28 August 2012

Pangrango-Mandalawangi #2

07 Juli 2006 23:18:09

29 Juni 2006
Pagi hari, di kamar kosku.
Bersama dengan enam orang teman mempersiapkan sebuah perjalanan selama empat hari. Dimulai dengan belanja pada hari sebelumnya, dan packing di pagi hari itu. Mendapatkan tambahan satu orang teman lagi hingga seluruhnya menjadi delapan orang yang sore harinya bersama-sama mulai menjalin suatu perjalanan, dengan tujuan dan alasan yang berbeda-beda.

Tetapi bagiku perjalanan ini masih tetap merupakan suatu pelarian. Melarikan diri dari peradaban manusia, melarikan diri dari kota terkutuk ini, mencari perlindungan dari ibu bumi, di dalam sisa-sisa hutan belantaranya, mengasingkan diri ke dalam pelukan gunung-gunung, dan mencari kedamaian di antara lembah-lembahnya.

30 Juni 2006
Pagi hari, Cibodas.
Perjalanan dimulai. Menapaki jalan batu yang panjang, merayapi tanjakan demi tanjakan selepas pos Panyancangan, dengan beban yang mematikan di punggung, menggenjot jantung, memacu paru-paru, melepas adrenalin, memaksa otot-otot paha dan betis ini terus bergerak dan bergerak. Suatu perjuangan.

1 Juli 2006
Pagi hari, Kandang Badak.
Kandang Badak adalah lokasi bertenda pertama. Ramai dihadiri oleh puluhan orang lainnya. Kandang Badak masih kotor seperti sebelumnya, cukup membuat rasa sedih bercampur-campur dengan kegeraman.

Perjalanan dilanjutkan, menuju gunung Pangrango. Ruas-ruas jalan satu per satu dilalui. Pohon demi pohon yang bertumbangan sepanjang jalan. Memanjat menunduk membungkuk bahkan terkadang merayap. Tanjakan demi tanjakan yang terjal, hingga suatu jalan datar yang menghantarku menuju puncak gunung Pangrango. 3019 mdpl.

Hanya satu atau dua menit, kemudian menuju ke lembah Mandalawangi.

Indah masih indah seperti setahun silam. Bunga eidelweis bermekaran seiring musim panas yang tengah berjalan. Ceruk mengering tetapi menyisakan mata air yang jernih di pojokan lembah. Rumput-rumput mengering dan awan bergantian mencumbu menciuminya. Langit dan bumi bermesraan di tempat ini, mereka bermesraan, mereka bermain cinta.

Tetapi di sini dan di sana ada sedikit benda-benda peninggalan bernama sampah milik manusia-manusia haram jadah. Manusia-manusia yang sungguh haram jadah dan begitu bangsat, laknat, dan keparatnya hingga memilih untuk melepaskan keping-keping bungkus ini dan bungkus itu dari tangannya daripada memasukannya ke dalam kantung atau membuangnya dengan cara yang layak. Sekali lagi haram jadah.

2 Juli 2006
Lembah Mandalawangi, sejak tengah malam.
Dua orang teman yang pergi ke luar tenda untuk kencing membuat aku dan beberapa yang lainnya menyaksikan apa yang ada di atas kepalaku. Bintang. Banyak sekali bintang. Milyaran bintang yang begitu jernih. Milyaran bintang jernih yang sangat indah dan cantik. Membeku di kehitaman malam, berpendar atau bergetar, berdiam kaku, gemerlapan, sangat cemerlang. Tak terhitung dan tak terlukiskan. Sebercak putih yang menyerupai debu bintang merayapi langit membelah dari selatan ke utara. Bulan sabit tersenyum agak di barat. Waktu serasa terhenti.

Pagi harinya gunung Salak menampakkan diri di arah barat di sela-sela dua bukit di kejauhan di bawah sana, berendam awan halus berlatar langit biru jernih. Waktu sekali lagi membeku. Sebeku embun-embun pagi yang sungguh-sungguh membeku menjadi bunga-bunga es di daun dan bunga eidelweis, di rerumputan, di penutup tenda, di permukaan botol air minum, di seluruh permukaan lembah. Bahkan air membeku menjadi es batu di dalam panci masak yang diletakkan di luar tenda.

Sinar matahari pagi menjadi terasa begitu nikmat, belaian alam yang lembut penuh kasih sayang, menghangatkan kulit dari tubuh-tubuh yang menggigil kedinginan.

Sejak tengah malam, lembah Mandalawangi adalah suatu titik di muka planet ini, di mana manusia bercumbuan bersama bumi dan langit. Di mana kemanusiaan dan cinta menemukan bentuknya yang termurni, di mana keindahan surgawi hadir begitu saja di hadapan manusia, di mana peradaban menjadi mentah dan kehilangan segala maknanya.

Keindahan itu tak terlukiskan. Keindahan itu tak tergambarkan. Lupakan segala kata-kataku karena aku tak mampu menggambarkannya.

No comments:

Post a Comment