28 August 2012

Puncak Salak I - 2211 mdpl

07 Januari 2006 18:09:06

Menjelang akhir taun, perasaan pengen kabur ke tengah utan waktu ganti taun makin hari makin kuat. Ajak sana-sini susah bener dapet temen naik, yang udah ada pun beberapa malah ngundurin diri. Tapi akhirnya dapet 3 orang temen untuk naik. Ke suatu tempat yang tidak satupun dari antara kami berempat pernah mendatanginya, atau apalagi kenal dengan jalurnya; Gunung Salak - Puncak I. Yang ada cuma dua potong halaman kertas HVS masing-masing berisi peta jalan dan peta sederhana jalur-jalur (lebih tepat disebut bagan), kemudian selembar lagi adalah keterangan jalur Gunung Salak hasil ngeringkas sendiri dari berbagai sumber catatan perjalanan orang lain (terimakasih banget untuk yang selalu nulis catatan perjalanan, karena bisa jadi itu sangat berguna).

Jalur yang menjadi pilihan adalah jalur Cangkuang, Kabupaten Sukabumi. Hasil dari pilihan secara diktator dan otoriter juga otodidak, karena cuma aku sendiri yang memutuskannya, sementara yang lain nggak tau apa-apa dan tinggal terima nasib doang. Maka jadilah, beberapa puluh menit selepas pukul 9 pagi tanggal 29 Desember 2005, kami berempat ada di kamar kosku. Setelah belanja ngebongkar dan masukkin macem-macem barang ke dalem tas masing-masing. Dua kerier besar, satu kerier kecil, dan satu daypack.

29 Desember 2005
12:31
Ada di dalem bus jurusan Kali Deres - Sukabumi, dengan ongkos masing-masing lima belas ribu perak seorang. Sempet dihalangi macet dan sedikit diciprati ujan gerimis. Dua orang pengamen sempet mampir, dan entah berapa puluh pedagang dengan strateginya masing-masing yang tidak pernah putus hilir mudik di dalem bus. Yang layak mendapat penghargaan sebagai pedagang asongan dengan strategi paling maju adalah tukang buah-buahan.

15:30
Sampai di depan SPBU Cicurug, langsung ketemu angkot warna putih yang menawarkan diri untuk nganter ke pos pendakian, dengan penawaran tarif awal delapan ribu dollar Sukabumi per orang. Tapi setelah tawar-tiwir jadilah dua puluh lima ribu perak sekali tarik.

16:00
Celingukan di seberang gerbang Wana Wisata Cangkuang. Mampir ke sebuah toko entah apa, di sana ngejual macem-macem alat pendakian, sempet sedikit nanya-nanya. Dari sana kami jalan ke pos yang ada di pintu masuk Wana Wisata, dan terkaget-kaget hingga hampir muntah darah karena ngeliat papan pengumuman putih bertulisan merah berbunyi kurang lebih: "Karena sering hujan lebat/badai, dan sering ada pendaki yang tewas, maka pendakian ke Puncak Gunung Salak dilarang."

Tapi untung aja kami nggak begitu saja menyerah pada sepotong papan pengumuman yang berdarah-darah itu. Pun tulisan nyeremin berbunyi "badai" dan "tewas" yang juga berarti "mamphus" nggak bikin kami ciut (walaupun sedikit serem juga sih). Nggak pake basa-basi, aku langsung ajak ngomong bapak yang lagi nongkrong di pos itu, bilang kalo kami mau naik ke Puncak Salak I. Tapi peraturan di sini sepertinya emang ngga seketat di Gunung Gede Pangrango. Jadi setelah sedikit wejangan dan arahan juga petunjuk sesuai dengan mandat Bapak Presiden, kami boleh masuk.

Sebenernya aku ngerasa si bapak ngijinin kami masuk karena nggak yakin kalo kami bakal bisa nemuin jalur masuk pendakian, karena mungkin tampang kami masih ijo dan masih lugu kayak anak mami. Dari pos pintu masuk, kami jalan ke arah warung yang ada ngga jauh dari pos, cuma naik dikit doang. Di sana sempet makan, minum teh manis anget, dan ngobrol-ngobrol.

