28 August 2012

Jiwa Merdeka

16 Juni 2006 8:42:45

Segala yang sejati hanya tumbuh dari jiwa yang merdeka.

Jadilah Murtad

22 Juli 2006 0:41:47

Agama, walaupun tidak seluruhnya, benar-benar menggobloki umat manusia. Menggobloki dalam segala hal dan semakin goblok sang manusia, maka semakin ia tertungging-tungging pada agama - yang mana akan semakin dan semakin menggoblokinya lagi.

Kukatakan tidak seluruhnya, karena memang bahkan dalam suatu agama pun, tidak secara keseluruhan agama itu bersifat menggobloki. Dari aliran yang satu ke aliran yang lain memiliki perbedaannya masing-masing, bahkan antara pemuka yang satu dengan pemuka yang lain pun punya tingkat menggobloki yang berbeda-beda.

Yang sulit adalah ketika pengetahuan telah memiliki cap sebagai salah satu sumber dosa berat. Maka sejak saat itu orang akan terseret-seret dalam ketakutannya, menjadi goblok dan sedemikian setia kepada kegoblokannya itu sehingga ia merelakan diri untuk menjadi semakin goblok dari hari ke hari.

Ada yang mendalilkan bahwa mencoba untuk mempelajari agama sebagai dan melalui sudut pandang sejarah adalah suatu dosa - dengan dasar berbagai macam alasan yang bolak-balik bersumber dari buku-buku tua nan usang bau ompol bernama kitab suci. Pengetahuan yang bersarang di dalam kepala seseorang lantas tinggal menjadi monopoli sang agama, dan dengan demikian kebenaran baginya pun sebatas pada batas-batas yang ditentukan oleh sang agama. Hasilnya adalah manusia-manusia yang KERDIL, PENAKUT, GOBLOK, TOLOL, DUNGU, dan sedemikian bangga - dengan disertai ketakutan - atas gelar-gelarnya itu sehingga mereka berlomba-lomba untuk semakin dan semakin KERDIL serta DUNGU. Sejauh yang mereka mampu.

Mereka mengaduk-aduk antara iman dengan sejarah, iman dengan ilmu pengetahuan, iman dengan politik, iman dengan hukum, bahkan mereka gunakan iman mereka sendiri dalam melihat manusia lain dengan iman yang berbeda. Menjadi sebuah pertunjukkan tragikomedi yang berputar-putar dengan cerita masyarakat dengan KEKERDILAN dan KEDUNGUAN kolektif.

Pada seseorang telah kukatakan bahwa sejarah adalah sejarah dan iman adalah iman. Jangan pernah kau melihat sejarah sebagai suatu objek untuk imanmu, dan sebaliknya kau boleh memegang teguh imanmu, tapi jangan pernah kau mengklaim kebenaran sejarah dengan dasar imanmu itu.

Tetapi siapalah aku dengan kata-kataku itu, dibandingkan dengan orang yang telah berhasil mencuci otaknya, mengisinya dengan kebohongan, menggoblokinya, mempertololnya, memperkosa logikanya, memberangus nalarnya, dan memasung keberanian berpikirnya - hingga ia menjadi manusia yang KERDIL lagi DUNGU.

Ia tetap membaca sejarah dengan imannya, dan tetap menganggap imannya adalah sejarah. Ia pun melihat ilmu pengetahuan melalui imannya, dan ia anggap imannya adalah ilmu pengetahuan. Kemudian ia mencari-cari pembenaran bagi KEDUNGUANNYA itu dengan cara yang KERDIL, kemudian ia bela pendiriannya dengan menyelipkan iman ke manapun ia bisa menyelip dengan cara mengambil bocat-bacot dari kitab-kitab omong kosongnya. Setelah itu ia kebingungan sendiri karena logika yang mampet dan nalar yang terpasung, maka ia menutup mata dan menjadi tuli, seraya berdoa meminta ampun karena telah mendengar kata-kata setan bin iblis, terakhir - ia menjadi bangga karena telah sekali lagi berhasil menjaga dirinya supaya tidak keluar dari lingkaran KEKERDILAN dan KEDUNGUAN.

Tinggalkan agama, jadilah murtad dan pendosa, maka matamu kan terbuka.

Di Sebuah Gang

11 Mei 2006 04:26:03

Dalam gang gelap sempit orang tidur berserakan. Di teras-teras rumah kecil, di emperan, bersama nyamuk dan lembab udara malam. Diselingi tikus-tikus got berlarian.

Di sana orang yang tersingkir mengadukan nasib pada mimpi-mimpinya. Beralas kardus berselimut kain rombeng.

Dua puluh tahun pengabdiannya tak memiliki arti apapun ketika ia berbalik menolak pemiskinan atas nama pembangunan yang sejatinya hanya penumpukan kekayaan di lain tempat. Dua puluh tahun tenaga dan keringat yang dikeluarkannya terlupakan begitu saja, ketika dalam nama efisiensi dan revitalisasi tiga ratus orang tercerabut dari hak hidupnya.

Bahkan kemiskinan telah merenggut tempat tidurnya.

Manusia

12 April 2006 17:43:47

Ialah mahluk yang dipenuhi dengan kebohongan dan penipuan diri, yang ingkar terhadap nalar dan keyakinannya, yang bermuka-muka dan sarat akan kemunafikan.

Penjilat-penjilat pantat sejati yang hanya mampu mengemisi keselamatan diri seraya menikam siapapun dari belakang ketika kesempatan untuk itu tiba. Jahanam sejati pengkhianat kebenaran, yang menjilat ludahnya sendiri, yang tidak henti-hentinya melacurkan jiwanya, yang tunduk dan takluk kepada ketakutan. Keparat hina-dina penyembah kepalsuan.

Kitalah mahluk terkutuk itu. Kitalah sang lacur.

Orang-orang Kesepian

15 Mei 2006 23:38:06

Seperti bulan yang mengambang sendirian di langit hitam, ada orang-orang yang ditakdirkan untuk menjadi orang yang kesepian. Tak dimengerti dan terasing, berkawan mimpi dan harapan. Tenggelam dalam penantian dan kesunyian.

Aku Ingin Pergi

17 Juni 2006 12:06:22

Aku ingin pergi. Pergi jauh entah ke mana. Melintas jalan-jalan panjang merengkuh jarak, berpayung langit berkawan diri. Menjenguk bintang di atas samudra, membelai mentari membakar bumi, mereguk sayat dingin angin pegunungan.

Aku sungguh ingin pergi. Melarikan diri dari kepalsuan dan kepengecutan ini, tempatku seharusnya bukan di sini. Aku bukan anjing peliharaan, aku bukan hamster yang goblok atau kucing persia yang tolol. Aku adalah tikus liar, aku adalah anjing pengembara, aku adalah camar.

Aku sungguh sangat ingin pergi.

Terbitlah!

21 Juni 2006 2:34:32

Gelap.

Terbitlah! Terbitlah hai matahari. Terangilah segala, perlihatkan pada bola mataku, tunjukkan padaku semuanya. Kenyataan itu, kebenaran, apa yang tersembunyi dalam rahasia kegelapan.

Aku siap! Kuhadapi apapun. Apapun yang kau perlihatkan. Apapun kenyataan itu.

Maka tunjukanlah, bukalah sang tabir, koyaklah malam, berpijarlah engkau, bakarlah sang fajar. Terangi.

Perlihatkan padaku!

Bau Anyir Darah

18 Juni 2006 4:47:44

Jejak-jejak darah yang ditinggalkannya belum lagi hilang. Bau anyirnya pun masih mengambang di udara. Mayat-mayat yang mati penasaran masih berserakan di dalam kuburnya masing-masing, di pojok-pojok kampung, dan di tempat-tempat yang tidak diketahui lagi oleh manusia manapun. Arwahnya berkeliaran di pinggir jalan desa dan kota, di tengah perkebunan dan sawah, di pojokan rumah kumuh, di balik jeruji penjara, di tepi pelabuhan, di tanah negeri ini.

Pembantaian demi pembantaian sejak empat puluh satu tahun yang lalu, yang masih berlumuran darah dan belum terurai menjadi tanah. Lenyapnya jutaan manusia, pemelaratan abadi, penganiayaan demi penganiayaan, penyiksaan, dan perbudakan; atas jasa Yang Terhormat Jenderal Soeharto.

Aceh, Timor, dan Papua, Pulau Buru, Maluku, Tanjung Priok, Bali, dan segala tempat di Nusantara. Di Jakarta dan di setiap kampung-kampung dari kepulauan ini. Darah berceceran, darah membalut tanah, bola-bola mata yang penasaran tersembul dari kepala yang telah menemui ajal.

Ajal yang terjadi karena pembantaian dalam nama kekuasaan dan pembangunan, dalam nama profit dan persatuan dan kesatuan, dalam nama stabilitas nasional. Dalam nama keabadian cengkeraman kuku kekuasaan Haji Muhammad Soeharto!

Dan kini orang berebut bacot tentang maaf untuknya. Orang meminta pertimbangan akan jasa-jasa yang telah dilakukannya. Agar kesalahannya dilupakan, dan ia dibiarkan mati dengan tenang. Anjing-anjing itu memintakan maaf baginya, ketika kita semua masih menginjak genangan darah dan menghirup bau anyir bangkai-bangkai manusia yang pernah dibantainya!

Oo! Biarlah seluruh api neraka tertuang ke dalam surga!!

Tentara memang bertugas untuk menembak dan menghabisi nyawa musuhnya, dan pemimpin memang harus berkepala dingin. Tetapi Jenderal atau pemimpin sekalipun kukira adalah manusia, manusia yang mempunyai kemanusiaan, logika, nalar, nurani, dan hati.

Ternyata justru mereka, Jenderal-jenderal kita yang terhormat, dan pemimpin negeri ini, memiliki hati yang membatu, otak yang membatu, logika dan nalar seekor keledai, nurani yang membusuk, dan kemanusiaan yang telah mati tertindih kuasa dan harta.

Dengan tenang dan dingin, dengan penuh wibawa dan kebapakan, dengan anggunnya mereka meminta, untuk memberi maaf kepada seorang manusia yang demi kekuasaannya telah membasahi setiap jengkal tanah bangsa ini dengan darah!

Apa yang ada di dalam kepala keledai-keledai itu?!

Mungkin karena itulah, langit malam di kota ini selalu memerah. Karena darah masih menguap bersama bau anyir mayat, dan arwah-arwah penasaran masih menunggu keadilan dan kebenaran.

Tetapi Jenderal dan pemimpinku, tenanglah karena aku tau kau takkan mampu dan tak bernyali untuk mengadilinya, karena hal itu akan sama saja dengan mengadili bapakmu sendiri. Tenanglah, karena aku tak akan mengemisi pengadilan baginya kepadamu, aku tak akan menuntut kau menghentikan bacotmu. Biarlah kekuasaanmu memaafkannya, biarlah kau menunaikan baktimu yang terakhir sebelum ia mampus dengan tenang.

Tetapi Jenderal dan pemimpinku, adalah tangan anak-anak bangsa ini sendiri yang akan mengadilinya, merenggutnya dari damai kematian, dan mendudukannya kembali di atas kursi pesakitan abadi.

Dan ingatlah Jenderal, bahwa sejarah tidak pernah mengenal maaf. Maka tunggulah, ketika waktu akan mengadili bapakmu dan kau sendiri, mempertemukan kalian dengan arwah penasaran dari orang-orang yang pernah kalian bantai.

Demi sebuah perhitungan!

Lembah Mandalawangi

02 Juli 2006 ??:??:??

Angin dingin merajam tubuh, lelah mengoyak raga, matahari terik membakar kulit, dan bau badan bagai neraka.

Langit biru, awan mengambang, kabut membelai bumi, cakrawala menggantung jauh, hening yang sakral, hangatnya mentari pagi, mata air jernih sumber kehidupan, jutaan eidelweis, embun membeku, dan milyaran bintang.

Di sini waktu terhenti.

Puncak Salak I #4

29 April 2008 16:41:16

22 - 25 April 2008

Naik Cidahu turun Cimalati.

Bersama tiga orang kawan pesta hutan, bersama lumpur duri pacet lumut batu angin kabut gerimis semuanya semuanya.

Ciremai 3078 mdpl

8 Januari 2008 13:08:34

Beberapa hari sebelum tahun baru, perasaan ingin melarikan diri ke dalam hutan-hutan gunung semakin kuat. Memang sudah lama aku tak pergi ke sana karena hal ini dan hal itu dan hal-hal lainnya. Kuajak beberapa teman, tidak ada yang mau atau bisa. Lalu kuajak sebanyak-banyaknya teman, tetap saja demikian adanya. Akhirnya setelah sedikit tawar menawar, jadilah ditetapkan tanggal 3 sampai 7 Januari 2008, dengan peserta akhir sebanyak 3 orang.

Sejak awalnya ajakanku adalah untuk mendaki gunung Ciremai di Kuningan, dekat Cirebon, hampir di ujung Jawa Barat. Dan sebenarnya sudah lama pula aku merencanakan ingin pergi ke gunung Ciremai ini, sudah dari jauh-jauh hari kusiapkan rangkuman catatan-catatan perjalanan yang dibuat orang, sekaligus untuk tiga jalur. Ditambah lagi, salah satu dari antara dua temanku ada yang sudah pernah dua kali mendaki gunung tersebut lewat jalur Linggajati, walaupun kedua-duanya selalu hanya sampai pertengahan jalan. Tetapi bahwa ada yang tau dengan pasti bagaimana cara mencapai titik awal pendakian, dan kurang lebih tau jalur perjalanan hingga pertengahan jalan adalah merupakan keuntungan yang besar.

2 Januari 2008: Di sebuah warung.

Kami bertiga bertemu, makan sebentar, membicarakan rencana, dan diteruskan di kamar kosku, kemudian berbelanja kebutuhan-kebutuhan. Dari hasil pembicaraan, disepakati untuk mendaki lewat jalur Linggajati. Setelah itu satu orang menginap di kosku, dan satu orang lainnya, karena salah pengertian tentang kapan akan berangkat, pulang mengambil barang-barangnya dan baru kembali besok paginya.

3 Januari 2008: Dari kamar kosku menuju Linggajati.

Sesudah makan nasi padang ketika mata masih belekan dan bangun kesiangan, kami bertiga sudah ada di kamarku lagi, mengepak barang-barang bawaan, dan menuju pinggir jalan besar. Kami menunggu bus jurusan terminal Lebak Bulus, tetapi setelah menunggu berabad-abad lamanya tak juga muncul, akhirnya pukul 13:30 kami naiki saja bus jurusan terminal Kampung Rambutan dengan jaminan cap jempol darah di atas materai dari sang kondektur bahwa di sana akan ada bus jurusan Kuningan.

Tak sampai terminal Kampung Rambutan, di (kalau tidak salah) perempatan Halim kami turun dan menunggu sebentar ditemani hujan gerimis. Bus jurusan Cirebon muncul, menebar propaganda sesat bahwa sang bus akan ke Kuningan juga, dan kami terperdayai. Tiga puluh lima ribu rupiah dikali tiga sama dengan seratus lima ribu ditawar goceng jadi cepekceng. Pukul 14:35 mulai jalan dan sampai di terminal Cirebon pukul 19:00, langsung dioper ke bus jurusan Kuningan yang tetap saja meminta tambahan ceban dari kami.

Sekitar 19:45 turun di "Pertigaan Linggarjati" dan langsung disambut oleh tukang ojek yang segera mengerti arah, tujuan, dan maksud, serta niat kami dari barang bawaan yang ada di punggung kami. Setelah menyempatkan diri kencing di sembarang tempat, kami tunggangi juga ojek-ojek itu, berbelok ke kanan jalan dan kemudian entah ke mana lagi tidak kuperhatikan betul. Tujuh ribu perak seorang, diberi murah karena sudah malam. Katanya.

20:00 kami tiba di Pos Pendakian yang berada di sisi kanan jalan; desa Linggajati, kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, 640 mdpl. Mengisi buku tamu dan membayar karcis masuk pendakian. Enam ribu lima ratus rupiah ditambah gopek tun untuk "Karcis Sumbangan Pembangunan Jalan Jalur Ciremai Desa Linggajati".

Setelah itu kami makan, dan pergi menumpang tidur di belakang warung.

4 Januari 2008: Hujan pagi-pagi dan angin kencang sore-sore.

Kami bangun dan makan lagi di warung depan sambil menunggu hujan reda. Setelah hujan reda kami pergi ke warung lain untuk membeli sayuran; sedikit berjalan ke atas, belok kanan di pertigaan, sang warung ada di sebelah kanan. Pemilik warung ini sebenarnya masih sama-sama saja dengan warung yang ada di sebelah Pos Pendakian tempat kami makan tadi. Kami beli segelondong tempe, seiket kacang panjang, seiket caisim, dan tidak boleh lupa bawang merah bawang putih.

