11 August 2012

Ahmadiyah

10 Juni 2008 07:20:46

Surat Keputusan Bersama itu, yang ditandatangani oleh tiga menteri berbunyi seperti ini:

1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No. 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Islam pada umumnya. Seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundangan.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
6. Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama ini.

***

Sementara Undang Undang Dasar Negara ini, pada pasal 29 mengatakan:

"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

Bagaimana bisa, bahwa di sebuah negara muncul sebuah peraturan, sebuah 'surat keputusan bersama', yang mengingkari Undang Undang Dasarnya sendiri. Apa artinya memiliki Undang Undang Dasar yang berslogan 'dasar dari segala dasar hukum' kalau peraturan, undang-undang, dan 'keputusan bersama' yang tercipta kemudian bertentangan dengannya? Atau justru memang tidak lebih cuma sebagai slogan belaka?

Mungkin memang sudah menjadi kebiasaan dari orang-orang di negeri ini untuk mengangkangi, meludahi, dan menginjak-injak Undang Undang Dasarnya sendiri; menciptakan peraturan, undang-undang, keputusan ini, dan keputusan itu yang bertentangan dengannya.

Supaya tidak tampak terlalu dungu, setidaknya amandemen-lah dulu Undang Undang Dasar itu. Ubah dulu isinya. Buang pasal-pasal yang tidak disukai, ubah yang mengganjal, dan dalam kasus ini hapuskan pasal 29 ayat 2, ganti menjadi: "Negara berhak untuk menentukan agama mana yang benar dan agama mana yang salah." Tambahkan juga ayat ketiga: "Negara dapat melarang warganya menganut kepercayaan tertentu."

Tetapi apakah itu masuk akal? Tidak! Negara tidak mempunyai legitimasi untuk melarang warganya mempercayai sesuatu. Selama kepercayaan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak membuat orang yang mempercayainya melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, negara tidak mempunyai legitimasi apapun untuk melarang suatu kepercayaan. Terlebih lagi jika kepercayaan itu menyangkut tuhan, ketuhanan, dan segala tetek-bengeknya.

Karena untuk percaya kepada sesuatu, untuk percaya (bahkan untuk tidak percaya) kepada tuhan, adalah merupakan Hak Asasi Manusia yang telah diakui oleh negara-negara beradab di muka bumi. Sehingga dengan demikian tindakan negara ini yang melarang-larang, mempersesat, dan membiarkan kekerasan terhadap orang-orang yang menganut kepercayaan tertentu adalah bukan saja mengingkari Undang Undang Dasarnya sendiri, tetapi lebih dari itu adalah bertentangan dengan Universal Declaration of Human Rights.

Bahkan negara ini tidak mempunyai sedikitpun legitimasi untuk 'mengakui' kepercayaan tertentu sebagai 'benar' atau terlebih lagi 'mengizinkan' suatu kepercayaan!

Karena, pertama, dalam negara hukum seperti Indonesia, 'negara' adalah entitas duniawi yang mengurusi permasalahan manusiawi, 'negara' bukan mengurusi hal-hal sorgawi-tuhan-allah-wi, iblis-hantu-blau-wi, dan antek-anteknya. Negara (semestinya) mengurusi hubungan antara manusia dengan manusia, kehidupan manusia dari kelahirannya hingga kematiannya, dan biarkan hubungan manusia dengan tuhannya diurus oleh masing-masing manusia itu sendiri, secara privat, mandiri, dan pribadi.

Kedua, apa dasar dari 'pengakuan' dan 'pengizinan' yang dilakukan oleh negara terhadap kepercayaan-kepercayaan yang beredar? Apa dasar dari penentuan dan pemilihan itu? Apa yang menjamin bahwa pilihan negara benar adanya?

Bukankah negara ini bukan sebuah negara di mana pemimpin dan pembantu-pembantunya mengklaim memiliki kemampuan untuk berkomunikasi langsung dan menjadi penerjemah tuhan? Bukankah penguasa-penguasa negara ini adalah 'orang-orang biasa' yang pada dasarnya sama-sama buta tentang tuhan seperti seluruh warga negara yang lainnya? Bukankah negara ini dipimpin oleh 'presiden' dan bukan oleh 'nabi'?

Maka dari mana para penguasa dan pejabat negara ini dapat mengetahui kepercayaan mana yang benar dan kepercayaan mana yang salah?!

Sementara yang saat ini telah 'diakui' dan 'diizinkan' adalah enam kepercayaan dengan sumber dan akar ajaran yang mutlak berbeda-beda, nabi-nabi yang tidak sama, nama yang rupa-rupa, hari raya yang aneka-ragam, dan orientasi ketuhanan yang bermacam-macam. Allah, Yesus, hingga Wishnu. Bunda Maria, Buddha Gautama, Shiva, Muhammad, lantas Ta Pe Kong. Jangan lupakan Buddha Maitreya, Brahma, Konfusius, kemudian Manunggaling Kawulo Gusti.

Apa dasarnya?