18:06
Kami udah lagi pada nangkring di pinggir musholla di deket warung. Duduk menghadap Gunung Salak, menatapi kesunyian lembah-lembah yang tersembunyi di balik punggungan-punggungannya yang tak bergeming. Kabut putih menguap dari sela-sela pepohonan; mengambang rendah dan menutupi puncak-puncak Salak. Keindahan yang membeku membatu, menjadi apa yang tampak di depan mataku.

Sesudah gelap kami makan lagi, ngobrol lagi, lantas pukul 20:00 tidur di bale di samping warung.

30 Desember 2005
05:00
Bangun, masih gelap dan kabut tebel di mana-mana. Udara dingin tapi ngga terlalu dingin. Dari mulai bangun kami cuma ngobrol-ngobrol sambil nungguin warungnya buka.

06:20
Gunung Salak bermandi kabut. Warung masih belum buka.

Akhirnya warungnya buka entah pukul berapa, dan kami makan pagi. Kemudian pake sepatu, dan melakukan persiapan lainnya. Sempet berdoa dulu, walaupun aku sendiri nggak berdoa dan cuma minta izin dan restu alam untuk belajar. Belajar tentang alam, belajar tentang kehidupan, belajar tentang diri sendiri. Di dalam sana.

07:45
Kami mulai jalan. Menyusuri jalan aspal yang nanjaknya nggak putus-putus bikin napas ngos-ngosan, kaki pegel, dan bikin pengen berak-berak. Beberapa kali istirahat hingga kami bertemu sebuah pertigaan, jalan ke kiri disebut sebagai "jalur baru", sementara jalan lurus disebut "jalur lama" atau "jalur Javanna Spa". Sesuai petunjuk yang udah aku catat, kami mesti ngikutin jalan lurus. Yang dicari adalah sebuah jembatan dengan sebuah pos satpam di ujung sebelah kanannya. Jalur pendakian "katanya" ada di seberang pos satpam itu, berupa batu yang disusun nanjak jadi seperti anak tangga.

08:30
Jembatannya ketemu. Pos satpamnya keliatan. Dan alhamdulilah haleluya! Jalurnya pun ada di sana. Bener ada di sebelah kiri di seberang pos satpam, dan bener berupa jalan batu kecil, bener menanjak, dan bener di samping kanannya adalah pager besi berkawat duri. Setelah menyusuri jalan setapak dari batu itu, kami bertemu jembatan dari kayu, yang bikin sepatu larsku alergi (dia masih agak alergi sama kayu, dulu alergi batu - sekarang udah enggak). Jembatannya nggak rapet dan tanpa pegangan resmi, yang ada cuma ngerayap nyamping sambil pegangan pager besi dan sepotong kayu memanjang yang semoga cukup bisa dipercaya ketulusan niatnya.

Menyusuri jalan demi jalan, persimpangan demi persimpangan, yang keberadaannya bener-bener sesuai dengan P4 dan UUD 45 juga GBHN tahun 2004 (tentang jalur dan persimpangan, aku sendiri nggak sempet catet satu per satu walaupun masih inget kalo ke sana langsung, tapi mohon cari sumber lain yang menjelaskan tentang keberadaan, arahnya masing-masing, dan yang mana yang mesti dituju).

Sejak dari mulai jalan kami udah disambut oleh hujan rintik-rintik. Hujan sempet berenti, tapi kemudian dia lanjut lagi, berenti lagi, dan turun lagi. Begitu seterusnya dengan tempo, ritme, dan tingkat kederasan yang berbeda-beda setiap kali turun.

11:15
Sampai di sebuah tempat yang kami kira adalah Shelter 4, hujan bertambah deras. Dari sana kami melanjutkan perjalanan, menyusuri jalur-jalur di tengah hutan Gunung Salak, menjebloskan kaki ke dalam kubangan demi kubangan lumpur yang serasa tidak ada habisnya. Mulai dari yang cuma sedalem sol karet sepatu hingga yang hampir saja mencelupkan seluruh sepatuku (padahal tinggi sepatunya setengah betis) kalau saja kubiarkan kakiku terus terperosok. Jalur berubah menjadi saluran air. Menggumuli pohon-pohon berduri, akar-akar licin, batu-batu keras, tanah becek dan lembab, kubangan lumpur lagi, lumpur lagi, lumpur, lumpur, kubangan, becek, duri, lumpur, duri, lumpur, lumpur, dan lumpur, kemudian lumpur, dan lumpur, juga lumpur, dan seterusnya.