Barang-barang yang baru dibeli dimasukkan ke dalam kerier, dan pukul 8:30 pagi kami mulai berjalan menanjak menyusuri jalan aspal lurus ke atas. Jalan akan mentok di sebuah tempat di mana terletak bangunan yang mirip-mirip vila bergaya pura Bali dengan topeng kepala gajah di pintu gerbangnya. Di sana jalan terbagi dua ke arah kanan dan kiri bangunan, pendakian menggunakan jalan yang ke arah kanan.

Jalan berubah menjadi berbatu-batu yang sedikit bercampur tanah, menanjak lagi ke atas menyusuri jalan yang perlahan-lahan berubah menjadi jalan tanah dengan sedikit batu-batu besar di atasnya. Di samping kanan-kiri jalan masih terdapat rumah-rumah dan warung penduduk, hingga tiba di sebuah tempat yang disebut "Pos Pemeriksaan" alias Cibunar, 750 mdpl. Di sini ada banyak warung, dan di bagian kanan beberapa belas meter ada sebuah penampungan air dari sumber yang tak berhenti. Di sini air resmi dan legal serta berlimpah terakhir yang bisa didapatkan di jalur pendakian Linggajati.

Sepanjang jalan kami menyempatkan beristirahat sebentar di beberapa titik, terutama aku yang selalu keteteran jalan paling belakang. Di tempat ini pun kami duduk sebentar di balé panjang dari bambu sambil bertegur sapa dengan orang-orang yang ada di pos. Mereka katakan di atas sering badai, ada yang sudah mencapai tanjakan Binbin tetapi turun lagi karena badai, dan mereka sedang menunggu peserta DikSar yang sakit dan mereka sebut "korban" turun dari atas. Sedikit serem, tapi kami cengengesan dan senyum-senyum aja.

Dari titik ini jalan terbagi dua lagi ke arah kiri, satu jalan langsung (sebelum "Pos Pemeriksaan") membelok datar ke kiri (ini kemungkinan menuju perkebunan penduduk) dan jalan satunya lagi terletak sesudah "Pos Pemeriksaan" (di samping kanannya) membelok menanjak ke kiri. Jalur pendakian menggunakan jalan yang kedua, yang menanjak.

Kembali lagi aku berada di urutan terakhir dari rentetan tiga orang sontoloyo ini, ngos-ngosan menapaki jalur setindak demi setindak. Memasuki hutan pinus yang perlahan-lahan berganti menjadi perkebunan pisang. Jalan berupa tanah merah keras yang licin ketika basah dengan sedikit batu-batu, sering agak tertutup oleh semak-semak tetapi tetap jelas terlihat.

Tiba di suatu tempat bernama Leuweung Datar, 1200 mdpl, berupa lapangan datar di mana terdapat sebuah warung di sana. Bertegur sapa dengan seorang ibu tua yang ada di depan warung, tetapi kami tidak beristirahat lama di sana karena sebelumnya baru saja mengambil waktu istirahat di bawah. Jalan diteruskan menanjak memasukki hutan.

Mencapai Condang Amis di ketinggian entah berapa yang berbentuk lapangan yang lebih luas lagi dan dapat diisi berbelas-belas tenda, kemudian Kuburan Kuda di ketinggian 1450 mdpl, Pangalap 1600 mdpl, dan Ceblokan . Jalur dapat terlihat dengan mudah, berupa tanah merah licin, kadang disertai akar pohon yang bisa dijadikan pegangan, dan kadang hampir tidak ada akar pohon sehingga jalur menjadi longsor dan tidak ada yang dapat dipegang, di beberapa tempat ditingkahi oleh pohon-pohon tumbang.

Di suatu tempat terbuka yang luas kami berhenti, mengeluarkan kompor dan memasak tiga mie instant untuk makan siang singkat siang hari ini. Setelah selesai makan dan mulai berjalan lagi, kadang turun gerimis dan kadang berubah menjadi hujan walaupun tidak besar, cukup untuk membuat pakaian dan sepatu menjadi basah, kerier menjadi lembab, dan badan kelelahan.

Setelah melalui Tanjakan Binbin, hari sudah sore dan aku mengusulkan untuk mencari tempat membuka tenda, dengan kriteria utama terlindung dari angin yang mulai terdengar menderu-deru. Sepertinya sedang badai di atas sana. Setelah menanjak beberapa jauh, kami temukan sepotong tempat yang sungguh layak di bagian kanan jalur. Tenda dibuka, menguras isi kerier, dan kemudian masing-masing berganti pakaian. Ada yang di dalam tenda, dan aku sendiri berganti pakaian di samping luar tenda, unik juga rasanya bertelanjang bulat di tengah hutan belantara, walaupun mungkin hanya sekitar satu atau dua detik saja.

Posisi tidur diatur, dan acara selanjutnya adalah minum teh manis hangat untuk menenangkan perut-perut yang kedinginan ini.

Ketika hari mulai gelap kami mulai menyiapkan makan malam. Menyiapkan lauk, memasak nasi, sambil memasak lauknya. Ya, nasi putih, tumis kacang panjang dengan tempe, plus mie instant kuah telur dengan caisim.

Semakin malam, ternyata angin masih saja kencang menembus sela-sela pepohonan, tulangan tenda sampai agak membengkok ketika angin bertiup. Karena kuatir di tempat ini pun akan terjadi badai, kutarik tali mengikat kaki-kaki tulang tenda dan tujung-ujung flysheetnya ke pohon-pohon di sekitar. Selanjutnya kami tidur, dan aku sendiri tak sekalipun bangun lagi sampai pagi.

5 Januari 2008: Pagi di tengah hutan hingga Pengasinan.

Sepanjang perjalanan ini kami sering sekali menghitung-hitung air yang kami bawa. Total ada delapan botol air 1,5 liter yang kami bawa. Bahwa tiap kali masak akan membutuhkan sekitar satu botol atau kurang sedikit, bahwa setiap kali perjalanan akan membutuhkan segini banyak air minum, dan sisanya ada segitu yang dapat dibawa, sehingga berarti masih ada kesempatan menginap sekian hari lagi.

Sudah pagi, dan bahkan dapat dikatakan kesiangan, sekitar pukul sembilan satu persatu bangun, berkicau-kicau karena matahari muncul dan angin sudah mereda, menjadi optimis karena ada sebagian langit yang membiru di atas sana. Kesempatan untuk menjemur barang-barang dan pakaian yang basah atau lembab terkena hujan.

Maka kami makan. Nasi putih, tumis kacang panjang dicampur telur, dan tempe goreng mentega yang garing wangi dan agak asin. Nikmat. Setelah makan dan membereskan barang-barang yang akan dimasukkan ke dalam kerierku, kusempatkan mencari sepojok tanah agak masuk ke dalam hutan, menggali lubang dengan sekop kecil, memelorotkan celana, dan mengeluarkan isi perut. Dua kali kenikmatan.

Barang dan tenda sudah dimasukkan ke dalam kerier masing-masing, sampah-sampah sudah dikumpulkan dan sebagian yang dapat dibakar sudah dibakar, sekitar pukul 12:00 kami mulai berjalan kembali menanjak ke atas. Sayangnya, mendung dan kabut datang kembali seiring kami mulai berjalan.

Yang pertama adalah tanjakan Seruni 1800 mdpl, diikuti Tanjakan Bapatere 2000 mdpl. Berbeda dengan Tanjakan Setan di gunung Gede yang benar-benar terasa menanjak, ketiga tanjakan ini (dengan Tanjakan Binbin pada hari sebelumnya) seingatku tidak terlalu berbeda jauh dari tanjakan-tanjakan lain yang berserakan di jalur Linggajati ini, sama-sama licin dan sama-sama terjal.

Setelah tanjakan-tanjakan itu, bertemu dengan Batu Lingga di ketinggian 2250 mdpl, di mana terdapat sebuah plakat pengingatan terhadap pendaki yang tewas di gunung ini. Selanjutnya adalah Sangga Buana I dan kemudian Sangga Buana II di ketinggian kurang lebih 2500 mdpl. Ketiga tempat tersebut berupa tanah datar yang agak luas dengah sampah di sana-sini dan dapat digunakan untuk membuka tenda.

Sebenarnya, seringkali aku tidak menyadari bahwa aku tengah berada di mana, karena sebagian besar tanda-tanda nama tempatnya telah hilang entah ke mana. Ketika kulewati jalur Linggajati ini, yang masih nangkring pada tempat seharusnya hanya tanda nama tempat Ceblokan, Tanjakan Binbin, Tanjakan Bapatere, Batu Lingga, Sangga Buana I, dan Sangga Buana II.

Hari ini jalur mulai berubah, dari tanah merah yang licin dan seringkali gembur, menjadi tanah berpasir yang kadang berbatu-batu. Aku lupa tepatnya di titik mana perubahan jalur ini dimulai.

Setelah menanjak terus dari Sangga Buana II, jenis pepohonan mulai berubah, pohon-pohon tidak terlalu tinggi lagi, dengan batang berlumut dan bercak putih. Pasir, batu gelondongan, dan batu endapan semakin mendominasi jalur.

Menjelang sore kami melewati Pengasinan, 2750 mdpl. Pohon-pohon Edelweis sudah terlihat. Tidak sedang berbunga sekarang, hanya ada daun-daun menyerupai paku yang hijau segar. Angin sudah kembali menderu-deru dan udara sangat lembab. Di suatu tempat kami beristirahat duduk di bebatuan dan tiba-tiba gerimis turun, langsung diikuti hujan yang cukup deras.

Kami agak kecewa, tetapi perjalanan tetap kami lanjutkan. Semakin ke atas angin semakin kencang, suhu menjadi semakin dingin, dan kami sepakat untuk berjalan terus ke atas mencari tempat yang layak untuk membuka tenda.

Melewati jalur yang sempit seperti retakan bumi, menyusuri punggungan tipis dengan kanan kiri jurang yang hanya terlindung pepohonan pendek, merambat pelan-pelan karena jari tangan mulai mati rasa dan kami sering berhenti serentak ketika angin bertiup kencang menyapu jalur.

Setelah naik cukup jauh sekilas di balik kabut terlihatlah puncak punggungan lain yang harus dilalui untuk menuju puncak, ternyata masih jauh, dan melihat keadaan jalur yang sekarang melulu pasir berbatu dengan pohon-pohon kecil yang tidak dapat melindungi tenda dari angin, kami memutuskan untuk turun kembali ke titik awal di mana hujan tadi mulai turun. Di sana di sisi kanan jalur (dilihat dari arah naik) ada sebuah lembahan kecil yang tampaknya cukup terlindung.

Maka kami turun kembali, melewati lagi jalur-jalur berpasir, sampai bertemu titik pertigaan yang dimaksud. Menyusuri jalan setapak kecil menurun ke arah kiri (dilihat dari arah turun), sampailah kami di tempat yang dimaksud.

Membungkuk pun sudah sulit dan jari-jari tangan ini sudah tidak becus lagi membuka ikatan-ikatan tali, tetapi akhirnya tenda berdiri juga. Secepatnya memasukkan barang-barang dan berganti pakaian.

Beberapa meter dari tenda kami terdapat sebuah tebing batu putih yang menyerupai lelehan lahar yang telah membeku. Di beberapa bagiannya terdapat cekungan-cekungan kecil yang menampung air hujan. Ketika kami datang persediaan air masih cukup banyak, tetapi ketika pada akhirnya kami berniat mengambil air, ternyata tinggal ada sedikit air yang tersisa. Rupanya sebagian besar cekungan di tempat ini tidak dapat menampung air (merembes), dan air-air yang sedikit itu pun hanya akan muncul tepat setelah hujan.

Hanya kurang dari satu botol air minum 1,5 liter air yang kami dapatkan. Setelah disaring, yang pertama dilakukan dengan air tersebut adalah membuat minuman wedang jahe.

Makan malam mengekor wedang jahe, dengan menu nasi putih, (lagi-lagi) tumis kacang panjang, ikan mackerel, dan mie instant goreng dengan telur dan caisim. Tetap saja nikmat.

Tetapi sebelum makan, kupermak dulu ventilasi tenda ini, kututup dengan kain parasut tambahan yang kubawa dan mengganjal pasak-pasak tenda dengan batu.

Persediaan air kembali dihitung-hitung. Setelah masak ada sisa dua botol air minum 1,5 liter. Ditambah dengan panci bersih yang diletakkan menganga di luar tenda untuk menampung air apapun yang mendarat ke dalamnya. Setelah ditimbang-timbang, keputusan diambil, dengan alternatifnya jika keadaan ternyata berbeda.

Dan malam itu kami tidur bergeseran ke samping karena posisi tenda yang ternyata agak miring.

6 Januari 2008: Angin dan kabut bersenda gurau.

Panci tempat menampung air yang diletakkan di luar tenda ternyata tidak menampung apapun karena hujan tidak turun semalaman. Hari cerah, matahari bersinar kembali, langit membiru manis, angin hanya menderu sesekali, dan seekor burung hitam berparuh kuning menggoda kami bertiga.

Lagi-lagi kami bangun agak kesiangan. Menyempatkan diri menguras isi perut lagi, menjemur lagi barang-barang yang basah, dan mulai memasak lagi. Menu kali ini tidak begitu menarik, hanya mie instant kuah dengan caisim.

Di sini kami sempat bertemu dengan kelompok pendaki lain dari Bekasi yang sedang turun. Mereka berdelapan membuka dua tenda di cerukan gua di dekat puncak. Ternyata puncak tidak terlalu jauh lagi, sekitar 40 menit kata mereka.

Sesudah makan, barang-barang mulai dibereskan, tenda digulung, dimasukkan ke dalam kerier untuk perjalanan pulang. Setelah itu kerier-kerier kami bungkus dengan satu atau dua trashbag, mengikatnya, dan menyembunyikannya di balik semak-semak.

Tetapi lagi-lagi! Seiring kami mengepak semua barang-barang, semakin siang perlahan-lahan langit mulai menjadi putih, kabut kembali turun, gerimis-gerimis lembut turun, dan deru angin mulai agak sering terdengar. Setelah semuanya selesai dan tinggal berangkat, kami sempat terbengong sesaat karena cuaca yang cukup cepat berubah seperti itu.

Bagaimanapun kami mulai berjalan. Pukul 10:50 kami kembali ke jalur utama dan mendaki lagi jalan-jalan berpasir dan berbatu yang kemarin telah sempat kami lalui. Menyusuri lorong-lorong punggungan yang sempit, mendaki lempeng terakhir kerucut besar ini. Kabut cukup tebal di sekitar kawah dan puncak, angin cukup kencang bertiup, dan langit putih pucat pasi.

Di depan kami sebongkah besar batu berdiri berlatar putih. Tak ada pohon lagi di sana, dan tak ada apapun lagi di baliknya: Puncak Ciremai. Pukul 11:25 kami telah berdiri di sana.

Begitu tiba di sana kami bertiga bersalam-salaman, kucium batu besar di pinggir kawah itu. Memandang ke berbagai tempat sekilas, tetapi tak ada apapun yang dapat dilihat. Hanya ada hamparan hijau hutan di bawah sana, siluet tebing curam beberapa puluh meter ke sisi kiri, sebentuk siluet lainnya di sisi kanan, dan sementara gigir kawah dan kawah itu sendiri hilang tertutup kabut.

Kami berlindung dari terpaan angin lembab di balik sang batu besar. Membakar sebatang racun dan mengambil beberapa foto.

Angin bertiup dari berbagai arah, dinding kawah diterpa angin berkabut, membuat kawah yang tak terlihat dasar dan seberangnya itu seperti menghembuskan asap putih dengan sangat cepat, menghasilkan suara-suara menyeramkan, dan angin berkabut bertiup ke tempat lainnya, kehilangan arah, menghasilkan putaran-putaran angin kecil di sekitar puncak.

Lendir di hidung sudah mulai mencair karena dingin, dan racun pun sudah habis terhisap, perlahan kami turun kembali meninggalkan puncak gunung Ciremai, 3078 mdpl, meninggalkan deru-deru angin yang sepertinya tengah saling bercanda dan bersenda gurau di sekitar puncak sana.

Kami turun. Mengambil kembali kerier-kerier yang telah dibungkus trashbag, dan kembali turun lagi, melintasi jalur Linggajati gunung Ciremai dengan arah terbalik dari hari-hari sebelumnya. Turun, turun, dan terus turun. Kami berhenti di tempat-tempat tertentu secara rutin, beristirahat, untuk kembali berjalan turun lagi. Melewati tanah-tanah berpasir, tanah merah berbatu, tanah merah yang gembur dan longsor, tanah liat yang mengeras tetapi licin setengah mampus, jalan-jalan tanpa pijakan, merangkak dan merosot, terpeleset, merayap, membungkuk, dan ratusan gaya lainnya dengan masing-masing gondolan di punggung kami.

Dan perlahan-lahan fisik kami mulai kelelahan. Kakiku sendiri sudah benar-benar lemah. Tempat demi tempat kami lalui, dan aku semakin kelelahan. Hingga akhirnya sore hari tiba juga di "warung" alias Leuweung Datar. Meletakkan beban, selonjoran kaki, dan hujan pun turun.