Sekarang kita dapat melihat. Dasar dari pilihan itu adalah soal politis dan sosial belaka. Rupanya memang negara ini tetap saja bukan sebuah negara yang dipimpin oleh para utusan tuhan-allah. Pilihan-pilihannya, pengakuan dan perizinannya terhadap kepercayaan-kepercayaan bukanlah didasarkan atas 'benar' atau 'salah'-nya kepercayaan itu, melainkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan politis dan sosial.

Sehingga, kuulangi, pada dasarnya negara tidak memiliki legitimasi apapun untuk - baik melarang, maupun mengakui kepercayaan-kepercayaan warganya. Sesuai dengan arah kepentingan 'negara' yang duniawi dan manusiawi, semestinya negara yang sehat dan waras tidak akan memiliki permasalahan dan tidak perlu mengambil pusing soal kepercayaan warganya, selama kepercayaan itu tidak menentang atau membuat pengikutnya menentang nilai-nilai kemanusiaan.

***

Jika kita bicara mengenai kepercayaan dalam lingkup antar manusia-manusia biasa bukan sebagai entitas kenegaraan, kelembagaan, atau organisasi entah apa; juga tafsir, interpretasi, cara pandang, pengertian, hal-hal semacam itu dapat menjadi sangat berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lainnya. Perbedaan ini tidak akan pernah dapat dihindari, justru karena manusia mempunyai otaknya masing-masing untuk berpikir.

Dan perbedaan-perbedaan ini, sejauh menyangkut 'kepercayaan', akan tetap dan harus legal. Perbedaan yang menyangkut 'kepercayaan' tidak dapat dipersesat dan diperkafir, apalagi diberantas dengan cara menggebugi yang mempercayainya, persis karena sifat dari 'kepercayaan' itu sendiri:

Bahwa 'kepercayaan' adalah memang cuma didasarkan pada 'percaya' belaka, tidak dapat (atau belum) terbuktikan. Karena kalau dapat dan sudah dibuktikan, tentu namanya bukan lagi 'kepercayaan', melainkan 'fakta' atau 'kenyataan'.

Maka, dengan sifat internal dari sang 'kepercayaan' yang memang tetap saja hanya merupakan 'kepercayaan' sejauh tidak ada klarifikasi dan pembuktian yang memadai, maka sebenarnya tidak ada 'kepercayaan' jenis apapun yang bisa dikatakan sebagai 'benar' atau 'sesat'.

Sederhananya, pihak-pihak yang mempersesat kepercayaan pihak yang lain, bukankah dirinya sendiri pun sebenarnya hanya bersandar pada sepotong kata 'percaya' belaka?

'Percaya' bahwa buku-buku usang yang menjadi panduannya dalam memperkafir adalah valid dan afdol, 'percaya' bahwa apa yang dilakukannya akan dibalas dengan sorga yang cihuy, 'percaya' bahwa perkataan sang nabi memang benar, 'percaya' bahwa dia itu memang seorang nabi, 'percaya' bahwa tuhan memang ada, hanya 'percaya' dan tidak lebih dari 'percaya'.

Cuma 'percaya' saja.

***

Sebenarnya dalam lingkup orang-per-orang, dalam lingkup kehidupan sipil sesama warga manusia yang sederajat, bagaimanapun juga, adalah sah-sah saja jika pihak yang satu menganggap pihak yang lain sebagai 'salah', 'sesat', apapun.

Dialog, diskusi, bahkan perdebatan keras pun sehat-sehat saja - walaupun mungkin lebih tidak berguna dan akan tampak dungu-ketolol-tololan jika dilakukan untuk meributkan 'kepercayaan' (sekali lagi, yang dasarnya memang cuma 'percaya' itu).

Tetapi itu sah-sah saja.

Dalam kasus yang cukup besar, justru semestinya di sana muncul peran negara. Bukannya untuk memberi cap 'benar' dan 'mujarab' kepada pihak yang satu dan ikut-ikutan menegaskan cap 'sesat' kepada pihak yang lain, dan sama sekali bukan malah menerbitkan surat larangan dan surat ancaman untuk pihak yang dipersesat.

Melainkan untuk menjamin kebebasan setiap pihak untuk mempercayai apapun yang menjadi kepercayaannya. Untuk mengontrol berbagai macam pihak dengan kepercayaannya masing-masing agar tidak melampaui batas-batas tertentu, karena sesuai dengan prinsip kebebasan yang "terbatasi oleh kebebasan orang lain", maka ketika 'kepercayaan' pihak yang satu telah mempersesat 'kepercayaan' pihak yang lain dan lebih dari itu mengganggu, bersifat ofensif, dan secara aktif mengganggu, maka negara semestinya berperan di sana, untuk menghentikannya. Secara manusiawi dan duniawi, agar tetap netral di antara kepercayaan-kepercayaan sorgawi.