Perjalanan jadi bertambah berat ketika pada akhirnya hujan turun dengan sepenuh hati. Perjalanan jadi lambat sekali karena harus menghindari kubangan-kubangan yang dalemnya keterlaluan (kalo cuma sepergelangan kaki, trabas aja!), trap-trap longsor, trap-trap yang licin, dan lain-lain. Tadinya aku sempet pake ponco, tapi kemudian nggak tahan karena rasanya panas dan gerah sekali. Mending basah-basahan aja (uh wet baby, wet). Celana yang pada awalnya berwarna krem dengan sedikit bercak kotoran hitam sekarang berubah menjadi coklat tanah di bagian bawah, bukan saja lembab melainkan juga basah dan dilumuri oleh - lagi-lagi - lumpur. Bukan cuma sepatu dan celana yang terkena lumpur, tangan pun belepotan lumpur dan tidak lupa kerier di punggungku juga jadi cemong-cemong terkena lumpur (padahal kerier pinjeman!).

Sekitar pukul 14:30, karena ada seorang teman yang ngerasa kedinginan, dan hari pun sudah mulai sore, juga hujan yang tampaknya sedang girang-girangnya turun ke bumi, kami memutuskan untuk buka tenda begitu menemukan sebuah tempat yang dirasa layak untuk dijadikan tempat bermalam. Satu tempat dipertimbangkan, dan gagal memikat hati kami untuk membuka tenda, menemukan tempat yang lain lagi, tetapi kami nilai masih kurang pas.

15:15
Menemukan sepotong tempat, di tepi jalur becek berair, dengan bivak alam yang sudah compang-camping sedikit menurun dari jalur, pohon tumbang bekas ditebang di beberapa tempat, dan potongan-potongan kayu pipih berserakan di mana-mana. Akhirnya tempat itu yang terpilih sebagai tempat bermalam. Menurunkan kerier, buka tenda, bersih-bersih sana-sini, berbenah, ganti baju, bikin teh manis anget, dan kemudian masak nasi dengan lauknya: Mie instan dan telor goreng.

Makan rasanya nikmat banget kalo lagi di dalem utan di atas gunung. Selalu.

Tunggul kayu bekas pohon ditebang di depan tenda dijadikan tempat jemur pakaian; tali rafia melintang di depan tenda menuju ke sepotong tonggak kayu, juga untuk jemuran. Jemur celana dan baju, kaos kaki dan sepatu, tas dan kerier, dan lain-lain dan lain-lain.

Sesudah makan dan sedikit ngobrol, yang kami lakukan tidak lain dan tidak bukan, adalah tidur: TIDUR!

31 Desember 2005
06:30
Bangun, dan sesudahnya adalah seperti biasanya; gulung sleeping bag, masak. Perasaan cukup senang karena melihat bahwa semalem hujan tidak turun, lumpur-lumpur di sekitar tenda mulai agak mengendap. Padahal hari sebelumnya aku khawatir hujan (atau bahkan badai) akan datang dan mengobrak-abrik tempat itu menjadi sebuah kubangan lumpur besar.

Di tempat ini kami sempat bertemu dengan tim pendaki lain yang juga terdiri dari 4 orang. Sempat ngobrol-ngobrol sambil mereka beristirahat dan merokok. Yang cukup menakjubkan buat kami adalah, mereka tidak mengenakan alas kaki apapun!

08:00
Makan. Setelah makan kami membuat perapian, bukan untuk menghangatkan badan melainkan untuk membakar celana kami. Ya, tujuannya memang mengeringkan celana, tetapi karena kami pikir sekadar menjemurnya di pinggir perapian tidak akan membuatnya kering, maka bukan saja kami jemur tetapi benar-benar kami sentuh-sentuhkan kain celana yang basah itu ke lidah api. Uap air mengepul-ngepul dari celana dan sepatu yang dijemur di pinggir api. Sedikit membuatnya tidak terlalu basah.