Tak ada orang yang menjaga warung ini, ibu tua yang kami temui pada awal pendakian pun tak ada. Padahal aku sempat berpikir, kalau warung ini buka, aku ingin mengajak kedua temanku untuk menginap dulu saja di warung ini untuk mengembalikan tenaga.

Setelah hujan berhenti kami paksakan melanjutkan kembali perjalanan. Memasukki hutan lagi, pohon-pohon pisang, semak-semak, rumput dan ilalang, pohon-pohon pinus, terus berbelok-belok kanan dan kiri. Di tengah jalan ini kami keluarkan senter dan mulai berjalan dengan penerangan senter. Berkali-kali aku terpeleset, lebih sering lagi hampir terpeleset, dengkul dan betis ini benar-benar kehilangan tenaga. Berkali-kali juga kutanyakan pada temanku "masih jauh kagak sih?" - rasanya mau semaput.

Beberapa kali kami berhenti dan duduk di tengah gelap malam di antara dengung nyamuk, ilalang, dan pohon pisang. Coklat tak dapat menolong lagi air minum pun sudah tinggal beberapa teguk. Di tengah jalan temanku menawarkan untuk menukar kerierku dengan miliknya yang cukup jauh lebih ringan, dan sebagian kemampuan jalan ini pulih kembali, walaupun tetap saja kepeleset, dan tetap saja betis dengkul ini sudah keok tak terkendali.

Tetapi akhirnya tiba juga di Cibunar! Kebahagiaannya sulit dibandingkan dengan kebahagiaan sewaktu mencapai puncak sekalipun. Kuletakkan gondolan, rebahkan badan, dan apapun kata bumi dan langit beserta segala penguasa dan penghuninya, aku akan bersikeras untuk menginap di sini! Dan ternyata tak ada yang protes.

Tak ada warung yang buka di sana, tetapi untung kami masih memiliki sisa bahan makanan dan di sini air berlimpah. Dengan sisa tenaga yang masih ada, kami ambil air di pancuran bak air, berganti-gantian cuci kaki-muka-dan-badan, ganti baju, mengeluarkan keperluan tidur, dan memasak. Nasi putih berlimpah, ikan mackerel, mie instant goreng dengan telur, dan perkedel kornet menjadi menu malam itu. Sungguh kenyang walau belum bisa mengusir rasa lelah ini.

Selesai makan malam, perut ini disiram lagi dengan wedang jahe, mengobrol tak tentu arah sambil menenangkan otot-otot yang masih berdarah-darah dan babak-belur. Lalu kami tidur.

Kesalahannya adalah, kami tidur di teras "Pos Pemeriksaan" slonjoran di kursi semen dan papan kayu menggunakan kantong tidur. Tak terpikirkan oleh kami bahwa tempat ini cenderung rendah dan dekat dengan perkebunan yang merupakan sarang kerajaan nyamuk. Menggunakan kantong tidur rapat-rapat ternyata terlalu panas, sehingga jadilah sepanjang malam itu kami berkelahi dan berusaha saling usir dengan nyamuk. Pertandingan berakhir remis ketika terakhir kali aku ingat masih terbangun dan melihat jam tangan: pukul 4 pagi.

7 Januari 2008: Perjuangan penghabisan sang betis dan dengkul.

Kali ini kami bangun tidak kesiangan. Cuaca cerah, tak ada apapun yang salah. Kami mulai bersiap-siap dengan santai, ada yang mandi, aku sendiri mengeluarkan isi perut lagi (senangnya), memasukkan lagi barang-barang bawaan, membersihkan tempat kami menginap, kugondol kembali kerierku sendiri dan perlahan-lahan mulai berjalan.

Walaupun sudah diselingi tidur, ternyata dengkul dan betis ini masih sangat lemah. Jalan tanah merah berbatu membelah perkebunan, sawah, rumah, dan warung penduduk menurun terus memberikan sensasi sengsara penyiksaan yang sungguh dramatis lagi memilukan serta mengenaskan pada betis dan dengkul ini.

Siksaan itu akhirnya mereda juga ketika sampai pada turunan terakhir pada pertigaan di depan bangunan dengan topeng gajah di gerbang depannya. Jalan berbatu-batu yang hancur-lebur berubah menjadi jalan aspal, sehingga kaki ini dapat lebih teratur bergerak, lebih santai, walaupun tetap saja nyut-nyut-an jika jalan bergerak menurun.

Sampai di warung sebelah Pos Pendakian, kami ngobrol sambil menunggu warungnya buka, yang ketika buka langsung kami serbu dengan pesanan makanan untuk mengganjal perut di dalam bus nanti.

Gerimis lembut mulai turun lagi, tetapi sepertinya tak akan berubah menjadi hujan lebat, maka kami berpamitan dan bergerak turun lagi, menyusuri jalan sampai pertigaan jalan besar. Naik angkot menuju jalan entah apa, di mana menurut keterangan sang sopir akan lewat bus jurusan Jakarta.

Lama ditunggu, benar saja bus yang dimaksud lewat, ketika ditanya apakah akan lewat Grogol, kondektur mengatakan ya. Dan sekali lagi kami terperdayai oleh kondektur. Ternyata bus bergerak menuju terminal Pulo Gadung, dan demi keamanan, serta kenyamanan, juga kesantaian, dan tidak lupa kecuekan, kami bertiga turun menunggu sang bus mentok di Pulo Gadung.

Dari sana seorang teman melanjutkan ke Bekasi, satu lagi bersamaku ke Grogol untuk melanjutkan menuju Pluit, aku sendiri berjalan kaki menyeberang jembatan penyeberangan, yang lagi-lagi menjadi siksaan mematikan untuk dua sejoli betis-dengkulku. Berjalan lagi bermandi keringat, untuk akhirnya tiba di kamar kosku.

8 Januari 2008: Satu hari setelah turun.

Sakit dan pegal yang manis ini masih berada pada tempatnya masing-masing.



Terimakasih untuk: Gunung Ciremai itu sendiri, teman-teman seperjalananku, warga desa Linggajati yang sudah sangat bersahabat, teman-teman pendaki yang bertemu di sana, dan teman-teman pendaki yang - dengan tidak ada kerjaan - suka menulis catatan perjalanan setelah mendaki gunung (yang kalian lakukan itu sudah beberapa kali menghantar ke, dan menyelamatkanku di gunung-gunung), teman yang kutitipkan kabar dan kontrol waktu di Jakarta, dan orang tuaku yang mengkhawatirkanku.

Pesan untuk pendakian gunung Ciremai: Nggak banyak-banyak amat, kalau nginep di Cibunar mending buka tenda - daripada mesti bertarung sampai subuh dengan nyamuk. Dan hal lainnya, persiapkan cukup air dan betis cadangan. Itu aja.

Pangrango-Mandalawangi #2

07 Juli 2006 23:18:09

29 Juni 2006
Pagi hari, di kamar kosku.
Bersama dengan enam orang teman mempersiapkan sebuah perjalanan selama empat hari. Dimulai dengan belanja pada hari sebelumnya, dan packing di pagi hari itu. Mendapatkan tambahan satu orang teman lagi hingga seluruhnya menjadi delapan orang yang sore harinya bersama-sama mulai menjalin suatu perjalanan, dengan tujuan dan alasan yang berbeda-beda.

Tetapi bagiku perjalanan ini masih tetap merupakan suatu pelarian. Melarikan diri dari peradaban manusia, melarikan diri dari kota terkutuk ini, mencari perlindungan dari ibu bumi, di dalam sisa-sisa hutan belantaranya, mengasingkan diri ke dalam pelukan gunung-gunung, dan mencari kedamaian di antara lembah-lembahnya.

30 Juni 2006
Pagi hari, Cibodas.
Perjalanan dimulai. Menapaki jalan batu yang panjang, merayapi tanjakan demi tanjakan selepas pos Panyancangan, dengan beban yang mematikan di punggung, menggenjot jantung, memacu paru-paru, melepas adrenalin, memaksa otot-otot paha dan betis ini terus bergerak dan bergerak. Suatu perjuangan.

1 Juli 2006
Pagi hari, Kandang Badak.
Kandang Badak adalah lokasi bertenda pertama. Ramai dihadiri oleh puluhan orang lainnya. Kandang Badak masih kotor seperti sebelumnya, cukup membuat rasa sedih bercampur-campur dengan kegeraman.

Perjalanan dilanjutkan, menuju gunung Pangrango. Ruas-ruas jalan satu per satu dilalui. Pohon demi pohon yang bertumbangan sepanjang jalan. Memanjat menunduk membungkuk bahkan terkadang merayap. Tanjakan demi tanjakan yang terjal, hingga suatu jalan datar yang menghantarku menuju puncak gunung Pangrango. 3019 mdpl.

Hanya satu atau dua menit, kemudian menuju ke lembah Mandalawangi.

Indah masih indah seperti setahun silam. Bunga eidelweis bermekaran seiring musim panas yang tengah berjalan. Ceruk mengering tetapi menyisakan mata air yang jernih di pojokan lembah. Rumput-rumput mengering dan awan bergantian mencumbu menciuminya. Langit dan bumi bermesraan di tempat ini, mereka bermesraan, mereka bermain cinta.

Tetapi di sini dan di sana ada sedikit benda-benda peninggalan bernama sampah milik manusia-manusia haram jadah. Manusia-manusia yang sungguh haram jadah dan begitu bangsat, laknat, dan keparatnya hingga memilih untuk melepaskan keping-keping bungkus ini dan bungkus itu dari tangannya daripada memasukannya ke dalam kantung atau membuangnya dengan cara yang layak. Sekali lagi haram jadah.

2 Juli 2006
Lembah Mandalawangi, sejak tengah malam.
Dua orang teman yang pergi ke luar tenda untuk kencing membuat aku dan beberapa yang lainnya menyaksikan apa yang ada di atas kepalaku. Bintang. Banyak sekali bintang. Milyaran bintang yang begitu jernih. Milyaran bintang jernih yang sangat indah dan cantik. Membeku di kehitaman malam, berpendar atau bergetar, berdiam kaku, gemerlapan, sangat cemerlang. Tak terhitung dan tak terlukiskan. Sebercak putih yang menyerupai debu bintang merayapi langit membelah dari selatan ke utara. Bulan sabit tersenyum agak di barat. Waktu serasa terhenti.

Pagi harinya gunung Salak menampakkan diri di arah barat di sela-sela dua bukit di kejauhan di bawah sana, berendam awan halus berlatar langit biru jernih. Waktu sekali lagi membeku. Sebeku embun-embun pagi yang sungguh-sungguh membeku menjadi bunga-bunga es di daun dan bunga eidelweis, di rerumputan, di penutup tenda, di permukaan botol air minum, di seluruh permukaan lembah. Bahkan air membeku menjadi es batu di dalam panci masak yang diletakkan di luar tenda.

Sinar matahari pagi menjadi terasa begitu nikmat, belaian alam yang lembut penuh kasih sayang, menghangatkan kulit dari tubuh-tubuh yang menggigil kedinginan.

Sejak tengah malam, lembah Mandalawangi adalah suatu titik di muka planet ini, di mana manusia bercumbuan bersama bumi dan langit. Di mana kemanusiaan dan cinta menemukan bentuknya yang termurni, di mana keindahan surgawi hadir begitu saja di hadapan manusia, di mana peradaban menjadi mentah dan kehilangan segala maknanya.

Keindahan itu tak terlukiskan. Keindahan itu tak tergambarkan. Lupakan segala kata-kataku karena aku tak mampu menggambarkannya.

Gunung Gede #8

22 Mei 2006 01:17:51

Ketika langit-langit kamar ini semakin terasa menindih sesak, dan orang-orang seisi kota seakan semuanya ingin membunuhku, tinggal hutan-hutan gunung yang sudi menerimaku.

Maka demikianlah. 21 Mei 2006, aku bersama dua orang teman pergi untuk menyapanya kembali, di mana kami terhalang hujan ketika berusaha mendekati puncaknya.

Tetapi tidak jadi soal, karena perjalanan itu sendiri sudah begitu indah adanya.

Puncak Gede #7

18 April 2006 18:50:33

15 April 2006 Subuh
Menghampiri warung tempatku biasa numpang tidur, meletakkan barang di bale di luar, kemudian melihat bulan yang tampak sangat cantik dengan halo yang mengelilinginya. Pukul dua lewat sepuluh pagi baru sampe di Cibodas, setelah malam sebelumnya pergi ke Bogor dan di sana selama satu atau dua jam terdampar di sepotong mobil angkutan L-300 jurusan Cianjur yang tidak kunjung jalan karena supirnya masih ngotot menunggu sampai mati agar angkutannya penuh penumpang (yang mana sesungguhnya mereka asik nonton pertandingan bola di tv di sebuah warung).

Akhirnya karena hari semakin malam dan sang supir masih saja berkeras pada pendiriannya, maka aku dan beberapa penumpang lain memilih untuk naik angkot jurusan Ciawi, kemudian naik bus jurusan Bandung, turun di pertigaan Cibodas, dan dari sana disambung angkot lagi.

Pemilik warung sudah tertidur, yang ada justru tiga orang entah siapa yang sedang mengobrol dan merokok di dalam. Sebentar menikmati api hangat di sepojok toko bersama penjaganya sampai sekitar pukul 3, melihat sebuah tas yang tampak sangat bagus, tetapi dengan harga yang sangat-sangat jauh dari bagus.

Setelah itu aku masuk ke dalam warung. Sambil bersiap untuk tidur aku sedikit mengobrol dengan orang-orang yang sejak tadi ada di dalam. Dan kemudian aku tidur, walaupun sulit.

Pagi
Sekitar pukul enam pagi alarm membangunkanku. Langsung melipat jaket dan memesan makanan untuk pagi itu. Nasi, telur, sayur kacang, dan tahu goreng, serta teh manis hangat. Sebungkus lagi dengan menu yang persis sama untuk makan siangku nanti. Selesai makan dan mengepak lagi segalanya, kukenakan sepatuku, dan memberinya ikatan kencang.

Jam tangan menunjukkan pukul enam dua puluh pagi ketika aku mulai berjalan, enam empat puluh sampai di pos, dan tujuh dua puluh lima sampai di pos Panyancangan. Cukup ramai keadaannya di sana, dua orang turis dengan seorang pemandunya, satu keluarga yang sedang beristirahat di tengah perjalanan menuju air terjun, dan sekelompok orang yang sepertinya sedang dalam masa pelatihan.

Aku berbelok menuju jalur pendakian, berjalan sendirian menapaki bebatuan, di antara pohon-pohon dan daun, dipayungi langit yang biru cerah. Kadang sinar matahari menerobos masuk ke celah-celah dedaunan, membelai bumi dengan berkas cahayanya. Langkah demi langkah sepasang kaki menembus hutan demi sebuah pelarian.

Seonggok bangunan kecil kulewati, di sana seseorang memintaku untuk memotret dia menggunakan kamera telepon genggamnya. Sesudah itu kulanjutkan langkah-langkah menyusuri lorong-lorong di antara semak dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Undakan dan jalan datar, tanjakan, bebatuan, terkadang lumpur menggenang yang tidak terlalu dalam. Begitu seterusnya, melewati Air Panas, Kandang Batu, air terjun kecil di seberang kanan jalur, dua buah jembatan kecil, kemudian tibalah aku di Kandang Badak. Entah pukul berapa karena aku lupa mencatatnya.

Kuletakkan pantatku di seruas akar yang menonjol di tanah. Duduk sendirian, ditemani sebotol air putih, sebatang coklat, dan sebatang racun. Kusapukan pandanganku ke sekeliling. Kandang Badak sangat ramai hari itu, ada puluhan orang di sana, dalam mungkin belasan tim. Ada yang baru datang dan ada yang akan pergi. Tetapi bukan itu yang menjadi perhatianku.

Perasaanku menjadi tidak enak. Muak dan jijik dengan sedikit rasa marah. Ada berkarung-karung sampah yang tergeletak di tengah lapangan yang semakin hari menjadi semakin lapang. Bahkan ke arah shelter sedikit ke bagian bawah di mana biasanya masih terutup semak dan pohon, hari itu tampak berdiri sepotong tenda. Sampah-sampah tergeletak di manapun mata memandang, dari bungkus mie instant, kopi instant, kaleng gas bekas, bungkus permen, bungkus ini, bungkus itu, segalanya tumpah ruah di tengah hutan di mana seharusnya manusia cuma menumpang hidup dan tidak lebih dari itu.

Sempat terdengar oleh telingaku seseorang menegur seseorang karena mengenakan jaket merah. Tidak boleh pakai baju merah di Kandang Badak, katanya. Kupikir, apalah gunanya mengikuti peraturan aneh bin ajaib semacam itu, jika kita meninggalkan sedemikian banyak sampah di dalam sana.

Padahal belum satu bulan yang lalu diadakan Operasi Bersih di tempat ini, membersihkan sampah-sampah yang ditinggalkan orang-orang egois yang hanya ingin menikmati tanpa perduli pada hal yang lainnya. Kupikir, adalah sangat pantas jika orang-orang yang bulan lalu melakukan Operasi Bersih (bukan aku) merasa sakit hati atau bahkan marah menyaksikan hal ini.

