Suara adzan meraung-raung pelan, mesin jet pesawat terbang, musik, dan desir daun diterpa angin.

Tapi aku duduk diam di sini, di beranda rumah kecilku ini, di mana anak laki-lakiku tidur lelap di dalamnya. Mungkin ia masih marah padaku karena sepedanya telah kujual tiga hari lalu, untuk uang makan aku dan dia. Maafkan bapakmu, nak.

Sebelumnya segala perhiasan dan jam tangan aku dan istriku yang telah kujual untuk mencoba sebuah usaha yang gagal total. Aku ini hanya anak seorang tani, tanpa pendidikan, dan tanpa kemampuan apapun.

Setelah hartaku, kemudian istriku yang lari meninggalkan aku dan anaknya. Ia masih muda dan cantik, memang. Orang tuanya cukup berada; ia tinggalkan aku untuk mengikuti seorang pengusaha mata keranjang karena kehidupan kami yang semakin hari semakin melarat.

Sekarang perabotan rumahkupun menghilang satu persatu untuk membayar hutang dan mengganjal perut aku dan anakku. Terakhir kujual sepedanya. Dan ia marah sampai hari ini.

***

Beberapa bulan lalu aku dipecat bersama puluhan buruh lain. Rasionalisasi katanya. Sejak hari itu hatiku semakin hancur setiap harinya, semakin kering, dan kini istriku telah pergi meninggalkanku - dan anakkupun marah padaku.

Berulang kali aku mencoba melamar pekerjaan, tidak ada satupun yang diterima. Aku hanya lulusan SD kampung. Dan sekarang bagaimana caranya aku harus menyekolahkan anakku, kelak ia akan seperti aku juga - seorang tak berguna di tengah-tengah dunia yang sama sekali tak bersahabat.

***

Mulutku menagih jatah rokoknya. Tetapi tidak sebatangpun kupunya. Puntung-puntung pun telah habis kuhisap.

Oh dunia.

No comments:

Post a Comment