Di tempat itu kupotong bagian bawah celanaku yang sudah dilapisi lumpur, menjadi celana pendek sedengkul lewat sedikit - yang tetap coreng-moreng lumpur di mana-mana. Celana yang kupotong itu celana pemberian dari adikku, tapi melihat keadaan bagian bawahnya yang kurang tepat kalau disebut "celana berlapis lumpur" (melainkan "lumpur dengan sedikit celana di baliknya"), seharusnya sih dia ngerti kalau aku dengan terpaksa harus memotongnya.

Setelah beres-beres dan packing kembali, kami mulai melanjutkan perjalanan. Lumpur sudah sedikit mengendap walau belum kering. Jalur tidak lagi berupa saluran air walaupun kubangan lumpur masih ada di mana-mana. Udara tidak terlalu dingin walaupun tanah masih saja merah dan kadang-kadang ambrol ketika diinjak.

12:30
Berhenti di suatu tempat di mana terdapat sepotong papan bertuliskan "Shelter IV", yang menandakan bahwa tempat yang kami kira shelter 4 pada hari sebelumnya bukanlah benar-benar shelter 4 yang sebenar-benarnya karena shelter 4 yang sebenarnya baru benar-benar kami temukan sekarang. Benar?

Setelah melewati shelter 4, kami melewati suatu jalur cukup panjang di mana di sisi kiri adalah jurang menganga yang kadang-kadang terlihat Kawah Ratu berada di tengahnya di antara kabut-kabut putih yang menggenangi jurang, hanya dibatasi oleh sedikit semak-semak pohon pendek bernama entah apa dengan sesekali ditumbuhi oleh pohon besar yang mana cukup memberikan rasa aman. Sementara di sisi kanan adalah juga jurang, yang walaupun tidak terlampau curam dan masih dibatasi oleh tumbuhan agak tinggi, adalah tetap berarti "jurang". Jalur yang dibatasi jurang di kanan-kirinya ini sempit sekali, kurang lebih hanya 50 cm. Kadang jalur terputus karena longsor, menyisakan sedikit akar-akar pohon yang untungnya cukup kuat untuk dipijak. Juga terdapat titik-titik tertentu di sepanjang jalur yang menampakkan diri sebagai suatu tempat yang bisa longsor sewaktu-waktu, sehingga kami tidak sudi menginjaknya.

13:30
Shelter 5. Hujan sempat mulai turun kembali ketika kami masih berada di sekitar shelter 5. Beberapa jarak dari tempat itu, kami harus melewati tebing curam dari batu yang basah. Tingginya sekitar 5 kali tinggi orang dewasa. Selepas tanjakan itu, masih ada beberapa lagi hadiah dari Gunung Salak, dengan tema yang masih sama: "tebing hampir vertikal". Yang aku ingat setelah melewati tempat-tempat itu adalah, yang kubaca dari berbagai catatan perjalanan adalah tentang "tebing batu vertikal berketinggian sekitar 10 meter". Mungkin para penulis yang terhormat lupa mencantumkan kata "beberapa" dan "masing-masing". Dua kali aku harus melepaskan dulu kerierku dan mengopernya pada teman yang sudah naik terlebih dahulu.

14:35
Shelter 6.

15:15
Shelter 7. Pada perencanaan semula, jika waktu sudah terlalu sore dan masih belum juga mencapai puncak, kami akan membuka tenda di shelter 7 - untuk berjalan ke puncak besok paginya. Tetapi karena hasutan dari orang-orang yang berkumpul di shelter 7, kami memutuskan untuk berjalan terus sampai puncak.

16:00
Cuaca tidak hujan, cukup cerah dengan matahari sore yang cukup hangat. Cuma sesekali terasa angin bertiup dari arah Kawah Ratu. Setelah sedikit menyusuri jalan-jalan datar dengan tumbuhan rerumputan di sekitarnya, dan dinaungi pohon-pohon tinggi, kami sampai di selembar tanah lapang datar kecil. Sudah ada dua tenda di sana, salah satunya ada di dalam pondokkan. Puncak Salak I.

