28 August 2012

Puncak Gede #6 - Sebuah Perjalanan Gila

07 November 2005 22:21:34

Senin, 7 November 2005
06:00: Mulai (dari warung)
07:00: Pos Panyancangan
08:32: Melewati Air Panas
08:40: Kandang Batu, kemudian air terjun
09:15: Kandang Badak
09:40: Mulai menuju puncak
10:09: Desir angin pertama terdengar
11:15: Puncak bayangan
11:30: Mulai turun
11:49: Berhadapan dengan Pangrango, tampak besar dan anggun di kejauhan
12:50: Kandang Badak

Entah pukul berapa, sore: Cibodas
Hampir pukul 9 malam: Bogor
Lewat dari pukul 10: Jakarta

Catatan selanjutnya hancur tak terbaca.

Tetapi bagiku segala catatan di atas hampir tidak bermakna lagi, ketika dihadapkan pada keseluruhan jalan cerita tentang sebuah perjalanan sejak kemarin malam hingga hari ini. Sebuah perjalanan yang gila. Setidaknya bagiku. Atau entah dan terserah jika orang lain lebih ingin menyebutnya dengan konyol atau tolol.

Dimulai pada kemarin malam, yang mana pada awalnya berjalan cukup lancar dan baik-baik saja. Sekitar pukul delapan malam aku mendapatkan bis hitam besar ber-AC yang menuju kota Bogor. Tidak ada masalah apapun dengan bis itu. Hanya yang cukup terasa berat adalah tarifnya yang telah naik menjadi sepuluh ribu rupiah. Tetapi yang jauh lebih mengagetkan adalah ketika harus membayar dua puluh ribu rupiah untuk angkutan L-300 yang membawaku menuju Cibodas. Kemudian mengeluarkan tiga ribu rupiah lagi untuk angkot menuju kaki gunung. Mengaso, segelas teh manis hangat, sepiring nasi di warung, dan kemudian menumpang tidur di sana. Hampir tidak dapat tidur, yang kuingat dengan pasti bahwa ada suatu saat di mana aku tertidur pulas barulah sekitar pukul empat atau lima subuh.

Sementara sekitar pukul lima tiga puluh pagi itu aku telah bangun, memesan nasi bungkus, teh manis hangat, mengepak jaket yang kupakai semalam, dan memakai sepatuku. Segera pergi menuju pos pendaftaran, di mana tidak ada siapapun yang menjaga di sana, maka pelan-pelan aku terus naik hingga akhirnya di kompleks bangunan entah apa di dekat Musholla dan kantin mendapat izin untuk pergi ke air terjun. Yah, air terjun. Tetapi, seperti yang juga banyak dilakukan dan diketahui khalayak ramai dunia ini, sesampainya di pertigaan Panyancangan aku berbelok menuju jalur pendakian dan bukan air terjun.

Meter demi meter jarak dan ketinggian kutapaki, melewati pos 2, air panas, kandang batu, air terjun, kandang badak, hingga akhirnya sampai di puncak bayangan gunung Gede (atas dasar pertimbangan waktu dan keinginan untuk menghindari hujan, tidak kuteruskan menuju puncak asli). Makan nasi bungkus yang kubeli di bawah, bengong sebentar. Segalanya berjalan lancar sejauh itu. Turun kembali menuju Kandang Badak, dan sebentar kemudian melanjutkan jalan turun menuju Cibodas.

Tidak terlalu lama setelah mulai berjalan, cuaca mulai menjadi mendung, pandangan menjadi agak buram karena kabut tipis yang turun, dan dilanjutkan dengan tetes-tetes air pertama. Hujan rintik-rintik yang tidak terlalu menjadi masalah. Air panas telah kulewati ketika perlahan-lahan tetes-tetes hujan semakin giat dan banyak menghujam bumi. Hujan rintik-rintik perlahan-lahan mulai berubah menjadi hujan yang sesungguhnya. Ketika itu batu-batu yang kutapaki mulai menjadi licin, dan tumitku di dalam sepatu lars mulai terasa sangat sakit.