Rasa muak dan jijik yang ada akan cukup terobati ketika hari itu kulihat ada beberapa orang atau tim yang menjaga kebersihan sekitar tendanya, juga beberapa orang yang membawa sampah mereka turun.

Siang
Pukul sembilan lima puluh lima kulanjutkan perjalanan menuju puncak. Setelah berbelok kiri di pertigaan pertama (kiri Puncak Gede, kanan Pangrango), kutemukan pertigaan yang lain. Lurus Puncak Gede dan kiri Kawah Ratu. Jalur menuju Kawah Ratu tampak telah tertutup pohon tumbang dan tidak terlihat jelas ketika kuperhatikan. Sesudah dua buah pertigaan pertama, muncul lagi pertigaan yang lain.

Kedua-duanya kanan dan kiri sama-sama menuju ke Puncak Gede, tetapi dengan variasi jalur yang berbeda. Berdasarkan penilaianku, jalur kanan cenderung lebih landai, tetapi lebih panjang dan sempat melewati tebing cukup terjal beberapa jarak sebelum mencapai puncak bayangan. Sementara sebaliknya jalur kiri cenderung lebih menanjak dengan undakan-undakan yang lebih tinggi, tetapi lebih singkat dan tidak melewati tebing terjal.

Kupilih jalur kanan untuk naik. Melewati tebing, kemudian langit mulai terlihat memutih di balik pepohonan di kejauhan, pemandangan pepohonan berubah dan tampaklah lingkaran besar kawah besar di hadapanku, selepas itu tibalah aku di puncak bayangan. Seperti di Kandang Badak, di sana pun ramai sekali.

Tidak beristirahat, aku langsung menyusuri gigir kawah bergaul dengan bebatuan menuju puncak. Kabut-kabut putih tampak berkali-kali datang melewati sepanjang gigir kawah. Sebagian besar langit biru pun tertutup oleh awan putih. Mulai tampak lembah Suryakencana di bawah sana, dengan kota Sukabumi di balik Gunung Gumuruh jauh di baliknya.

Di tengah perjalanan dua orang anak yang kira-kira masih SD menawarkan nasi uduk padaku. Empat ribu rupiah satu bungkus. Sebenarnya sudah ada sebungkus nasi yang kubawa dari bawah, tetapi karena ketakjubanku pada mereka yang ada di puncak gunung ini untuk berjualan, kubeli juga satu bungkus.

Sambil membayar, kuajak anak-anak itu mengobrol, rupanya mereka berangkat melalui jalur Gunung Putri memang untuk berjualan di sini. Mereka akan menginap bertenda di lembah Suryakencana jika hujan datang atau dagangannya tidak habis. Anak-anak kecil itu memang tidak sendirian, mereka ditemani oleh orang tua mereka atau setidaknya oleh orang yang lebih dewasa. Tetapi usaha untuk mencari penghidupan hingga ke puncak gunung seperti ini, bersama anak-anak mereka, adalah cukup luar biasa.

Setelah sedikit melanjutkan perjalanan yang tersisa, entah pukul berapa karena lagi-lagi lupa mencatat, tibalah aku di puncak yang sebenarnya dari Gunung Gede. Kawah ratu tampak besar berasap di bawah sana. Langit masih memutih dan kabut masih menerpa dinding gunung membelai-belainya. Di sini keadaannya lebih ramai lagi dari di puncak bayangan, puluhan orang memenuhi tanah-tanah terbuka di tepi kawah.

Kunyalakan telepon genggam berbungkus plastik, tetapi segera mati lagi karena kedinginan. Lalu kubuka nasi bungkus yang kubawa dari bawah, menyiapkan air minum, dan mulai makan. Tragedi terjadi ketika telor rebus berbalut cabe tergelincir dari tepi bungkusan dan jatuh tergeletak di atas pasir berbatu. Sambil makan, coba kunyalakan lagi telepon genggam yang sudah kuselipkan di dalam tas dan sempat juga kujepit dalam ketek. Rupanya nyala, maka satu, dua, kemudian tiga potong sms meluncur.

Selesai bungkusan pertama, kulanjutkan bungkus kedua dan selesai pada pukul dua belas tepat, dan sebatang racun sebagai penutup. Kunikmati lagi pemandangan puncak Gunung Gede untuk terakhir kali pada kesempatan itu, untuk selanjutnya mulai berjalan balik menyusuri pasir dan bebatuan lagi. Dua belas lima belas siang.

Pada perjalanan turun, kutemukan pertigaan di mana jalan akan berpisah sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas. Kuambil jalur kanan (yang berarti kiri jika arah naik), tidak melewati tebing terjal dan lebih singkat, tetapi undakan-undakan memang lebih tinggi.

Sampai di Kandang Badak kulepaskan sepatu, kuganti kaos kakiku dengan yang lebih tipis agar ujung-ujung jari kaki tidak terlalu tertekan sewaktu berjalan turun. Ternyata cara ini cukup efektif untuk mengurangi rasa sakit yang muncul selama perjalanan turun. Satu empat puluh lima kakiku mulai menyusuri lagi jalan-jalan panjang menuju Cibodas.

Perjalanan turun kulakukan dengan cukup ngebut karena tidak ada beban berat yang kupanggul, hanya tas kecil berisi dua botol besar air minum, pakaian, jaket, kotak P3K, dan beberapa hal kecil lainnya. Kadang berjalan beriringan dengan orang lain yang tak kukenal, di lain waktu berjalan sendirian mengikuti jalan-jalan berbatu yang panjang.

Sore
Tiga kali sempat kudengar suara guruh di kejauhan, langit pun seluruhnya tampak putih. Mungkin akan turun hujan. Kandang Batu kulalui, Air Panas, kemudian lorong-lorong kecil menyusuri tanah berbatu dalam kebisuan yang hening. Membiarkan diriku mencumbui ketenangan hati dan pikiran yang bersih.

Tiga tiga puluh lima sore tibalah aku di pos Panyancangan. Duduk untuk istirahat sejenak bersama sebatang racun, kemudian turun menuju Cibodas. Di perjalanan sempat mengobrol dengan seseorang yang sama-sama sedang berjalan turun sebelum akhirnya ia meninggalkanku yang berjalan lebih perlahan. Belum selesai separuh perjalanan, hujan tiba-tiba mulai turun.

Hujan belum berhenti ketika aku melewati pos dan kemudian tiba di warung. Kulepaskan tas, mengambil baju kering, kemudian sedikit membersihkan badanku dan berganti baju di WC umum. Nasi dengan lauk yang tidak berbeda jauh dari sebelumnya kupesan, tidak lupa teh manis hangat. Perlahan-lahan hujan berhenti, meninggalkanku yang tengah menikmati makanan sambil memandangi pucuk Gunung Pangrango di kejauhan. Tampak anggun dan indah tak bergeming.

Tiba-tiba terbersit pikiran, apa yang terjadi dengan gunung kesepian dengan lembah Mandalawangi-nya yang sangat indah itu? Apakah sekarang telah hancur lebur seperti Kandang Badak? Semoga saja tidak. Walaupun baru saja turun, langsung muncul lagi keinginan untuk "menjenguk" sang gunung kesepian sewaktu-waktu, melihat kabarnya, membantu membersihkannya jika ada yang dapat dibersihkan, apapun yang dapat dilakukan.

Matahari sore mulai menguning dan hangat, jalan beraspal dibasahi air hujan, dan angin menerpa wajahku yang berada di dalam angkot menuju pertigaan Cibodas. Disambung dengan L-300 menuju Bogor. Aku duduk di depan bersama dengan dua orang perempuan yang tak kukenal. Yang kuketahui dari pembicaraan mereka hanya bahwa mereka berasal dari Bandung dan Cianjur. Di sana kusadari, alangkah manisnya suara logat Sunda Cianjur terdengar di telinga.

Malam
Di sekitar Puncak Pass, kabut turun dan menutupi bumi dengan pekat. Jalan hampir tak terlihat, pandangan hanya beberapa meter, dan hanya terlihat garis putih jalan yang mengkilat. Pada sebuah tikungan, bahkan garis jalan pun sempat tak lagi terlihat. Tetapi untunglah sang supir tampaknya telah mengimani jalan-jalan Bogor-Cianjur dengan segenap jiwa-raganya. Maka selamatlah kami semua di dalam mobil meskipun sang supir pantang menyerah menginjak pedal gas.

Kota Bogor kuhampiri, berjalan sedikit ke terminal, untuk menumpang bus Bogor-Kali Deres. Tiba di Jakarta dan berjalan kaki menuju kosku. Mandi dan kembali lagi pada tugas yang belum terselesaikan, tetapi tertidur sejenak kemudian.

***

Sepotong perjalanan hampir tepat dua puluh empat jam telah selesai.

Puncak Gede #6 - Sebuah Perjalanan Gila

07 November 2005 22:21:34

Senin, 7 November 2005
06:00: Mulai (dari warung)
07:00: Pos Panyancangan
08:32: Melewati Air Panas
08:40: Kandang Batu, kemudian air terjun
09:15: Kandang Badak
09:40: Mulai menuju puncak
10:09: Desir angin pertama terdengar
11:15: Puncak bayangan
11:30: Mulai turun
11:49: Berhadapan dengan Pangrango, tampak besar dan anggun di kejauhan
12:50: Kandang Badak

Entah pukul berapa, sore: Cibodas
Hampir pukul 9 malam: Bogor
Lewat dari pukul 10: Jakarta

Catatan selanjutnya hancur tak terbaca.

Tetapi bagiku segala catatan di atas hampir tidak bermakna lagi, ketika dihadapkan pada keseluruhan jalan cerita tentang sebuah perjalanan sejak kemarin malam hingga hari ini. Sebuah perjalanan yang gila. Setidaknya bagiku. Atau entah dan terserah jika orang lain lebih ingin menyebutnya dengan konyol atau tolol.

Dimulai pada kemarin malam, yang mana pada awalnya berjalan cukup lancar dan baik-baik saja. Sekitar pukul delapan malam aku mendapatkan bis hitam besar ber-AC yang menuju kota Bogor. Tidak ada masalah apapun dengan bis itu. Hanya yang cukup terasa berat adalah tarifnya yang telah naik menjadi sepuluh ribu rupiah. Tetapi yang jauh lebih mengagetkan adalah ketika harus membayar dua puluh ribu rupiah untuk angkutan L-300 yang membawaku menuju Cibodas. Kemudian mengeluarkan tiga ribu rupiah lagi untuk angkot menuju kaki gunung. Mengaso, segelas teh manis hangat, sepiring nasi di warung, dan kemudian menumpang tidur di sana. Hampir tidak dapat tidur, yang kuingat dengan pasti bahwa ada suatu saat di mana aku tertidur pulas barulah sekitar pukul empat atau lima subuh.

Sementara sekitar pukul lima tiga puluh pagi itu aku telah bangun, memesan nasi bungkus, teh manis hangat, mengepak jaket yang kupakai semalam, dan memakai sepatuku. Segera pergi menuju pos pendaftaran, di mana tidak ada siapapun yang menjaga di sana, maka pelan-pelan aku terus naik hingga akhirnya di kompleks bangunan entah apa di dekat Musholla dan kantin mendapat izin untuk pergi ke air terjun. Yah, air terjun. Tetapi, seperti yang juga banyak dilakukan dan diketahui khalayak ramai dunia ini, sesampainya di pertigaan Panyancangan aku berbelok menuju jalur pendakian dan bukan air terjun.

Meter demi meter jarak dan ketinggian kutapaki, melewati pos 2, air panas, kandang batu, air terjun, kandang badak, hingga akhirnya sampai di puncak bayangan gunung Gede (atas dasar pertimbangan waktu dan keinginan untuk menghindari hujan, tidak kuteruskan menuju puncak asli). Makan nasi bungkus yang kubeli di bawah, bengong sebentar. Segalanya berjalan lancar sejauh itu. Turun kembali menuju Kandang Badak, dan sebentar kemudian melanjutkan jalan turun menuju Cibodas.

Tidak terlalu lama setelah mulai berjalan, cuaca mulai menjadi mendung, pandangan menjadi agak buram karena kabut tipis yang turun, dan dilanjutkan dengan tetes-tetes air pertama. Hujan rintik-rintik yang tidak terlalu menjadi masalah. Air panas telah kulewati ketika perlahan-lahan tetes-tetes hujan semakin giat dan banyak menghujam bumi. Hujan rintik-rintik perlahan-lahan mulai berubah menjadi hujan yang sesungguhnya. Ketika itu batu-batu yang kutapaki mulai menjadi licin, dan tumitku di dalam sepatu lars mulai terasa sangat sakit.

Sejak tetes-tetes hujan yang pertama telah kuharapkan, bahwa setidaknya hujan jangan turun dulu sebelum sampai di bawah. Tetapi harapan tinggal harapan, dan ternyata hujan rintik-rintik tidak saja berubah menjadi hujan sesungguhnya, melainkan juga hujan deras. Baju, celana, slayer, sepatu, dan tasku telah kepalang basah karena tetes-tetes air sebelumnya ketika hujan deras itu datang. Segalanya menjadi basah, dan akan menjadi sangat dingin jika berhenti berjalan. Maka tidak kukeluarkan ponco, tidak akan berteduh dan akan terus berjalan sebelum mencapai pos Panyancangan.

Berjalanlah terus aku, hingga tumit tidak terasa sakit lagi karena kulit yang lembek dibasahi air hujan. Sepatu yang pada awalnya sekadar kemasukan air yang merembes, kemudian menjadi benar-benar basah, menjadi kubangan air hujan, yang mana justru membuat tidak ada permasalahan jangka pendek apapun menyangkut sang kaki. Setelah menyusuri jalan-jalan berbatu dan berlumpur, yang sepanjang jalannya berubah menjadi saluran air untuk turun ke kaki gunung, menuruni gunung menembus hutan belantara di tengah guyuran hujan deras dan dingin, akhirnya pos Panyancangan ada di depan mata. Masuk ke salah satu sisi bangunannya, berteduh. Tetapi segera melanjutkan perjalanan turun kembali beberapa detik kemudian, karena kurasa berteduh dengan segala hal yang basah menempel di badan hanya akan mengundang datangnya hipotermia.

Akhirnya sampailah di Cibodas. Dan di sanalah setelah berhenti berjalan baru badanku menggigil. Hendak menumpang kamar mandi, yang tidak, tidak akan kugunakan untuk mandi, hanya membersihkan badan dengan tissue basah dan mengganti pakaian kering. Tetapi hanya mendapatkan penolakan tidak resmi dengan berbagai macam jawaban; mulai dari mampet, lampu mati, banyak barang orang, dan sebagainya. Akhirnya menumpang kamar mandi lainnya seharga seribu rupiah. Ada kenang-kenangan yang kudapatkan ketika kulepaskan sepatu; dua potong luka lecet yang terasa pedih di kedua tumit kaki. Kertas tempat sebuah tulisanku malam sebelumnya dan catatan waktu perjalanan tadi, yang kusimpan di kantong celana ikut menjadi basah tak berbentuk. Setelah berpakaian kering dan memakai jaket, kumasukkan pakaian kotor, sepatu, dan tas basahku ke dalam dua lapis trashbag dan kubawa-bawa buntelan hitam itu, yang akan seperti buntelan sinterklas seandainya ia berwarna merah.

Sejak masih di tengah guyuran hujan sebelumnya, salah satu hal yang sangat-sangat kudambakan adalah teh manis hangat dan nasi goreng. Dan jadilah, setelah berganti pakaian kupesan segelas teh manis hangat di warung yang lain. Tidak dengan nasi goreng karena sadar, uang sudah benar-benar tipis. Sungguh nikmat, tetapi hal ini tetap akan kukutuki kemudian. Teh manis hangat dan sekaleng Pocari Sweat yang kubawa dari Jakarta menjadi teman mengobrol bersama tiga orang yang baru kukenal. Setelah membayar, dua ribu lima ratus rupiah, aku berjalan mencari angkutan, akhirnya kudapatkan, dan sampai di jalan raya dengan dua ribu rupiah.

Ternyata jalan arah turun ke Bogor sama sekali berhenti karena waktu itu hanya arah naik yang dibolehkan berjalan. Kususuri jalan turun dengan kakiku, sambil menanyai setiap angkutan kota asal Bogor (entah bagaimana angkutan kota Bogor bisa ada di sini) dan mobil L-300 yang kutemui. Beberapa kali hanya kudapatkan mobil yang telah terisi penumpang tanpa sisa tempat satupun. Akhirnya aku bisa duduk dengan cukup berhimpit-himpitan di sebuah kendaraan L-300 dan tidak lama kemudian jalur turun mulai berjalan. Awalnya hanya satu saja permasalahan, yaitu aku sangat-sangat ingin kencing. Dapat kutahan, tetapi kemudian dimasukkan lagi dua orang penumpang dengan beberapa barang bawaan ke dalam kendaraan itu. Jadilah duduk hanya setengah pantat, kaki yang terjepit di sana sini, dan pinggang yang bengkok. Pantat kananku terasa sakit dan kaki kanan menjadi kesemutan hingga kusadari bahwa ada dompet yang membuat pantatku itu terasa sakit, menjadi cukup lega ketika sang dompet kukeluarkan.