Aku berjalan-jalan, menghampiri papan penanda Puncak Salak I. Di sana ada seseorang dari tim lain yang bertanya, "Abis dari sawah, kang?" Aku nyengir kuda dan bilang "Iya. Jadi kebo-nya!"

Tim yang membuka tenda di luar pondokkan ternyata adalah tim yang sempat bertemu dengan kami di bawah tadi (mereka yang tidak mengenakan alas kaki apapun). Kami membuka tenda di seberang tenda mereka, mulai berbenah, berganti baju, dan mulai masak. Hari masih terang ketika beras mulai kami masak. Tetapi kemudian baru layak untuk dimakan pada pukul 20:20 malam. Berubah menjadi bubur pula.

Ada berbagai macam teori yang dikemukakan oleh teman-teman. Aku sendiri menduga beras yang kubawa sudah kurang layak pakai (ada dua jenis beras yang kami bawa, yang dimasak malam itu adalah beras bawaanku - sisa perjalanan sebelumnya), sehingga sang beras menolak untuk menjadi matang walaupun telah dimasak selama berjam-jam. Teori yang lain adalah karena api yang kekecilan. Ada lagi teori yang mengatakan tentang perbandingan beras dan air yang kurang seimbang. Aku sendiri sampai saat ini masih berpegang pada teori yang kukemukakan.

Hujan sempat turun ketika nasi hampir matang (maksudnya bubur). Jadilah kami meneruskan masak di dalam tenda, melindungi diri dari kegelapan dan dingin di luar. Setelah makan dan begini dan begitu, satu per satu dari kami mulai menggulung diri di dalam kantong tidur seperti anak kanguru di dalem kantong induknya. Cukup hangat walaupun entah kenapa (ini masih menjadi misteri ilahi) kakiku masih tetap dingin.

Bergulung dalam kegelapan tenda, dengan sesekali tipuan angin di luar sana, sambil nyalain hp, mencoba keberuntungan. Ternyata sinyal memang muncul sekali-kali. Sempet dapet beberapa potong sms dan sempet kirim beberapa potong sms. Tapi sesudah itu sinyal hilang sama sekali. Dan sekitar pukul 22 malam, kami sudah melayang-layang dalam alam tidur masing-masing.

23:30
Alarm hp teman berbunyi. Aku sendiri tidak mendengarnya. Yang bangun di antara kami ber-empat pun cuma seorang. Dia keluar dan sempat menikmati detik-detik pergantian tahun (apalah itu?!). Baru sekitar pukul 00:25 aku terbangun, dan pergi melihat-lihat dengan temanku yang sempat bangun tadi. Ada Puncak II Salak di kejauhan. Hitam pekat. Ada permadani hitam bertabur lampu-lampu kota di luar jauh di bawah sana. Seorang perempuan (aih mak ;)~ perempuan) yang memberitahu untuk pergi ke arah jalan setapak di balik kubangan air untuk melihat pemandangan kota Bogor.

Benar juga. Ada kota Bogor, rumahku, di bawah sana. Lampunya gemerlapan, tampak berbaris-baris di beberapa tempat, menunjukkan jalan-jalan utama yang padat penghuni di sana. Indah sekali. Lebih jauh lagi, adalah Jakarta. Sebaris tipis lampu-lampu yang agak pudar tetapi tetap jelas. Masih hitam di kaki langit, juga berpendaran, juga indah. Manis sekali.

Sesudah itu, kami berdua yang sempat terbangun merayakan bergantinya angka 5 menjadi 6 (iya, sesederhana itu) dengan sekotak biskuit dan kepingan-kepingan kecil coklat. Di dalam tenda, karena di luar becek dan sedikit membuat kaki menjadi serasa membeku. Selanjutnya adalah melanjutkan tidur.

1 Januari 2006
Entah pukul berapa, mungkin pukul 5 pagi. Satu per satu kami bangun. Satu per satu keluar dari tenda. Satu orang ingin membuat teh manis hangat. Dua orang lain ingin melihat matahari terbit. Aku ikut melihat matahari terbit. Tetapi tidak ada apapun yang terbit. Mungkin matahari tidak ingin terbit di tahun yang baru ini.