Sejak tetes-tetes hujan yang pertama telah kuharapkan, bahwa setidaknya hujan jangan turun dulu sebelum sampai di bawah. Tetapi harapan tinggal harapan, dan ternyata hujan rintik-rintik tidak saja berubah menjadi hujan sesungguhnya, melainkan juga hujan deras. Baju, celana, slayer, sepatu, dan tasku telah kepalang basah karena tetes-tetes air sebelumnya ketika hujan deras itu datang. Segalanya menjadi basah, dan akan menjadi sangat dingin jika berhenti berjalan. Maka tidak kukeluarkan ponco, tidak akan berteduh dan akan terus berjalan sebelum mencapai pos Panyancangan.

Berjalanlah terus aku, hingga tumit tidak terasa sakit lagi karena kulit yang lembek dibasahi air hujan. Sepatu yang pada awalnya sekadar kemasukan air yang merembes, kemudian menjadi benar-benar basah, menjadi kubangan air hujan, yang mana justru membuat tidak ada permasalahan jangka pendek apapun menyangkut sang kaki. Setelah menyusuri jalan-jalan berbatu dan berlumpur, yang sepanjang jalannya berubah menjadi saluran air untuk turun ke kaki gunung, menuruni gunung menembus hutan belantara di tengah guyuran hujan deras dan dingin, akhirnya pos Panyancangan ada di depan mata. Masuk ke salah satu sisi bangunannya, berteduh. Tetapi segera melanjutkan perjalanan turun kembali beberapa detik kemudian, karena kurasa berteduh dengan segala hal yang basah menempel di badan hanya akan mengundang datangnya hipotermia.

Akhirnya sampailah di Cibodas. Dan di sanalah setelah berhenti berjalan baru badanku menggigil. Hendak menumpang kamar mandi, yang tidak, tidak akan kugunakan untuk mandi, hanya membersihkan badan dengan tissue basah dan mengganti pakaian kering. Tetapi hanya mendapatkan penolakan tidak resmi dengan berbagai macam jawaban; mulai dari mampet, lampu mati, banyak barang orang, dan sebagainya. Akhirnya menumpang kamar mandi lainnya seharga seribu rupiah. Ada kenang-kenangan yang kudapatkan ketika kulepaskan sepatu; dua potong luka lecet yang terasa pedih di kedua tumit kaki. Kertas tempat sebuah tulisanku malam sebelumnya dan catatan waktu perjalanan tadi, yang kusimpan di kantong celana ikut menjadi basah tak berbentuk. Setelah berpakaian kering dan memakai jaket, kumasukkan pakaian kotor, sepatu, dan tas basahku ke dalam dua lapis trashbag dan kubawa-bawa buntelan hitam itu, yang akan seperti buntelan sinterklas seandainya ia berwarna merah.

Sejak masih di tengah guyuran hujan sebelumnya, salah satu hal yang sangat-sangat kudambakan adalah teh manis hangat dan nasi goreng. Dan jadilah, setelah berganti pakaian kupesan segelas teh manis hangat di warung yang lain. Tidak dengan nasi goreng karena sadar, uang sudah benar-benar tipis. Sungguh nikmat, tetapi hal ini tetap akan kukutuki kemudian. Teh manis hangat dan sekaleng Pocari Sweat yang kubawa dari Jakarta menjadi teman mengobrol bersama tiga orang yang baru kukenal. Setelah membayar, dua ribu lima ratus rupiah, aku berjalan mencari angkutan, akhirnya kudapatkan, dan sampai di jalan raya dengan dua ribu rupiah.

Ternyata jalan arah turun ke Bogor sama sekali berhenti karena waktu itu hanya arah naik yang dibolehkan berjalan. Kususuri jalan turun dengan kakiku, sambil menanyai setiap angkutan kota asal Bogor (entah bagaimana angkutan kota Bogor bisa ada di sini) dan mobil L-300 yang kutemui. Beberapa kali hanya kudapatkan mobil yang telah terisi penumpang tanpa sisa tempat satupun. Akhirnya aku bisa duduk dengan cukup berhimpit-himpitan di sebuah kendaraan L-300 dan tidak lama kemudian jalur turun mulai berjalan. Awalnya hanya satu saja permasalahan, yaitu aku sangat-sangat ingin kencing. Dapat kutahan, tetapi kemudian dimasukkan lagi dua orang penumpang dengan beberapa barang bawaan ke dalam kendaraan itu. Jadilah duduk hanya setengah pantat, kaki yang terjepit di sana sini, dan pinggang yang bengkok. Pantat kananku terasa sakit dan kaki kanan menjadi kesemutan hingga kusadari bahwa ada dompet yang membuat pantatku itu terasa sakit, menjadi cukup lega ketika sang dompet kukeluarkan.