Yang akan menjadi masalah, adalah jika tindakan mempersesat, mempermurtad, memperkafir, dan memperiblis dilakukan oleh alat dari penguasa. Atau oleh entitas yang rajin bermesra-mesraan dengan penguasa. Atau oleh pihak yang memiliki kepentingan yang sama dengan penguasa. Atau oleh lembaga yang isinya kurang-lebih sedikit-banyak adalah komponen-komponen yang berkuasa juga. Atau oleh pihak yang, secara resmi ataupun tidak resmi, memang berkuasa.

Jika penguasa memiliki hak untuk mempersesat, jika penguasa memiliki alat yang dapat digunakan untuk mempersesat suatu pihak, maka yang akan terjadi adalah penindasan struktural. Penindasan yang sistematis.

Karena penindasan bukan lagi dilakukan oleh sesama manusia sederajat yang memiliki kemampuan yang (kurang lebih) sama dalam mempertahankan dirinya, melainkan oleh pihak yang memiliki sumber daya, kemampuan, kekuasaan, alat, dana, dan yang terpenting legitimasi untuk melakukan penindasan tersebut. Walaupun legitimasi itu terbentuk dalam kerangka berpikir yang tidak logis, tidak rasional, dan seperti kita tau, bertentangan dengan Undang Undang Dasarnya sendiri.

Berikutnya, penindasan semacam itu, yang tampaknya dilakukan dalam nama kesesatan dan kebenaran, belum tentu benar-benar terjadi dalam nama kesesatan dan kebenaran belaka. Penguasa akan (dapat) dengan mudah mempermainkan dan mengaduk-aduk antara urusan duniawi-manusiawi dengan urusan surgawi-roh-kudus-setan-iblis-tuhan-allah-wi. Penguasa akan (dapat) menggunakan yang satu untuk menunjang yang lain.

Penguasa akan (melalui jalan dan pihak-pihak tertentu) mempersesat suatu pihak, menyebar propaganda, menuangkan bahan bakar kebencian dan fanatisme, dan kemudian percikkan sedikit bunga api agitasi. Maka jadilah si sesat menjadi yang tersesat dan tidak ada lagi orang yang ingat soal perut dan minyak tanah dan PHK dan korupsi dan plesiran DPR dan penggundulan pohon dan dosa-dosa Soeharto dan kemelaratan yang mematikan dan lain-lain.

Contohnya adalah yang dilakukan terhadap Ahmadiyah di Indonesia.

Di sana bukan cuma Front Pembela Islam saja yang terlibat. Di sana ada Majelis Ulama Indonesia. Berbeda dengan FPI yang lebih menyerupai eksekutor dan pelaku lapangan, Majelis Ulama Indonesia adalah pihak yang berkuasa atas 'kepercayaan', makhluk ini memiliki kekuasaan untuk mempersesat setiap pemikiran yang ia kehendaki mendapatkan cap sesat, dia menguasai permasalahan penafsiran dan interpretasi, dia berkuasa atas banyak hal - dari stempel Halal hingga (kalau mau dapat saja) mengeluarkan fatwa bahwa ngentot dengan gaya tertentu adalah sesat. Dia rajin bermesraan dengan penguasa politik, di dalam tubuhnya terkandung elemen-elemen penguasa senjata, dan tentu saja dirinya saling libat-melibat dengan kekuasaan ekonomi.

MUI berkata. FPI mengeksekusi. Kelihatannya ricuh. Masyarakat terbengong-bengong. Semakin terbengong-bengong. Kelihatannya semakin ricuh. TV dan koran penuh dengan berita sejenis. Masyarakat lupa segalanya. Lantas tinggal beri teken 'sesat' oleh tiga menteri. Selesai: Pemerintah girang bukan kepalang.

Masalah dapat diselesaikan dengan cara mempersesat orang lain. Yang artinya satu lagi penindasan terhadap orang lain. Dan mempertolol bangsa. Dan menipu rakyat. Dan menumbuhkan kedunguan sesubur-suburnya. Membuat orang lupa pada perutnya sendiri. Membiarkan kemelaratan terus merajalela. Memelihara setan-setan bersorban untuk dimanfaatkan dalam kesempatan yang kesempitan.

***

Jadi kalau belakangan ini sering dikatakan bahwa FPI harus dibubarkan:

Kukatakan negara ini pun sesungguhnya sudah mesti dibubarkan!

Karena penguasa negara ini telah berdiri dengan struktur yang menindas rakyatnya sendiri!

Karena mereka, anjing-anjing penguasa, seluruh pemeran Trias Politica di negeri ini, eksekutif-legislatif-dan-bahkan-yudikatif, dengan TNI-nya, dengan seluruh komponennya, dengan semua sahabat-sahabat penguasa ekonominya, mereka semua beramai-ramai merampok, menjarah, membunuh, dan memperkosa rakyatnya sendiri!

Dan jangan lupakan yang berkuasa atas langit-bumi-tuhan-beserta-nabi-nabinya. Jangan lupa untuk membubarkan MUI: Majelis Ulama Indonesia. Sang setan fasis.

Fasis.

FASIS!!

No comments:

Post a Comment