Perlahan-lahan langit memang menjadi terang. Puncak II mulai kehilangan kepekatannya, Bogor di bawah sana mulai menampakkan dirinya, segalanya mulai menjadi berwarna meninggalkan hitamnya. Tetapi bola api itu tidak muncul. Dia meloncat, enggan melalui cakrawala dan cuma meloncat langsung menyumput ke balik awan dan kabut di kejauhan. Maka tampaklah Gunung Gede dan Pangrango di kejauhan. Cantik walaupun terhalang daun-daun pohon.

Di tempat ini aku dan seorang teman ngobrol-ngobrol tentang kemungkinan rute lain untuk turun. Muncullan satu pilihan yang cukup manis; jalur Cimelati. Setelah sedikit tanya-tanya, dan mengkonsultasikannya dengan segenap anggota dewan, juga mencari kemungkinan akan adanya tim lain yang akan turun lewat jalur yang sama, akhirnya diputuskan dengan suara bulat sebulat-bulatnya - bahwa kami akan turun lewat jalur Cimelati.

Teringat tentang pengalaman dan segala rupa rintangan yang muncul pada waktu naik lewat jalur Cidahu, serem juga kalau harus turun lewat jalur itu dengan badan yang sudah agak gempor. Yang terutama ditakutkan adalah kalau hari sudah keburu gelap sebelum kami sampai di bawah. Walaupun kami bawa senter dan batere cadangan, tapi faktor kurang tau medan bisa jadi bahaya atau rintangan.

Sambil minum teh manis kami membagi tugas untuk cuci panci dan masak. Tenda seberang dengan baik hati dan manisnya meminjamkan kompor lap-topnya untuk kami. Padahal sesungguhnya kompor kecil kami masih bisa dipake, pun kami masih ada kompor parafin. Tapi lumayanlah, karena kompor lap-top emang ternyata lebih stabil apinya.

Ketika makanan hampir matang, apa yang kuharap-harapkan sejak hari sebelumnya tiba-tiba muncul juga. Maka pergilah aku untuk sedikit survey lapangan. Hasil survey menunjukkan situasi dan kondisi juga posisi yang positif. Maka aku kembali lagi ke tenda, meminta beberapa lembar tissue, pergi ke jalan buntu sempit di antara semak belukar yang kutemukan pada waktu survey, dan mengeluarkan isi perutku. Nikmat sekali.

Habis mengeluarkan isi perut, selanjutnya adalah mengisi perut yang isinya sudah dikeluarkan. Makan. Selesai makan kami mulai beres-beres. Ada sesuatu yang bikin aku agak kesel di sana, tetapi tidak perlu dibahas di tempat ini.

Kami sempet sekali lagi membakar celana dan kaos kakiku di perapian. Sepatu pun dihangatkan di pinggir api. Uap air mengepul-ngepul seperti sebelumnya. Dan kabar buruknya adalah, kaos kakiku hangus terbakar karena kuletakkan terlalu dekat dengan bara api. Tapi untung saja masih ada cadangan, kering pula.

Air yang tersisa tinggal sedikit. Cuma ada satu botol sekitar 1 liter, dan seperempat botol 1,5 liter. Itupun air hasil menyaring air bak air hujan di depan pondokkan. Rasanya seperti seng.

10:30
Setelah selesai, dengan dibuka oleh doa bersama antara 3 tim yang berlainan yang menjadi sahabat di tempat terpencil ini, kami mulai menuruni jalan turun rute Cimelati yang terletak di belakang makam Mbah Gunung Salak (entah siapakah orang ini). Jalan cukup licin karena tanah basah yang miskin batu. Sedikit kubangan lumpur yang tidak terlalu dalam. Selebihnya adalah hutan rimbun yang sangat hijau dan lembab.