Sampai di kota Bogor, kendaraan masuk ke dalam terminal. Gelap dan becek. Bagian dalam terminal ini tidak terlalu kukenali karena biasanya hanya bagian depannya saja yang kumasukki. Berjalan kesana dan kemari, bertanya sana-sini mencari bis jurusan Kalideres Jakarta. Kaki yang kaku dengan tumit yang terluka ini kupaksa berjalan menapaki becek dan lumpur terminal, tidak perduli lagi tentang air hitam dengan tanah bercampur segala kotoran entah apa itu. Ada masalah baru di sini, uangku tinggal delapan ribu rupiah dan hanya itu saja tidak lebih dan tidak kurang. Sementara tarif bis non-AC adalah sembilan ribu rupiah. Delapan ribu rupiah jika berdiri. Tidak ada uang sepeserpun untuk masuk WC umum, maka kucari sepojok tempat di tepi pager terminal di bawah sebongkah pohon besar, kubiarkan juga air kencing itu keluar. Deras dan banyak dan berbusa. Luar biasa.

Akhirnya kutemukan juga bis itu. Non-AC seperti yang kubutuhkan, tetapi masih kosong dan baru mulai mencari penumpang. Maka berdirilah aku di pinggir bis di tepi lampu penerangan yang muram, bersama buntelan hitamku; menunggu bis penuh supaya bisa menumpang berdiri dengan harga delapan ribu rupiah. Sempat kutawarkan untuk menjual korek api gasku kepada seorang tukang rokok keliling, tetapi hanya dibalas dengan senyum bercanda - yang kemudian juga hanya bisa kubalas dengan senyum perlampang harapan yang pupus.

Sebenarnya bisa saja aku pergi pulang ke rumahku yang ada di kota itu juga, meminta diantar ke Jakarta ke tempat kosku. Tetapi itu akan sama artinya dengan menyerah dan tidak menyelesaikan perjalanan ini. Maka kupilih untuk tetap berdiri dan menunggu. Sesungguhnya aku pun merasa cukup konyol dan tolol ketika membuat keputusan itu. Entah apa yang membuatku tetap ngotot seperti itu.

Bis sudah hampir penuh ketika akhirnya kondektur menghampiriku, mengajakku bergeser ke bagian depan bis yang tak terlihat oleh penumpang di dalam. Meminta delapan ribu yang kumiliki dan menyuruhku duduk saja. Ternyata ia baik juga. Mungkin awalnya ia mengiraku berbohong atau bercanda ketika kutawar tarif duduk seharga delapan ribu rupiah dengan alasan tinggal itu saja uang yang kumiliki. Senang sekali, segera aku naik ke bis dan duduk di bagian depan di samping supir. Hanya sebentar karena sesaat kemudian kondektur yang lain memintaku berdiri untuk memberi tempat duduk kepada seorang ibu dengan anaknya.

Berdiri bergelantungan sambil tertidur sekali-kali sepanjang jalan tol Bogor-Jakarta, dengan perut yang terasa tidak nyaman dan kepala yang sungguh terasa puyeng. Sampai di Grogol, turun, dan kemudian menyeberang di jembatan penyeberangan, masih bersama buntelan hitamku. Di bawah jembatan, meminta tukang ojek pertama yang kujumpai untuk mengantar. Lima ribu rupiah, biarlah, kubayar di kos nanti.

Setelah membayar, membeli air minum, mandi, akhirnya aku ada di sini menulis cerita ini (yang disambung tertidur dan dilanjutkan besoknya).

Sebuah perjalanan. Yang cukup gila. Setidaknya bagiku.

No comments:

Post a Comment