Sampai di kota Bogor, kendaraan masuk ke dalam terminal. Gelap dan becek. Bagian dalam terminal ini tidak terlalu kukenali karena biasanya hanya bagian depannya saja yang kumasukki. Berjalan kesana dan kemari, bertanya sana-sini mencari bis jurusan Kalideres Jakarta. Kaki yang kaku dengan tumit yang terluka ini kupaksa berjalan menapaki becek dan lumpur terminal, tidak perduli lagi tentang air hitam dengan tanah bercampur segala kotoran entah apa itu. Ada masalah baru di sini, uangku tinggal delapan ribu rupiah dan hanya itu saja tidak lebih dan tidak kurang. Sementara tarif bis non-AC adalah sembilan ribu rupiah. Delapan ribu rupiah jika berdiri. Tidak ada uang sepeserpun untuk masuk WC umum, maka kucari sepojok tempat di tepi pager terminal di bawah sebongkah pohon besar, kubiarkan juga air kencing itu keluar. Deras dan banyak dan berbusa. Luar biasa.

Akhirnya kutemukan juga bis itu. Non-AC seperti yang kubutuhkan, tetapi masih kosong dan baru mulai mencari penumpang. Maka berdirilah aku di pinggir bis di tepi lampu penerangan yang muram, bersama buntelan hitamku; menunggu bis penuh supaya bisa menumpang berdiri dengan harga delapan ribu rupiah. Sempat kutawarkan untuk menjual korek api gasku kepada seorang tukang rokok keliling, tetapi hanya dibalas dengan senyum bercanda - yang kemudian juga hanya bisa kubalas dengan senyum perlampang harapan yang pupus.

Sebenarnya bisa saja aku pergi pulang ke rumahku yang ada di kota itu juga, meminta diantar ke Jakarta ke tempat kosku. Tetapi itu akan sama artinya dengan menyerah dan tidak menyelesaikan perjalanan ini. Maka kupilih untuk tetap berdiri dan menunggu. Sesungguhnya aku pun merasa cukup konyol dan tolol ketika membuat keputusan itu. Entah apa yang membuatku tetap ngotot seperti itu.

Bis sudah hampir penuh ketika akhirnya kondektur menghampiriku, mengajakku bergeser ke bagian depan bis yang tak terlihat oleh penumpang di dalam. Meminta delapan ribu yang kumiliki dan menyuruhku duduk saja. Ternyata ia baik juga. Mungkin awalnya ia mengiraku berbohong atau bercanda ketika kutawar tarif duduk seharga delapan ribu rupiah dengan alasan tinggal itu saja uang yang kumiliki. Senang sekali, segera aku naik ke bis dan duduk di bagian depan di samping supir. Hanya sebentar karena sesaat kemudian kondektur yang lain memintaku berdiri untuk memberi tempat duduk kepada seorang ibu dengan anaknya.

Berdiri bergelantungan sambil tertidur sekali-kali sepanjang jalan tol Bogor-Jakarta, dengan perut yang terasa tidak nyaman dan kepala yang sungguh terasa puyeng. Sampai di Grogol, turun, dan kemudian menyeberang di jembatan penyeberangan, masih bersama buntelan hitamku. Di bawah jembatan, meminta tukang ojek pertama yang kujumpai untuk mengantar. Lima ribu rupiah, biarlah, kubayar di kos nanti.

Setelah membayar, membeli air minum, mandi, akhirnya aku ada di sini menulis cerita ini (yang disambung tertidur dan dilanjutkan besoknya).

Sebuah perjalanan. Yang cukup gila. Setidaknya bagiku.

Puncak Salak I #2

04 Februari 2006 22:56:14

Pertengahan liburan ada dua orang temen yang pengen nyobain rasanya naik gunung. Karena Gunung Gede Pangrango lagi tutup sampe bulan April, akhirnya dipilih Gunung Salak lewat jalur Cimelati sebagai jalur terpendek. Ajak punya ajak ada dua orang teman lagi yang mau ikut, sementara satu dari dua yang pertama membatalkan diri. Jadi sampe malem terakhir ada 4 orang yang pasti ikut. Dimulai dari belanja di malem perjalanan, tanggal 31 Januari. Selanjutnya pada nginep di kos-kosan dan paginya belanja sayuran dan bumbu masak di pasar deket kos.

1 Februari 2006
Sekitar pukul setengah sebelas pagi
Empat orang manusia nyeberang jalan Letjen S. Parman buat nunggu bus di pinggir jalan, tapi langsung diusir sama petugas lalu-lintas bersepatu bot tinggi plus kacamata hitam dan tampang yang (sedapat mungkin) dibuat segahar-gaharnya. Kita nyeberang balik dan bergeser ke depan kantor walikota lama. Duduk di pinggir trotoar dengan 1 kerier, 1 kerier kecil, dan 2 ransel. Beberapa belas menit menunggu yang dilalui dengan cengar-cengir tiba-tiba tampak juga si jahanam bus Sukabumi - Kali Deres yang ditunggu-tunggu, dengan tulisan besar "KUMBANG" di kaca depannya. Empat manusia pecicilan langsung nyeberang jalan menghampiri jalur tol, memotong jalur arteri dan melabrak jalur busway, membuat lalu-lintas kendaraan sedikit terhalang karena aktivitas pejalan kaki sekaligus calon penumpang yang brengsek-brengsek dan kurang tau aturan.

Duduk di dalem bus, sempet tertidur sampe pintu tol Ciawi dan kembali mendapat tontonan hampir persis seperti tontonan pada perjalanan sebelumnya: Tidak lain dan tidak bukan juga tidak berubah, tukang buah beserta segala tukang-tukang lainnya yang terhormat.

Sekitar pukul setengah satu siang.
Turun di seberang pertigaan Cimalati, langsung didatangi akang-akang tukang ojek yang cukup ramah. Dengan sedikit (bener-bener sedikit) negoisasi serta klarifikasi juga memastikanisasi, disetujui harga ban-goh untuk menghantar tiap ekor manusia hingga start point pendakian.

Nangkring di atas jok motor bebek dengan kerier besar yang menjadi seperti buah simalakama. Karena si kerier lah maka aku tidak terjungkal ke belakang sewaktu motor nanjak, tetapi karena dia juga terkadang motor jadi oleng dan sulit balik ke keadaan seimbang akibat gerakan kerier yang memberat ke kanan-kiri seperti gerakan bandul. Dengan cepat motor yang kutumpangi disusul oleh motor-motor yang lain, sementara aku masih berduaan dengan sang tukang ojek berjuang melewati jalan mobil dengan rumput di tengahnya dan lembah membentang di bagian kanan. Mulai dari jalan itu tetes-tetes air hujan langsung turun satu demi satu dan berubah menjadi ratus demi ratus. Gerimis menyambut kedatangan kami di kaki Gunung Salak.

Sekitar pukul 13 siang.
Cuaca yang gerimis membuat kami nggak banyak cing-cong lagi. Setelah membayar ongkos ojek maut, kami langsung jalan ke arah hutan di mana terdapat percabangan jalan ke kiri dan ke kanan (lha iya masak ke atas dan ke bawah?!). Sedikit berbenah diri dan hati, iket rambut dan kepala, berdoa bagi yang mau berdoa, sedikit wejangan dan pesan, berlanjut dengan memilih jalan ke kiri (dari interogasi dengan tukang ojek yang membawa kami sewaktu pulang, baru diketahui bahwa jalur ke kanan adalah menuju ke air terjun), meletakkan tapak demi tapak menyusuri jalan-jalan tanah merah. Berlanjut dengan mengikuti jalan pematang perkebunan, tidak perlu belok ke manapun tinggal terus aja mengikuti jalan setapak. Sempat beristirahat sejenak di "teras" gubug yang terkunci di tengah perkebunan dan berfoto di sana.

Perkebunan perlahan-lahan berubah menjadi seperti bekas perkebunan. Kukatakan begitu karena tampak sama sekali tak terurus. Pohon-pohon pisang memang banyak, tetapi lebih banyak lagi pohon-pohon liar yang bertumbuhan di mana-mana, sedikit pohon ditebang, dan pohon-pohon tidak jelas lainnya. Dari "bekas perkebunan" kemudian memasuki hutan, terus menerus menyusuri jalan setapak tanah merah hingga bertemu dengan pipa air melintang berwarna putih. Di sini kami sempat mengisi air di pipa yang sedikit pecah, sedikit ngobrol dan makan satu kerat roti tawar rasa coklat ("tawar" kok punya "rasa"?), kemudian melanjutkan perjalanan lagi.

Sejak awal hujan turun setengah hati tetapi tidak putus-putus, ciprat sana dan ciprat sini, kadang kecil dan kadang besar, membuatku tidak bernafsu lagi untuk mencatat jam-jam embarkasi dan debarkasi kami di tempat-tempat spesifik maupun di tiap pos-pos selama pendakian.

Dari pipa air, kami melanjutkan perjalanan dengan (sesuai dengan yang pernah kualami dan kuketahui) tidak mengikuti pipa air ke manapun ia pergi, melainkan menembus hutan mengikuti jalan menanjak di bagian kanan pipa air jika dilihat dari arah kedatangan (naik).

Jalan setapak demi jalan setapak di tengah hutan demi hutan kami lalui, jauh lebih menanjak ketimbang jalur sebelumnya di tengah-tengah "bekas perkebunan" maupun perkebunan itu sendiri. Jalur didominasi oleh tanah humus dan akar-akar pohon dan sedikit batu-batu. Perjalanan menjadi lambat setiap kali malaikat di atas langit sana mengencingi kami di bumi ini dengan air hujan, membuat kami harus pilih-pilih tempat tiap kali ingin menjejakkan kaki. Berulang kali terpeleset atau kecele karena trap tanah atau batu yang ambrol sewaktu diinjak.

Sesudah beberapa jarak (entah berapa jarak) melalui pipa air, kami bertemu dengan tanjakan yang terputus karena adanya pohon besar yang tumbang. Tetapi tampak ada jalur alternatif yang belum lama dibuat (karena masih amburadul dan masih terdapat sisa-sisa bekas membabat pohon) di kiri jalur. Kami ikuti jalur itu, dan setelah beberapa saat muncul kembali di "jalan yang benar". Dari sana akan tampaklah pohon besar yang tumbang dan menutupi jalur.

Semakin kami naik, tanah humus dan akar-akar pohon berubah menjadi tanah coklat muda mengarah ke kuning dengan akar dan batu yang sangat miskin. Sungguh-sungguh licin jika dipadukan dengan air hujan. Bahkan sepatu larsku kadang ditipu mentah-mentah oleh trap-trap di sepanjang jalur yang sialnya seringkali tidaklah datar. Perjalanan semakin dan semakin lambat karena pertimbangan dan percobaan yang harus dilakukan setiap kali ingin menjejakkan kaki menaiki tanjakan.

Pos 4 dan pos 5 telah kami lalui, sementara jalur telah berubah kembali menjadi tanah dengan cukup banyak batu. Hanya satu saja yang tidak berubah sejak kami mulai memasuki hutan Gunung Salak ini, yaitu hujan yang plin-plan dan lumpur yang sangat mewarnai jalur.

Sesudah hari menjadi gelap.
Seorang teman mulai drop ketika satu per satu dari kami mulai mengeluarkan senter untuk membuat kami dapat tetap melihat dalam kegelapan hutan, dengan hujan yang masih plin-plan seperti sebelumnya. Tetapi ada yang sedikit menarik tentang hujan pada perjalanan kali ini, pada umumnya ia turun setiap kali kami berhenti untuk beristirahat. Kondisi fisik yang sudah mulai lelah, sedikit dingin diguyur hujan, dan seorang teman yang mulai drop membuat kami memutuskan untuk segera membuka tenda begitu mendapatkan tanah datar yang cukup dan cukup layak untuk sebuah tenda.

Beberapa lama berjalan di dalam gelap, tanah datar yang didamba-dambakan tidak juga ditemukan. Yang selalu ada hanyalah jalur sempit menanjak dan menanjak, berlumpur seandainya datar, dan seperti itu seterusnya. Sempat kulirik kiri-kanan jalur, seandainya ada suatu sudut di mana dengan sedikit membabat pohon-pohon kecil dapat dijadikan tempat mendirikan tenda. Tetapi tidak pernah kutemukan tempat itu.

Hingga di satu titik di tengah-tengah rimba yang gelap itu, terdapatlah sepotong jalur yang sedikit membuka menjadi tanah datar yang sangat-sangat sempit. Dengan akar menonjol di beberapa tempat, sedikit lumpur di pinggirnya, batang kayu di sini dan di sana. Kuputuskan untuk membagi tim menjadi dua. Dua orang menunggu sementara aku dan seorang lainnya melepas beban dan berjalan cepat ke arah atas untuk mencari kemungkinan adanya tanah datar. Hilangnya beban dari punggung membuat langkah menjadi sangat cepat, tetapi hal itu juga membuat udara menjadi terasa cukup dingin. Beberapa lama berjalan menembus gelap, ternyata yang ditemukan hanya lumpur dan lumpur lagi yang semakin dan semakin dalam. Kaki temanku sempat terperosok lumpur dan sedikit terjebak di dalamnya.

Karena hasil pencarian yang nihil, kami kembali lagi ke posisi semula dan membawa keputusan untuk dengan cara apapun mengusahakan terbukanya tempat berteduh dan tidur semalam di tempat itu.

Segera kubuka kerierku, mengeluarkan gulungan tenda, mulai sedikit membenahi alas, dan bersama-sama mendirikan tenda. Karena sempitnya medan, mau tidak mau suka atau tidak suka dengan sama sekali tidak adanya perasaan berat hati kami tutupi jalur pendakian dengan tenda.

Sesudah sang sarang impian berdiri, satu per satu dari kami melepaskan sepatu, melepas baju hingga tinggal celana dalam, masuk ke dalam tenda, dan berganti pakaian. Terakhir adalah aku sendiri, dilanjutkan dengan menyalakan lampu minyak, menutupi barang-barang berlumpur di luar sana dengan ponco, dan membuka makanan. Karena yang paling kami butuhkan saat itu adalah kehangatan dan istirahat tidur di dalamnya, disertai dengan keyakinan bahwa puncak tidak akan terlalu jauh lagi dari tempat itu, maka kami hanya makan biskuit dan coklat. Segala yang manis itu cukup untuk membuat perut terasa berisi dan menyambut tidur.

Ketika sedang makan biskuit di dalam tenda, sempat terdengar suara semacam gonggongan dari arah depan pintu tenda kami, agak jauh dari dalam gelap dari balik hutan di dalam sana. Hanya satu kali tidak lebih dari itu, tetapi berempat kami semua mendengarnya, tetapi tidak terlalu perduli lagi dengan hal itu dan meneruskan makan (walaupun sesungguhnya aku masih sedikit khawatir juga). Sesudah makan aku sempat kencing, dan dengan harapan yang sejatinya memang hanya harapan, bahwa binatang-binatang hutan pun masih sama seperti binatang sirkus yang tidak suka pada bau amoniak, kukeluarkan air kencingku ke arah gelap hutan di depan tenda, ke kanan dan ke kiri mirip seperti semprotan air pemadan kebakaran. Temanku yang juga kencing sesudahnya juga kuminta melakukannya ke arah yang lain.

Selanjutnya kami berempat pergi tidur, sementara belati kuletakkan di dada di dalam genggaman tanganku di dalam kantong tidur. Malam itu kurang tenang rasanya. Selain karena keberadaan kami yang kurang jelas (walaupun pasti masih berada di jalur ajaran yang benar pun tidak sesat), juga karena akar-akar pohon yang menonjol di pantat hingga pinggangku, di punggung temanku, di selangkangan teman yang lainnya, di kaki dan kepala yang lainnya lagi.

2 Februari 2006
Ketika matahari sudah menyinari tenda.
Mataku terbuka, menatap sinar matahari yang menerpa tenda, dengan bayang-bayang dedaunan bergerak-gerak pelan. Hati cukup tenang karena ternyata malam telah berlalu tanpa gangguan atau kesialan apapun, juga bahkan hujan pun tidak turun sama sekali. Seorang teman sudah terbangun juga. Tidak lama segera kubangun, menggulung kantong tidur, dan keluar dari tenda. Hari yang cukup cerah. Tanpa kabut dan matahari bersinar berusaha menembus awan tipis di sebelah timur, berselang-seling dengan pohon-pohon tinggi.

Aku mulai membenahi barang-barang berlumpur di luar tenda, menjemur sepatu dan celana kotorku, membangunkan dua teman yang lain, sementara seorang teman lainnya mulai membenahi barang-barang di dalam tenda.