Jalur Cimelati hampir tidak memberikan bonus apapun jika dijadikan rute naik. Seingatku tidak ada jalan menanjak yang kulalui, paling banter sedikit jalan datar. Semuanya adalah turunan. Turun dan turun, dari yang terjal hingga yang landai. Sempat beberapa kali istirahat sepanjang perjalanan menuruni punggung gunung. Bertemu pipa air yang pecah di salah satu sisinya, maka jadilah kami mahluk-mahluk asing yang tidak pernah bertemu air. Girang hati ini karena bisa meminum air yang jernih lagi segar pun dingin. Botol-botol terisi kembali, satu panci mie instan dilahap bersama-sama oleh tiga tim, ditambah kopi hitam dan kopi susu masing-masing segelas. Sebotol susu kental manis dingin menjadi bekal bagi para peminum susu.

Dari jalur yang terdapat pipa air pecah terdapat percabangan ke kiri dan ke kanan, untuk turun ke Cimelati kita melewati jalur yang di kanan, karena jalur kiri adalah rute yang berbeda yang - menurut teman-teman dari tim lain - cukup menyeramkan karena satu dan lain hal. Sementara untuk naik, di pertigaan ini jangan mengikuti pipa air yang ke atas ataupun yang ke bawah, tetapi mengikuti undakan menanjak naik menerobos hutan di bagian kanan jalur (dilihat dari arah kedatangan).

Berjalan terus menyusuri hutan, bertemu pertigaan lagi dengan sedikit tanah lapang sebelumnya. Ada satu tim yang sedang nge-camp di tempat itu. Untuk turun gunakan jalur kiri, entah jalur kanan akan sampai ke mana. Setelah berjalan dan berjalan, akhirnya kita sampai di jalur yang cukup datar yang tampak seperti bekas (atau masih?) perkebunan. Menerobos alang-alang yang hampir rapat menutup jalur (walaupun jalurnya masih tetap ada). Jalur akan berubah menjadi puncak punggungan yang landai sehingga kita dapat melihat perkebunan yang membentang merendah di kiri-kanan jalur, dengan beberapa kincir angin yang bersuara seperti helikopter.

Tiba-tiba sampailah kita di sepotong jalan beraspal pecah-pecah, dengan sisi kiri dan kanannya masih saja perkebunan.

Dari tempat ini kami mulai menyusuri jalan menurun beraspal. Turun dan turun, terus turun dan turun dan turun, dan terus menurun. Jalan seperti tidak ada habisnya. Melewati batas desa ini dan desa itu, diperhatikan oleh anak-anak kecil di desa itu, melewati villa-villa mewah milik entah siapa, bertukar nomor hp dengan dua orang dari dua tim lainnya, beberapa orang sempat mencuci kaki dan berganti pakaian di sebuah sungai kecil, aku sendiri cuma melepas sepatu dan berganti sendal jepit. Luar biasa hadiah yang diberikan Gunung Salak pada kakiku; beberapa luka bacok dan melepuh di beberapa tempat. Manis sekali rasanya.

Hingga setelah lama sekali berjalan kami beristirahat bersama-sama di sebuah pertigaan. Dewi keberuntungan tiba-tiba mencipratkan ludahnya pada kami, karena ada mobil bak terbuka yang sudi untuk kami tumpangi. Dengan kegembiraan yang meluap-luap dan meledak-ledak seperti ledakan gunung Rakata, kami naik ke bagian belakangnya.

Satu tim turun duluan dan berpisah dengan kami. Ramai sekali acara perpisahan yang singkat sekali itu. Cuma teriak-teriakan nggak jelas dan lambaian tangan dari kejauhan. Perkenalan kami baru dimulai beberapa hari yang lalu, tetapi rasanya seperti berpisah dengan sahabat lama. Mungkin karena apa yang telah kami lalui bersama-sama, mulai dari pertemuan kami dengan segerombolan pendaki edan tanpa alas kaki, hingga turun bersama sejak pagi hari itu. Saling menghibur dan saling mencela, menikmati keindahan (ehm... dan keganasan) hutan Gunung Salak bersama-sama.

Di pertigaan jalan raya Sukabumi kami berpisah lagi dengan tim yang satu lagi. Mereka naik angkot ke arah terminal Bogor. Sementara timku pun terpecah dua. Dua orang naik bus menuju Tanjung Priok, sementara aku dan seorang teman ke arah Kali Deres. Cukup lama menunggu datangnya si bus keparat. Sempat diguyur hujan di pinggir sebuah warung kopi, menikmati beberapa potong gorengan. Tetapi akhirnya datang juga mahluk yang "sudah tidak" keparat itu.