Setelah melakukan pertimbangan, diskusi, jajak pendapat, dan referendum dengan tiga orang teman lainnya, dihasilkan keputusan bahwa tidak akan makan berat terlebih dahulu sebelum mencapai puncak. Masih dengan pertimbangan bahwa perut belum benar-benar kelaparan dan keyakinan bahwa puncak sudah dekat yang masih melekat erat pada tiap potong kepala, jiwa, dan hati sanubari kami. Beberapa petunjuk yang membuat kami yakin adalah sejak semalam berulang kali terdengar desir-desir angin keras yang sejauh pengetahuanku hanya mulai terdengar ketika kita sudah mendekati atau setidaknya berada di punggungan menuju puncak. Selain itu adalah langit yang mulai terlihat berada di atas sana, meskipun sejak kemarin - ketika matahari masih cukup bersinar - tempatnya selalu berpindah-pindah dan ada saja tanjakan yang mesti kami lewati.

Entah pukul berapa, sudah lupa.
Kami mulai berjalan lagi. Kembali menggumuli jalur-jalur menanjak tinggi, dengan lumpur yang mulai mengendap, dan kondisi hutan yang tampak jauh-jauh lebih "kering" daripada hari sebelumnya.

Pos 6 kami lalui, terus berjalan, dan menemukan sepotong tanda arah petunjuk yang berkata "puncak" dipaku ke sebatang pohon. Cakrawala perlahan-lahan semakin merendah dan meyakinkan, hingga tiba-tiba pada satu belokan terlihat sepotong bangunan kayu di bagian kiri atas jalur. Dan selepas sepotong tanjakan kudapati selembar makam dari keramik putih, yang tengah sepi sendirian di atas segala hutan-hutan di bawahnya. Kami bertiga berdiam diri sebentar di hadapan makam, berdoa, berucap-ucap, atau mengucap permisi bagi yang ingin melakukannya.

Dari situ kunaiki satu tanjakan terakhir, dan kuucapkan selamat datang di Puncak I Gunung Salak kepada ketiga temanku, dua ribu dua ratus sebelas meter dari permukaan laut. Tidak ada tim lain di tempat ini, pun tidak ada seseorang siapapun lainnya di sana. Hanya tim kami satu-satunya yang ada.

Siang itu.
Pertama kami mencari pertimbangan di manakah akan kami dirikan tenda tempat beristirahat satu malam lagi. Pertama-tama kuberikan berbagai alternatif, yang kemudian membuahkan hasil sepetak tempat kecil di bagian kanan puncak di antara semak-semak di balik kubangan air sana. Tempatnya cukup nyaman, tidak becek, dan dapat dengan mudah menjangkau posisi "best view". Kami mulai mendirikan tenda sementara seorang teman yang lain mulai memasak. Tetapi kemudian kami menggotong tenda ke dekat gubug kayu karena ternyata di tempat sebelumnya terdapat banyak (banyak sekali) semut-semut hitam yang dikhawatirkan bersikap nakal dan badung serta jahil juga amoral plus kurang tau diri.

Tenda telah berdiri, tali rafia dan kayu-kayu gubug dijadikan tempat menjemur pakaian kaos kaki dan segala yang lainnya, barang-barang sudah dikeluarkan dari kerier dan dibenahi di dalam tenda sesuai dengan zoning-nya masing-masing, makanan pun sudah matang, maka sesudah berganti pakaian kami segera mengisi perut yang mulai kelaparan. Hanya mie instant sebagai pembuka, tetapi rasanya seperti surga yang nyungsep ke bumi dan mentok di puncak gunung ini.

Sejak kedatangan kami di puncak, ada mahluk yang terus menerus mengiringi kami. Berwarna hitam tetapi tidak menyeramkan, cepat dan gesit tetapi tidak besar (cuma sebesar kepalan tangan), adalah entah apa namanya tetapi kami menduganya berasal dari marga tikus dan berspesies gunung, sehingga nama ilmiah berbahasa Latinnya adalah Tikus gunung. Makanan yang paling disukainya - sejauh yang kami tau - adalah remah-remah mie instant mentah dan sisa-sisa kornet dari kalengnya.

Selanjutnya kami bersantai-santai mengobrol ngalor-ngidul. Sedikit tidur-tiduran, berjalan-jalan, aku sempat membuang isi perutku, begitu juga dengan seorang temanku. Kucuci celanaku yang belepotan lumpur dengan air kubangan yang sesungguhnya warnanya pun coklat seperti lumpur. Tetapi menjadi tampak sangat-sangat bersih sesudah kucuci.

Beberapa jam kemudian adalah waktunya untuk makan lagi. Kali ini lebih nikmat menunya. Adalah tumis kacang panjang dengan bawang putih dan cabe merah serta lada tumbukan sendiri serta margarin gurih, juga telor acak dengan bumbu yang sama, yang dijadikan teman untuk nasi hangat sebagai mangsa kami. Acara selanjutnya masih bertema yang tidak berbeda, yaitu bengong dan ngobrol, tidur-tiduran, sempat kubaca beberapa potong berita dari koran-koran bekas yang kami bawa. Dari mulai tentang komunitas adat di Bulukumba Sulawesi Selatan, tentang pendidikan, hingga Israel yang melarang kampanye di Yerusalem. Sesudahnya aku pun sempat membiarkan diri tertidur sejenak.

Sekitar pukul enam sore.
Kami satu per satu mulai liar kembali, memasak mie instant goreng sebagai makanan ringan, yang dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol yang semakin ngalor-ngidul dan tidak menentu arah, kembali tidur-tiduran dan demikian seterusnya. Ketika hari mulai gelap lampu minyak mulai kami nyalakan, membuat suasana menjadi mesra dan romantis juga tenang dan indah serta syahdu (alah apaan sih), yang mana sangat disayangkan tidak ada satupun di antara kami yang perempuan. Karena kehadiran seorang (atau berapa orang perempuan pun) di tempat dan suasana seperti itu tentu saja akan membuat suasana menjadi hangat (tidak bermaksud untuk berpikiran ngeres atau cabul dan sebagainya dan semacamnya).

Sekitar pukul sembilan malam.
Kami keluar tenda dan mulai membakar ranting-ranting kayu yang ternyata masih basah di dalamnya, sehingga bakar-bakaran menjadi ditunjang oleh siraman tutup demi tutup botol minyak tanah ke dalam api. Sebelum memulai masak (lagi!) kami pergi ke dalam gelap untuk melihat "best view" seperti apa yang sebelumnya pernah kujanjikan pada teman-temanku. Berjalan ke arah semak-semak, menembus sedikit jalan sempit dan menghampiri tepian lereng puncak gunung yang menghadap ke arah Bogor. Seperti pada perjalanan sebelumnya, kembali menatap titik-titik lampu kota Bogor dan Jakarta di kejauhan dan lain-lain di sekitarnya - yang semuanya bagai permadani hitam berbintik-bintik kuning, merah, dan putih terang.

Tampak kembali lingkaran hitam Kebun Raya Bogor, jalan Sudirman di dekatnya, lampu sorot langit Bogor Trade Center, jajaran jalan Tajur, daerah Puncak, Cipanas di kanan sana, Jakarta di kiri di kejauhan membentuk cakrawala hitam bertitik-titik merah dan putih, dan segala yang lainnya. Indah sekali.

Sesudah cukup kedinginan menyaksikan keindahan, kami berempat kembali lagi ke tenda. Tiga temanku mulai memasak makanan sementara aku sendiri lebih memilih tidur. Bergulung di dalam kantong tidurku, membungkus kedua kakiku dengan dua kaos kering yang tersisa, membiarkan hangat meraja, dan melayang-layan dalam alam tidur.

3 Februari 2006
Entah pukul berapa, matahari sudah bersinar kembali.
Seorang temanku sudah terbangun, beberapa saat kemudian aku pun ikut bangun. Menggulung kantong tidur dan keluar tenda, mengeluarkan air kencing dan memeriksa jemuran-jemuran. Hari masih dingin walaupun tidak terlalu dingin. Embun membasahi tenda dan alas duduk di luar tenda. Aku mengeluarkan kompor dan gas, mulai memasak mie instant untukku sendiri, makan di pagi hari yang sejuk sambil menatap Puncak II yang kadang tertutup kabut di kejauhan di seberang sana. Seorang teman yang sudah terbangun kemudian melanjutkan memasak untuknya sendiri. Mungkin karena bau makanan yang semerbak di pagi dingin itu, dua orang lainnya ikut bangun dan kami mulai memasak makanan yang lebih "serius".

Sementara teman-temanku memasak, aku pergi berkeliling puncak membawa kamera digital pinjaman temanku untuk foto-foto pemandangan di sekitar puncak. Pohon-pohon, Puncak II, kota Bogor, matahari di balik pohon, Gunung Halimun samar di kejauhan, dan lain-lain.

Kornet goreng dengan bawang putih dan cabe potong, telor buncis dengan bumbu yang sama plus lada, dan nasi hangat memasuki perut kami. Dilanjutkan dengan membereskan barang-barang dan membakar sampah-sampah bawaan kami dan sedikit sampah-sampah yang "secara tidak sengaja dan tanpa niat sedikit pun tertinggal" oleh pendaki-pendaki lain yang datang sebelum kami.

Sesudah selesai packing, dan berpakaian seperti sebagaimana mestinya, berdoa dengan caranya masing-masing, memberi salam perpisahan dan "sampai jumpa lagi" di makam Mbah Gunung Salak, kami mulai turun menyusuri kembali jalan-jalan yang pernah kami lalui. Turunan demi turunan, akar-akar pohon, bebatuan, dan segalanya perlahan-lahan kami lalui. Sebatang batang pohon yang kutemui di jalur kugunakan sebagai tongkat untuk membantuku nge-rem dan mengalihkan beban ketika turun.

Pos 6 kami lalui, kemudian pos 5, berlanjut ke tempat di mana sempat kami dirikan tenda pada malam pertama kemarin. Berhenti sejenak dan memperhatikan keadaan sekeliling. Semakin tampaklah, bahwa sesungguhnya bisa dikatakan merupakan hal yang hampir mustahil untuk mendirikan tenda di tempat semacam itu.

Beberapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara tetes-tetes air yang menghujam daun-daun di atas sana. Gerimis mulai turun, yang mana perlahan-lahan berubah menjadi hujan yang sesungguhnya. Tetapi kali ini, berbeda dengan yang sebelumnya, hujan turun dengan sangat sungguh-sungguh, deras sekali. Seperti melepaskan kepergian kami ketika menyusuri hutan-hutan yang indah. Sesekali terdengar suara guntur yang tidak menyeramkan.

Jalur yang sebelumnya telah sempat menjadi sedikit kering berubah kembali menjadi kubangan-kubangan lumpur, licin dan sangat licin, berkali-kali terpeleset, aku sendiri sempat dua atau tiga kali terjungkal dengan tertimpa kerierku sendiri.

Perjalanan tidak menjadi sarang emosi dan penyesalan atau kesedihan ketika hujan membuat seluruh jalur menjadi saluran air. Bahkan bagiku sendiri hujan deras selama perjalanan turun ini membuatnya menjadi menyenangkan. Bermandi hujan dalam sebuah perjalanan di tengah hutan sungguh jauh lebih nikmat daripada mandi air "hujan" bohongan dari shower di kamar mandi. Beberapa potong lagu yang terpotong-potong sempat dilantunkan, saling cela dan hina, saling sindir, ketawa-ketiwi menghiasi perjalanan, menjadi selingan untuk tapak demi tapak yang kulalui dalam kebisuan.

Air berwarna coklat bercampur tanah mengalir deras menuruni gunung. Dalam satu dialog dengan seorang temanku terungkaplah, dengan hutan yang selebat ini saja air begitu derasnya meluncur, apalagi ketika hutan telah dibabati secara illegal ataupun legal (!!) dengan segala rupa alasan ekonomis manusia-manusia picik?? Air yang begitu deras meluncur dengan tanah yang dibawanya juga memperlihatkan, longsor bukanlah sesuatu hal yang aneh jika air dan tanah yang meluncur sederas itu tidak ditahan atau ditampung lagi oleh akar-akar pohon. Ini baru dalam beberapa jam dan dalam satu buah jalur pendakian saja, tak terbayangkan air yang memandikan seonggok gunung dalam satu kali kejadian hujan, dalam satu bulan, atau bertahun-tahun.

Kembali kami lalui jalur alternatif untuk jalur yang terputus karena pohon tumbang. Sebelum mencapai lokasi tumbangnya pohon besar tersebut, kami berbelok ke kanan (belokan yang tampak lebih menyerupai jalur babi hutan ketika itu), kukeluarkan belatiku untuk sedikit memotong ranting yang masih menghalangi jalan, hingga muncul kembali di jalur yang semestinya. Di sepanjang jalur Cimelati ini ada dua tanda yang dapat dijadikan panduan jalur, yaitu ikatan tali rafia di pohon dan sebuah tanda berupa tiga buah luka yang dibuat pada batang pohon. Kubuat juga tanda serupa di kulit pohon agak besar yang berdiri di dekat pintu masuk menuju jalur alternatif itu.

Perlahan-lahan hujan berhenti ketika kami mendekati pipa air. Kami beristirahat sebentar di tempat itu, memakan mie instant mentah sebagai hiburan bagi lidah. Ketika beristirahat di tempat ini mulai terasa tanda-tanda adanya protes dari ujung-ujung jari kakiku yang meminta segera dilepaskan dari si jahanam sepatu lars yang ampuh dan efisien namun sedikit membawa derita. Mungkin ketika itu mereka tengah bernyanyi lagu dangdut "lebih baik sakit hati, daripada sakit kaki ini... ." Tetapi tanah yang licin dan basah membuatku memaksanya untuk sedikit lebih lama lagi bercumbuan dengan sang sepatu, hingga ujung jalur pendakian deh.

Hutan berubah menjadi "bekas perkebunan" dan kemudian menjadi perkebunan. Lalu menjadi sepotong hutan kecil, dan akhirnya tiba kembali di pertigaan semula. Di sana kami berganti pakaian dari yang paling luar hingga yang paling dalam. Satu per satu bergantian ganti pakaian di tengah alam terbuka hanya dengan bantuan sepotong kain penutup aurat daerah selangkangan, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kami, dari dekat ataupun dari jauh. Sepatu pun kuganti dengan sendal jepit, dan sejak itu jari-jari kakiku bernyanyi paduan suara puji-pujian dengan sangat-sangat merdu sekali.

Sore.
Berempat kami turuni jalan, berbelok kanan begitu bertemu jalan peradaban modern manusia, melalui jalan di mana terdapat vila di sisinya, bertemu dengan beberapa orang serdadu. Yang pertama hanya saling tegur sapa dengan kami, yang kedua benar-benar menegur kami, dia bilang sebenernya tidak boleh lewat jalan ini. Tapi kami malah bersikap manis, dengan senyum di bibir, tawaran halus, dan sedikit logat Sunda yang bisa kumainkan - lewatlah kami. Sedikit berjalan, malah ada seseorang yang menawarkan ojek hingga pertigaan Cimelati; sepuluh rebu dollar Gunung Salak per ekor manusia plus segala barang yang digondolnya. Luar binasa.

Empat biji motor membawa kami meluncur dari sebuah pos militer, melalui jalan sambil ngebut. Jalan turun yang curam dihajar tanpa rem, bercak tanah merah di ujung jalan sempat membuatku khawatir, tapi rupanya sang pengemudi sudah menjiwai jalan ini seperti rumahnya sendiri. Dengan gaya kalem, kemeja biru cerah, rambut klimis, dan sedikit bau wangi parfum, ia labrak semua jalan-jalan. Malah sempet ngobrol denganku yang sedang berpegangan erat ke badan motor dan sedikit deg-deg-an.

Obral punya obrol, dari sana kuketahui bahwa jalur ke kanan di awal pendakian adalah jalur menuju air terjun. Juga kuketahui bahwa (katanya) ada air terjun lain di sebelah kiri sana (tapi entah lewat mana). Hal lainnya adalah kuketahui juga bahwa menurut cerita punya cerita dari orang-orang tua di sana, adalah bahwa makam di puncak Gunung Salak I bukanlah sungguh-sungguh berarti "makam". Itu hanyalah semacam tempat semadi atau singgah seorang haji atau wali atau wali lokal atau orang bijak atau apalah namanya di masa lalu yang kemudian dijadikan tempat ziarah untuk mengenang atau menghormatinya. Lalu kuketahui juga bahwa yang kukira pos militer di atas tadi bukanlah "pos militer", melainkan "pos satpam" untuk menjaga vila-vila di sana. Kemudian hal terakhir yang penting adalah bahwa yang empunya dari vila-vila di tempat itu adalah orang Jakarta atau yang penting adalah "orang-orang kota" sana, dan dia setuju-setuju aja waktu kukatakan "alah bikin pila jauh-jauh, ngarusak utan waé!"

Sementara obrolan temanku yang lain dengan pengendara ojek yang membawanya (yang mana adalah yang menegur kami pada kesempatan sebelumnya) menghasilkan "temuan penting" juga, bahwa sesungguhnya dia menegur kami atas dasar larangan dari sang bos empunya vila, dan bahwa sesungguhnya dia secara pribadi tidak keberatan apa-apa kalau kami mau lewat di sana, juga sesungguhnya dia pun merasa tidak enak karena mesti menegur kami.

Ketika sore berganti menjadi gelap.
Di pertigaan Cimelati, nangkring di pinggir jalan membiarkan kendaraan-kendaraan berlalu lalang di depan kami. Berpesan kepada seorang "petugas tidak resmi" di pertigaan untuk memberhentikan bus jurusan Sukabumi-Kali Deres yang lewat. Tetapi karena mungkin tidak ada lagi yang akan lewat, atau terlalu penuh seandainya tetap lewat, maka bus UKI-Sukabumi juga boleh-boleh saja.

Bus yang dimaksud muncul, berhenti di depan warung di pojok jalan. Memasukkan barang-barang ke dalam bagasi, mengucap terimakasih kepada si akang juru stop bus, dan duduk di kursi paling belakang.

Sesudah malam turun menyelimuti bumi.
Sampai di UKI, berganti bus P6, dan turun di depan Citra Land. Menyeberangi jembatan penyeberangan, menyusuri jalan gelap, menuju kosku. Tuntas sudah sebuah perjalanan tiga hari dua malam. Untuk belajar tentang alam dan belajar tentang diri sendiri.

***

Terimakasih untuk:
1. Jawaban-jawaban untuk pertanyaanku tentang jalur Cimelati di berbagai milis.
2. Tiga teman seperjalanan.
3. Gunung Salak itu sendiri.
4. Segala pihak yang telah mendukung dan menjadi pembangkit semangatku selama dalam perjalanan, termasuk dia.

Puncak Salak I - 2211 mdpl

07 Januari 2006 18:09:06

Menjelang akhir taun, perasaan pengen kabur ke tengah utan waktu ganti taun makin hari makin kuat. Ajak sana-sini susah bener dapet temen naik, yang udah ada pun beberapa malah ngundurin diri. Tapi akhirnya dapet 3 orang temen untuk naik. Ke suatu tempat yang tidak satupun dari antara kami berempat pernah mendatanginya, atau apalagi kenal dengan jalurnya; Gunung Salak - Puncak I. Yang ada cuma dua potong halaman kertas HVS masing-masing berisi peta jalan dan peta sederhana jalur-jalur (lebih tepat disebut bagan), kemudian selembar lagi adalah keterangan jalur Gunung Salak hasil ngeringkas sendiri dari berbagai sumber catatan perjalanan orang lain (terimakasih banget untuk yang selalu nulis catatan perjalanan, karena bisa jadi itu sangat berguna).

Jalur yang menjadi pilihan adalah jalur Cangkuang, Kabupaten Sukabumi. Hasil dari pilihan secara diktator dan otoriter juga otodidak, karena cuma aku sendiri yang memutuskannya, sementara yang lain nggak tau apa-apa dan tinggal terima nasib doang. Maka jadilah, beberapa puluh menit selepas pukul 9 pagi tanggal 29 Desember 2005, kami berempat ada di kamar kosku. Setelah belanja ngebongkar dan masukkin macem-macem barang ke dalem tas masing-masing. Dua kerier besar, satu kerier kecil, dan satu daypack.

29 Desember 2005
12:31
Ada di dalem bus jurusan Kali Deres - Sukabumi, dengan ongkos masing-masing lima belas ribu perak seorang. Sempet dihalangi macet dan sedikit diciprati ujan gerimis. Dua orang pengamen sempet mampir, dan entah berapa puluh pedagang dengan strateginya masing-masing yang tidak pernah putus hilir mudik di dalem bus. Yang layak mendapat penghargaan sebagai pedagang asongan dengan strategi paling maju adalah tukang buah-buahan.

15:30
Sampai di depan SPBU Cicurug, langsung ketemu angkot warna putih yang menawarkan diri untuk nganter ke pos pendakian, dengan penawaran tarif awal delapan ribu dollar Sukabumi per orang. Tapi setelah tawar-tiwir jadilah dua puluh lima ribu perak sekali tarik.

16:00
Celingukan di seberang gerbang Wana Wisata Cangkuang. Mampir ke sebuah toko entah apa, di sana ngejual macem-macem alat pendakian, sempet sedikit nanya-nanya. Dari sana kami jalan ke pos yang ada di pintu masuk Wana Wisata, dan terkaget-kaget hingga hampir muntah darah karena ngeliat papan pengumuman putih bertulisan merah berbunyi kurang lebih: "Karena sering hujan lebat/badai, dan sering ada pendaki yang tewas, maka pendakian ke Puncak Gunung Salak dilarang."

Tapi untung aja kami nggak begitu saja menyerah pada sepotong papan pengumuman yang berdarah-darah itu. Pun tulisan nyeremin berbunyi "badai" dan "tewas" yang juga berarti "mamphus" nggak bikin kami ciut (walaupun sedikit serem juga sih). Nggak pake basa-basi, aku langsung ajak ngomong bapak yang lagi nongkrong di pos itu, bilang kalo kami mau naik ke Puncak Salak I. Tapi peraturan di sini sepertinya emang ngga seketat di Gunung Gede Pangrango. Jadi setelah sedikit wejangan dan arahan juga petunjuk sesuai dengan mandat Bapak Presiden, kami boleh masuk.

Sebenernya aku ngerasa si bapak ngijinin kami masuk karena nggak yakin kalo kami bakal bisa nemuin jalur masuk pendakian, karena mungkin tampang kami masih ijo dan masih lugu kayak anak mami. Dari pos pintu masuk, kami jalan ke arah warung yang ada ngga jauh dari pos, cuma naik dikit doang. Di sana sempet makan, minum teh manis anget, dan ngobrol-ngobrol.

18:06
Kami udah lagi pada nangkring di pinggir musholla di deket warung. Duduk menghadap Gunung Salak, menatapi kesunyian lembah-lembah yang tersembunyi di balik punggungan-punggungannya yang tak bergeming. Kabut putih menguap dari sela-sela pepohonan; mengambang rendah dan menutupi puncak-puncak Salak. Keindahan yang membeku membatu, menjadi apa yang tampak di depan mataku.

Sesudah gelap kami makan lagi, ngobrol lagi, lantas pukul 20:00 tidur di bale di samping warung.

30 Desember 2005
05:00
Bangun, masih gelap dan kabut tebel di mana-mana. Udara dingin tapi ngga terlalu dingin. Dari mulai bangun kami cuma ngobrol-ngobrol sambil nungguin warungnya buka.

06:20
Gunung Salak bermandi kabut. Warung masih belum buka.

Akhirnya warungnya buka entah pukul berapa, dan kami makan pagi. Kemudian pake sepatu, dan melakukan persiapan lainnya. Sempet berdoa dulu, walaupun aku sendiri nggak berdoa dan cuma minta izin dan restu alam untuk belajar. Belajar tentang alam, belajar tentang kehidupan, belajar tentang diri sendiri. Di dalam sana.

07:45
Kami mulai jalan. Menyusuri jalan aspal yang nanjaknya nggak putus-putus bikin napas ngos-ngosan, kaki pegel, dan bikin pengen berak-berak. Beberapa kali istirahat hingga kami bertemu sebuah pertigaan, jalan ke kiri disebut sebagai "jalur baru", sementara jalan lurus disebut "jalur lama" atau "jalur Javanna Spa". Sesuai petunjuk yang udah aku catat, kami mesti ngikutin jalan lurus. Yang dicari adalah sebuah jembatan dengan sebuah pos satpam di ujung sebelah kanannya. Jalur pendakian "katanya" ada di seberang pos satpam itu, berupa batu yang disusun nanjak jadi seperti anak tangga.

08:30
Jembatannya ketemu. Pos satpamnya keliatan. Dan alhamdulilah haleluya! Jalurnya pun ada di sana. Bener ada di sebelah kiri di seberang pos satpam, dan bener berupa jalan batu kecil, bener menanjak, dan bener di samping kanannya adalah pager besi berkawat duri. Setelah menyusuri jalan setapak dari batu itu, kami bertemu jembatan dari kayu, yang bikin sepatu larsku alergi (dia masih agak alergi sama kayu, dulu alergi batu - sekarang udah enggak). Jembatannya nggak rapet dan tanpa pegangan resmi, yang ada cuma ngerayap nyamping sambil pegangan pager besi dan sepotong kayu memanjang yang semoga cukup bisa dipercaya ketulusan niatnya.

Menyusuri jalan demi jalan, persimpangan demi persimpangan, yang keberadaannya bener-bener sesuai dengan P4 dan UUD 45 juga GBHN tahun 2004 (tentang jalur dan persimpangan, aku sendiri nggak sempet catet satu per satu walaupun masih inget kalo ke sana langsung, tapi mohon cari sumber lain yang menjelaskan tentang keberadaan, arahnya masing-masing, dan yang mana yang mesti dituju).

Sejak dari mulai jalan kami udah disambut oleh hujan rintik-rintik. Hujan sempet berenti, tapi kemudian dia lanjut lagi, berenti lagi, dan turun lagi. Begitu seterusnya dengan tempo, ritme, dan tingkat kederasan yang berbeda-beda setiap kali turun.

11:15
Sampai di sebuah tempat yang kami kira adalah Shelter 4, hujan bertambah deras. Dari sana kami melanjutkan perjalanan, menyusuri jalur-jalur di tengah hutan Gunung Salak, menjebloskan kaki ke dalam kubangan demi kubangan lumpur yang serasa tidak ada habisnya. Mulai dari yang cuma sedalem sol karet sepatu hingga yang hampir saja mencelupkan seluruh sepatuku (padahal tinggi sepatunya setengah betis) kalau saja kubiarkan kakiku terus terperosok. Jalur berubah menjadi saluran air. Menggumuli pohon-pohon berduri, akar-akar licin, batu-batu keras, tanah becek dan lembab, kubangan lumpur lagi, lumpur lagi, lumpur, lumpur, kubangan, becek, duri, lumpur, duri, lumpur, lumpur, dan lumpur, kemudian lumpur, dan lumpur, juga lumpur, dan seterusnya.

Perjalanan jadi bertambah berat ketika pada akhirnya hujan turun dengan sepenuh hati. Perjalanan jadi lambat sekali karena harus menghindari kubangan-kubangan yang dalemnya keterlaluan (kalo cuma sepergelangan kaki, trabas aja!), trap-trap longsor, trap-trap yang licin, dan lain-lain. Tadinya aku sempet pake ponco, tapi kemudian nggak tahan karena rasanya panas dan gerah sekali. Mending basah-basahan aja (uh wet baby, wet). Celana yang pada awalnya berwarna krem dengan sedikit bercak kotoran hitam sekarang berubah menjadi coklat tanah di bagian bawah, bukan saja lembab melainkan juga basah dan dilumuri oleh - lagi-lagi - lumpur. Bukan cuma sepatu dan celana yang terkena lumpur, tangan pun belepotan lumpur dan tidak lupa kerier di punggungku juga jadi cemong-cemong terkena lumpur (padahal kerier pinjeman!).

Sekitar pukul 14:30, karena ada seorang teman yang ngerasa kedinginan, dan hari pun sudah mulai sore, juga hujan yang tampaknya sedang girang-girangnya turun ke bumi, kami memutuskan untuk buka tenda begitu menemukan sebuah tempat yang dirasa layak untuk dijadikan tempat bermalam. Satu tempat dipertimbangkan, dan gagal memikat hati kami untuk membuka tenda, menemukan tempat yang lain lagi, tetapi kami nilai masih kurang pas.

15:15
Menemukan sepotong tempat, di tepi jalur becek berair, dengan bivak alam yang sudah compang-camping sedikit menurun dari jalur, pohon tumbang bekas ditebang di beberapa tempat, dan potongan-potongan kayu pipih berserakan di mana-mana. Akhirnya tempat itu yang terpilih sebagai tempat bermalam. Menurunkan kerier, buka tenda, bersih-bersih sana-sini, berbenah, ganti baju, bikin teh manis anget, dan kemudian masak nasi dengan lauknya: Mie instan dan telor goreng.

Makan rasanya nikmat banget kalo lagi di dalem utan di atas gunung. Selalu.

Tunggul kayu bekas pohon ditebang di depan tenda dijadikan tempat jemur pakaian; tali rafia melintang di depan tenda menuju ke sepotong tonggak kayu, juga untuk jemuran. Jemur celana dan baju, kaos kaki dan sepatu, tas dan kerier, dan lain-lain dan lain-lain.

Sesudah makan dan sedikit ngobrol, yang kami lakukan tidak lain dan tidak bukan, adalah tidur: TIDUR!

31 Desember 2005
06:30
Bangun, dan sesudahnya adalah seperti biasanya; gulung sleeping bag, masak. Perasaan cukup senang karena melihat bahwa semalem hujan tidak turun, lumpur-lumpur di sekitar tenda mulai agak mengendap. Padahal hari sebelumnya aku khawatir hujan (atau bahkan badai) akan datang dan mengobrak-abrik tempat itu menjadi sebuah kubangan lumpur besar.

Di tempat ini kami sempat bertemu dengan tim pendaki lain yang juga terdiri dari 4 orang. Sempat ngobrol-ngobrol sambil mereka beristirahat dan merokok. Yang cukup menakjubkan buat kami adalah, mereka tidak mengenakan alas kaki apapun!

08:00
Makan. Setelah makan kami membuat perapian, bukan untuk menghangatkan badan melainkan untuk membakar celana kami. Ya, tujuannya memang mengeringkan celana, tetapi karena kami pikir sekadar menjemurnya di pinggir perapian tidak akan membuatnya kering, maka bukan saja kami jemur tetapi benar-benar kami sentuh-sentuhkan kain celana yang basah itu ke lidah api. Uap air mengepul-ngepul dari celana dan sepatu yang dijemur di pinggir api. Sedikit membuatnya tidak terlalu basah.

Di tempat itu kupotong bagian bawah celanaku yang sudah dilapisi lumpur, menjadi celana pendek sedengkul lewat sedikit - yang tetap coreng-moreng lumpur di mana-mana. Celana yang kupotong itu celana pemberian dari adikku, tapi melihat keadaan bagian bawahnya yang kurang tepat kalau disebut "celana berlapis lumpur" (melainkan "lumpur dengan sedikit celana di baliknya"), seharusnya sih dia ngerti kalau aku dengan terpaksa harus memotongnya.

Setelah beres-beres dan packing kembali, kami mulai melanjutkan perjalanan. Lumpur sudah sedikit mengendap walau belum kering. Jalur tidak lagi berupa saluran air walaupun kubangan lumpur masih ada di mana-mana. Udara tidak terlalu dingin walaupun tanah masih saja merah dan kadang-kadang ambrol ketika diinjak.

12:30
Berhenti di suatu tempat di mana terdapat sepotong papan bertuliskan "Shelter IV", yang menandakan bahwa tempat yang kami kira shelter 4 pada hari sebelumnya bukanlah benar-benar shelter 4 yang sebenar-benarnya karena shelter 4 yang sebenarnya baru benar-benar kami temukan sekarang. Benar?

Setelah melewati shelter 4, kami melewati suatu jalur cukup panjang di mana di sisi kiri adalah jurang menganga yang kadang-kadang terlihat Kawah Ratu berada di tengahnya di antara kabut-kabut putih yang menggenangi jurang, hanya dibatasi oleh sedikit semak-semak pohon pendek bernama entah apa dengan sesekali ditumbuhi oleh pohon besar yang mana cukup memberikan rasa aman. Sementara di sisi kanan adalah juga jurang, yang walaupun tidak terlampau curam dan masih dibatasi oleh tumbuhan agak tinggi, adalah tetap berarti "jurang". Jalur yang dibatasi jurang di kanan-kirinya ini sempit sekali, kurang lebih hanya 50 cm. Kadang jalur terputus karena longsor, menyisakan sedikit akar-akar pohon yang untungnya cukup kuat untuk dipijak. Juga terdapat titik-titik tertentu di sepanjang jalur yang menampakkan diri sebagai suatu tempat yang bisa longsor sewaktu-waktu, sehingga kami tidak sudi menginjaknya.

13:30
Shelter 5. Hujan sempat mulai turun kembali ketika kami masih berada di sekitar shelter 5. Beberapa jarak dari tempat itu, kami harus melewati tebing curam dari batu yang basah. Tingginya sekitar 5 kali tinggi orang dewasa. Selepas tanjakan itu, masih ada beberapa lagi hadiah dari Gunung Salak, dengan tema yang masih sama: "tebing hampir vertikal". Yang aku ingat setelah melewati tempat-tempat itu adalah, yang kubaca dari berbagai catatan perjalanan adalah tentang "tebing batu vertikal berketinggian sekitar 10 meter". Mungkin para penulis yang terhormat lupa mencantumkan kata "beberapa" dan "masing-masing". Dua kali aku harus melepaskan dulu kerierku dan mengopernya pada teman yang sudah naik terlebih dahulu.