Bergelantungan di pinggir pintu bus, terdesak oleh penumpang lain dan kenek, dengan kaki yang sempat beberapa kali terinjak-injak (naudzubilah min dzalik, rasanya!). Tetapi walaupun demikian kenek bus dengan riang gembira tetap saja memasukkan penumpang, lagi, dan lagi. Luar biasa sesaknya pinggir pintu bus malam itu. Bergelantungan dengan beban yang hanya bertumpu pada satu kaki, dengan didukung oleh tangan yang menggapai-gapai apapun yang bisa digapai, dengan celana dan baju yang masih belepotan bercak-bercak kecoklatan, mulut yang baunya - mungkin - seperti neraka avici.

Ketika bus sedang berjalan di ruas jalan tol sekitar gerbang TMII, sempat satu kali badanku tiba-tiba terasa lemas. Konsentrasi menghilang pelan-pelan, dan pandangan mulai kabur agak gelap seperti TV keilangan gelombang. Rasanya mau pingsan. Yang kucari-cari dalam keadaan setengah sadar adalah tempat duduk untuk meletakkan pantatku. Tetapi ke manapun aku mencoba, yang ada cuma batang kaki dan tempurung dengkul orang lain. Tapi untung kemudian, juga atas dasar pengertian seorang penumpang berdiri yang lain, kami bertukar posisi dan aku mendapatkan tempat untuk menyandarkan bahu ke pinggir pintu. Diterpa angin dingin dan beban yang terbagi, kesadaran kembali dengan cepat.

20:00
Sampai di depan halte depan Citra Land. Begitu turun kuhampiri bagasi bus, tetapi kenek masih sibuk membantu penumpang lain turun. Sementara bus sudah mulai berjalan lagi (sepertinya karena dikejar-kejar dan diusir preman setempat), tetapi tas aku dan temanku masih juga belum keluar. Badan bus kupukul-pukul sambil mencari dan memanggil kenek bus, tetapi seperti mamot yang dipukul oleh manusia, tentu saja bus-nya cuek aja. Baru kemudian setelah bus berjalan beberapa meter sang kenek muncul, membuka bagasi, dan tasku terlempar keluar begitu saja.

Temanku meneruskan perjalanan ke rumahnya, sementara aku beli air minum dulu. Sebotol langsung lenyap ke dalam perut. Naik jembatan penyeberangan dan minta dianter sama tukang ojek, tanpa ditawar: Goceng.

20:30
Sampailah di dalam kamarku. Penuh bercak-bercak lumpur, celana berganti warna, baju cemang-cemong, kerier belepotan. Badan capek sekali, betis nyut-nyut-an, tiga luka bacok menganga di kaki, baret-baret di tangan, ketek bau selokan, badan bau kambing, mulut bau neraka. Tapi gembira. Tapi senang. Karena udah berhasil pulang lagi ke sini, karena ngga ilang di tengah hutan sana, karena udah berhasil mampir ke Puncak Salak I.

***

Terimakasih untuk:
1. Mereka-mereka yang pernah menulis catatan perjalanan untuk perjalanan-perjalanan yang dilakukannya (khususnya ke Salak Puncak I via Cidahu). Seandainya tidak ada mereka, tentu aku tidak akan pernah sampai ke sana (atau mungkin tidak kembali lagi ke sini).
2. Teman-teman seperjalanan. Baik 3 orang di tim-ku, maupun 8 orang di tim yang lain.
3. Teman-teman lain yang bertemu di Puncak Salak I.
4. Gunung Salak itu sendiri.
5. Teman yang kutitipkan kabar di Jakarta.

Pesan untuk yang ingin mengunjungi Puncak Salak I, khususnya pada musim hujan dan lewat jalur Cidahu:
1. Siapkan peta dan catatan tentang persimpangan-persimpangan.
2. Siap untuk lumpur.
3. Siap untuk duri.
4. Siap untuk hujan.
5. Bawa celana, celana dalem, kaos kaki, dan baju lebih.

***

Gunung Salak, memang luar biasa.

No comments:

Post a Comment