14:35
Shelter 6.

15:15
Shelter 7. Pada perencanaan semula, jika waktu sudah terlalu sore dan masih belum juga mencapai puncak, kami akan membuka tenda di shelter 7 - untuk berjalan ke puncak besok paginya. Tetapi karena hasutan dari orang-orang yang berkumpul di shelter 7, kami memutuskan untuk berjalan terus sampai puncak.

16:00
Cuaca tidak hujan, cukup cerah dengan matahari sore yang cukup hangat. Cuma sesekali terasa angin bertiup dari arah Kawah Ratu. Setelah sedikit menyusuri jalan-jalan datar dengan tumbuhan rerumputan di sekitarnya, dan dinaungi pohon-pohon tinggi, kami sampai di selembar tanah lapang datar kecil. Sudah ada dua tenda di sana, salah satunya ada di dalam pondokkan. Puncak Salak I.

Aku berjalan-jalan, menghampiri papan penanda Puncak Salak I. Di sana ada seseorang dari tim lain yang bertanya, "Abis dari sawah, kang?" Aku nyengir kuda dan bilang "Iya. Jadi kebo-nya!"

Tim yang membuka tenda di luar pondokkan ternyata adalah tim yang sempat bertemu dengan kami di bawah tadi (mereka yang tidak mengenakan alas kaki apapun). Kami membuka tenda di seberang tenda mereka, mulai berbenah, berganti baju, dan mulai masak. Hari masih terang ketika beras mulai kami masak. Tetapi kemudian baru layak untuk dimakan pada pukul 20:20 malam. Berubah menjadi bubur pula.

Ada berbagai macam teori yang dikemukakan oleh teman-teman. Aku sendiri menduga beras yang kubawa sudah kurang layak pakai (ada dua jenis beras yang kami bawa, yang dimasak malam itu adalah beras bawaanku - sisa perjalanan sebelumnya), sehingga sang beras menolak untuk menjadi matang walaupun telah dimasak selama berjam-jam. Teori yang lain adalah karena api yang kekecilan. Ada lagi teori yang mengatakan tentang perbandingan beras dan air yang kurang seimbang. Aku sendiri sampai saat ini masih berpegang pada teori yang kukemukakan.

Hujan sempat turun ketika nasi hampir matang (maksudnya bubur). Jadilah kami meneruskan masak di dalam tenda, melindungi diri dari kegelapan dan dingin di luar. Setelah makan dan begini dan begitu, satu per satu dari kami mulai menggulung diri di dalam kantong tidur seperti anak kanguru di dalem kantong induknya. Cukup hangat walaupun entah kenapa (ini masih menjadi misteri ilahi) kakiku masih tetap dingin.

Bergulung dalam kegelapan tenda, dengan sesekali tipuan angin di luar sana, sambil nyalain hp, mencoba keberuntungan. Ternyata sinyal memang muncul sekali-kali. Sempet dapet beberapa potong sms dan sempet kirim beberapa potong sms. Tapi sesudah itu sinyal hilang sama sekali. Dan sekitar pukul 22 malam, kami sudah melayang-layang dalam alam tidur masing-masing.

23:30
Alarm hp teman berbunyi. Aku sendiri tidak mendengarnya. Yang bangun di antara kami ber-empat pun cuma seorang. Dia keluar dan sempat menikmati detik-detik pergantian tahun (apalah itu?!). Baru sekitar pukul 00:25 aku terbangun, dan pergi melihat-lihat dengan temanku yang sempat bangun tadi. Ada Puncak II Salak di kejauhan. Hitam pekat. Ada permadani hitam bertabur lampu-lampu kota di luar jauh di bawah sana. Seorang perempuan (aih mak ;)~ perempuan) yang memberitahu untuk pergi ke arah jalan setapak di balik kubangan air untuk melihat pemandangan kota Bogor.

Benar juga. Ada kota Bogor, rumahku, di bawah sana. Lampunya gemerlapan, tampak berbaris-baris di beberapa tempat, menunjukkan jalan-jalan utama yang padat penghuni di sana. Indah sekali. Lebih jauh lagi, adalah Jakarta. Sebaris tipis lampu-lampu yang agak pudar tetapi tetap jelas. Masih hitam di kaki langit, juga berpendaran, juga indah. Manis sekali.

Sesudah itu, kami berdua yang sempat terbangun merayakan bergantinya angka 5 menjadi 6 (iya, sesederhana itu) dengan sekotak biskuit dan kepingan-kepingan kecil coklat. Di dalam tenda, karena di luar becek dan sedikit membuat kaki menjadi serasa membeku. Selanjutnya adalah melanjutkan tidur.

1 Januari 2006
Entah pukul berapa, mungkin pukul 5 pagi. Satu per satu kami bangun. Satu per satu keluar dari tenda. Satu orang ingin membuat teh manis hangat. Dua orang lain ingin melihat matahari terbit. Aku ikut melihat matahari terbit. Tetapi tidak ada apapun yang terbit. Mungkin matahari tidak ingin terbit di tahun yang baru ini.

Perlahan-lahan langit memang menjadi terang. Puncak II mulai kehilangan kepekatannya, Bogor di bawah sana mulai menampakkan dirinya, segalanya mulai menjadi berwarna meninggalkan hitamnya. Tetapi bola api itu tidak muncul. Dia meloncat, enggan melalui cakrawala dan cuma meloncat langsung menyumput ke balik awan dan kabut di kejauhan. Maka tampaklah Gunung Gede dan Pangrango di kejauhan. Cantik walaupun terhalang daun-daun pohon.

Di tempat ini aku dan seorang teman ngobrol-ngobrol tentang kemungkinan rute lain untuk turun. Muncullan satu pilihan yang cukup manis; jalur Cimelati. Setelah sedikit tanya-tanya, dan mengkonsultasikannya dengan segenap anggota dewan, juga mencari kemungkinan akan adanya tim lain yang akan turun lewat jalur yang sama, akhirnya diputuskan dengan suara bulat sebulat-bulatnya - bahwa kami akan turun lewat jalur Cimelati.

Teringat tentang pengalaman dan segala rupa rintangan yang muncul pada waktu naik lewat jalur Cidahu, serem juga kalau harus turun lewat jalur itu dengan badan yang sudah agak gempor. Yang terutama ditakutkan adalah kalau hari sudah keburu gelap sebelum kami sampai di bawah. Walaupun kami bawa senter dan batere cadangan, tapi faktor kurang tau medan bisa jadi bahaya atau rintangan.

Sambil minum teh manis kami membagi tugas untuk cuci panci dan masak. Tenda seberang dengan baik hati dan manisnya meminjamkan kompor lap-topnya untuk kami. Padahal sesungguhnya kompor kecil kami masih bisa dipake, pun kami masih ada kompor parafin. Tapi lumayanlah, karena kompor lap-top emang ternyata lebih stabil apinya.

Ketika makanan hampir matang, apa yang kuharap-harapkan sejak hari sebelumnya tiba-tiba muncul juga. Maka pergilah aku untuk sedikit survey lapangan. Hasil survey menunjukkan situasi dan kondisi juga posisi yang positif. Maka aku kembali lagi ke tenda, meminta beberapa lembar tissue, pergi ke jalan buntu sempit di antara semak belukar yang kutemukan pada waktu survey, dan mengeluarkan isi perutku. Nikmat sekali.

Habis mengeluarkan isi perut, selanjutnya adalah mengisi perut yang isinya sudah dikeluarkan. Makan. Selesai makan kami mulai beres-beres. Ada sesuatu yang bikin aku agak kesel di sana, tetapi tidak perlu dibahas di tempat ini.

Kami sempet sekali lagi membakar celana dan kaos kakiku di perapian. Sepatu pun dihangatkan di pinggir api. Uap air mengepul-ngepul seperti sebelumnya. Dan kabar buruknya adalah, kaos kakiku hangus terbakar karena kuletakkan terlalu dekat dengan bara api. Tapi untung saja masih ada cadangan, kering pula.

Air yang tersisa tinggal sedikit. Cuma ada satu botol sekitar 1 liter, dan seperempat botol 1,5 liter. Itupun air hasil menyaring air bak air hujan di depan pondokkan. Rasanya seperti seng.

10:30
Setelah selesai, dengan dibuka oleh doa bersama antara 3 tim yang berlainan yang menjadi sahabat di tempat terpencil ini, kami mulai menuruni jalan turun rute Cimelati yang terletak di belakang makam Mbah Gunung Salak (entah siapakah orang ini). Jalan cukup licin karena tanah basah yang miskin batu. Sedikit kubangan lumpur yang tidak terlalu dalam. Selebihnya adalah hutan rimbun yang sangat hijau dan lembab.

Jalur Cimelati hampir tidak memberikan bonus apapun jika dijadikan rute naik. Seingatku tidak ada jalan menanjak yang kulalui, paling banter sedikit jalan datar. Semuanya adalah turunan. Turun dan turun, dari yang terjal hingga yang landai. Sempat beberapa kali istirahat sepanjang perjalanan menuruni punggung gunung. Bertemu pipa air yang pecah di salah satu sisinya, maka jadilah kami mahluk-mahluk asing yang tidak pernah bertemu air. Girang hati ini karena bisa meminum air yang jernih lagi segar pun dingin. Botol-botol terisi kembali, satu panci mie instan dilahap bersama-sama oleh tiga tim, ditambah kopi hitam dan kopi susu masing-masing segelas. Sebotol susu kental manis dingin menjadi bekal bagi para peminum susu.

Dari jalur yang terdapat pipa air pecah terdapat percabangan ke kiri dan ke kanan, untuk turun ke Cimelati kita melewati jalur yang di kanan, karena jalur kiri adalah rute yang berbeda yang - menurut teman-teman dari tim lain - cukup menyeramkan karena satu dan lain hal. Sementara untuk naik, di pertigaan ini jangan mengikuti pipa air yang ke atas ataupun yang ke bawah, tetapi mengikuti undakan menanjak naik menerobos hutan di bagian kanan jalur (dilihat dari arah kedatangan).

Berjalan terus menyusuri hutan, bertemu pertigaan lagi dengan sedikit tanah lapang sebelumnya. Ada satu tim yang sedang nge-camp di tempat itu. Untuk turun gunakan jalur kiri, entah jalur kanan akan sampai ke mana. Setelah berjalan dan berjalan, akhirnya kita sampai di jalur yang cukup datar yang tampak seperti bekas (atau masih?) perkebunan. Menerobos alang-alang yang hampir rapat menutup jalur (walaupun jalurnya masih tetap ada). Jalur akan berubah menjadi puncak punggungan yang landai sehingga kita dapat melihat perkebunan yang membentang merendah di kiri-kanan jalur, dengan beberapa kincir angin yang bersuara seperti helikopter.

Tiba-tiba sampailah kita di sepotong jalan beraspal pecah-pecah, dengan sisi kiri dan kanannya masih saja perkebunan.

Dari tempat ini kami mulai menyusuri jalan menurun beraspal. Turun dan turun, terus turun dan turun dan turun, dan terus menurun. Jalan seperti tidak ada habisnya. Melewati batas desa ini dan desa itu, diperhatikan oleh anak-anak kecil di desa itu, melewati villa-villa mewah milik entah siapa, bertukar nomor hp dengan dua orang dari dua tim lainnya, beberapa orang sempat mencuci kaki dan berganti pakaian di sebuah sungai kecil, aku sendiri cuma melepas sepatu dan berganti sendal jepit. Luar biasa hadiah yang diberikan Gunung Salak pada kakiku; beberapa luka bacok dan melepuh di beberapa tempat. Manis sekali rasanya.

Hingga setelah lama sekali berjalan kami beristirahat bersama-sama di sebuah pertigaan. Dewi keberuntungan tiba-tiba mencipratkan ludahnya pada kami, karena ada mobil bak terbuka yang sudi untuk kami tumpangi. Dengan kegembiraan yang meluap-luap dan meledak-ledak seperti ledakan gunung Rakata, kami naik ke bagian belakangnya.

Satu tim turun duluan dan berpisah dengan kami. Ramai sekali acara perpisahan yang singkat sekali itu. Cuma teriak-teriakan nggak jelas dan lambaian tangan dari kejauhan. Perkenalan kami baru dimulai beberapa hari yang lalu, tetapi rasanya seperti berpisah dengan sahabat lama. Mungkin karena apa yang telah kami lalui bersama-sama, mulai dari pertemuan kami dengan segerombolan pendaki edan tanpa alas kaki, hingga turun bersama sejak pagi hari itu. Saling menghibur dan saling mencela, menikmati keindahan (ehm... dan keganasan) hutan Gunung Salak bersama-sama.

Di pertigaan jalan raya Sukabumi kami berpisah lagi dengan tim yang satu lagi. Mereka naik angkot ke arah terminal Bogor. Sementara timku pun terpecah dua. Dua orang naik bus menuju Tanjung Priok, sementara aku dan seorang teman ke arah Kali Deres. Cukup lama menunggu datangnya si bus keparat. Sempat diguyur hujan di pinggir sebuah warung kopi, menikmati beberapa potong gorengan. Tetapi akhirnya datang juga mahluk yang "sudah tidak" keparat itu.

Bergelantungan di pinggir pintu bus, terdesak oleh penumpang lain dan kenek, dengan kaki yang sempat beberapa kali terinjak-injak (naudzubilah min dzalik, rasanya!). Tetapi walaupun demikian kenek bus dengan riang gembira tetap saja memasukkan penumpang, lagi, dan lagi. Luar biasa sesaknya pinggir pintu bus malam itu. Bergelantungan dengan beban yang hanya bertumpu pada satu kaki, dengan didukung oleh tangan yang menggapai-gapai apapun yang bisa digapai, dengan celana dan baju yang masih belepotan bercak-bercak kecoklatan, mulut yang baunya - mungkin - seperti neraka avici.

Ketika bus sedang berjalan di ruas jalan tol sekitar gerbang TMII, sempat satu kali badanku tiba-tiba terasa lemas. Konsentrasi menghilang pelan-pelan, dan pandangan mulai kabur agak gelap seperti TV keilangan gelombang. Rasanya mau pingsan. Yang kucari-cari dalam keadaan setengah sadar adalah tempat duduk untuk meletakkan pantatku. Tetapi ke manapun aku mencoba, yang ada cuma batang kaki dan tempurung dengkul orang lain. Tapi untung kemudian, juga atas dasar pengertian seorang penumpang berdiri yang lain, kami bertukar posisi dan aku mendapatkan tempat untuk menyandarkan bahu ke pinggir pintu. Diterpa angin dingin dan beban yang terbagi, kesadaran kembali dengan cepat.

20:00
Sampai di depan halte depan Citra Land. Begitu turun kuhampiri bagasi bus, tetapi kenek masih sibuk membantu penumpang lain turun. Sementara bus sudah mulai berjalan lagi (sepertinya karena dikejar-kejar dan diusir preman setempat), tetapi tas aku dan temanku masih juga belum keluar. Badan bus kupukul-pukul sambil mencari dan memanggil kenek bus, tetapi seperti mamot yang dipukul oleh manusia, tentu saja bus-nya cuek aja. Baru kemudian setelah bus berjalan beberapa meter sang kenek muncul, membuka bagasi, dan tasku terlempar keluar begitu saja.

Temanku meneruskan perjalanan ke rumahnya, sementara aku beli air minum dulu. Sebotol langsung lenyap ke dalam perut. Naik jembatan penyeberangan dan minta dianter sama tukang ojek, tanpa ditawar: Goceng.

20:30
Sampailah di dalam kamarku. Penuh bercak-bercak lumpur, celana berganti warna, baju cemang-cemong, kerier belepotan. Badan capek sekali, betis nyut-nyut-an, tiga luka bacok menganga di kaki, baret-baret di tangan, ketek bau selokan, badan bau kambing, mulut bau neraka. Tapi gembira. Tapi senang. Karena udah berhasil pulang lagi ke sini, karena ngga ilang di tengah hutan sana, karena udah berhasil mampir ke Puncak Salak I.

***

Terimakasih untuk:
1. Mereka-mereka yang pernah menulis catatan perjalanan untuk perjalanan-perjalanan yang dilakukannya (khususnya ke Salak Puncak I via Cidahu). Seandainya tidak ada mereka, tentu aku tidak akan pernah sampai ke sana (atau mungkin tidak kembali lagi ke sini).
2. Teman-teman seperjalanan. Baik 3 orang di tim-ku, maupun 8 orang di tim yang lain.
3. Teman-teman lain yang bertemu di Puncak Salak I.
4. Gunung Salak itu sendiri.
5. Teman yang kutitipkan kabar di Jakarta.

Pesan untuk yang ingin mengunjungi Puncak Salak I, khususnya pada musim hujan dan lewat jalur Cidahu:
1. Siapkan peta dan catatan tentang persimpangan-persimpangan.
2. Siap untuk lumpur.
3. Siap untuk duri.
4. Siap untuk hujan.
5. Bawa celana, celana dalem, kaos kaki, dan baju lebih.

***

Gunung Salak, memang luar biasa.