28 August 2012

Puncak Salak I #2

04 Februari 2006 22:56:14

Pertengahan liburan ada dua orang temen yang pengen nyobain rasanya naik gunung. Karena Gunung Gede Pangrango lagi tutup sampe bulan April, akhirnya dipilih Gunung Salak lewat jalur Cimelati sebagai jalur terpendek. Ajak punya ajak ada dua orang teman lagi yang mau ikut, sementara satu dari dua yang pertama membatalkan diri. Jadi sampe malem terakhir ada 4 orang yang pasti ikut. Dimulai dari belanja di malem perjalanan, tanggal 31 Januari. Selanjutnya pada nginep di kos-kosan dan paginya belanja sayuran dan bumbu masak di pasar deket kos.

1 Februari 2006
Sekitar pukul setengah sebelas pagi
Empat orang manusia nyeberang jalan Letjen S. Parman buat nunggu bus di pinggir jalan, tapi langsung diusir sama petugas lalu-lintas bersepatu bot tinggi plus kacamata hitam dan tampang yang (sedapat mungkin) dibuat segahar-gaharnya. Kita nyeberang balik dan bergeser ke depan kantor walikota lama. Duduk di pinggir trotoar dengan 1 kerier, 1 kerier kecil, dan 2 ransel. Beberapa belas menit menunggu yang dilalui dengan cengar-cengir tiba-tiba tampak juga si jahanam bus Sukabumi - Kali Deres yang ditunggu-tunggu, dengan tulisan besar "KUMBANG" di kaca depannya. Empat manusia pecicilan langsung nyeberang jalan menghampiri jalur tol, memotong jalur arteri dan melabrak jalur busway, membuat lalu-lintas kendaraan sedikit terhalang karena aktivitas pejalan kaki sekaligus calon penumpang yang brengsek-brengsek dan kurang tau aturan.

Duduk di dalem bus, sempet tertidur sampe pintu tol Ciawi dan kembali mendapat tontonan hampir persis seperti tontonan pada perjalanan sebelumnya: Tidak lain dan tidak bukan juga tidak berubah, tukang buah beserta segala tukang-tukang lainnya yang terhormat.

Sekitar pukul setengah satu siang.
Turun di seberang pertigaan Cimalati, langsung didatangi akang-akang tukang ojek yang cukup ramah. Dengan sedikit (bener-bener sedikit) negoisasi serta klarifikasi juga memastikanisasi, disetujui harga ban-goh untuk menghantar tiap ekor manusia hingga start point pendakian.

Nangkring di atas jok motor bebek dengan kerier besar yang menjadi seperti buah simalakama. Karena si kerier lah maka aku tidak terjungkal ke belakang sewaktu motor nanjak, tetapi karena dia juga terkadang motor jadi oleng dan sulit balik ke keadaan seimbang akibat gerakan kerier yang memberat ke kanan-kiri seperti gerakan bandul. Dengan cepat motor yang kutumpangi disusul oleh motor-motor yang lain, sementara aku masih berduaan dengan sang tukang ojek berjuang melewati jalan mobil dengan rumput di tengahnya dan lembah membentang di bagian kanan. Mulai dari jalan itu tetes-tetes air hujan langsung turun satu demi satu dan berubah menjadi ratus demi ratus. Gerimis menyambut kedatangan kami di kaki Gunung Salak.

Sekitar pukul 13 siang.
Cuaca yang gerimis membuat kami nggak banyak cing-cong lagi. Setelah membayar ongkos ojek maut, kami langsung jalan ke arah hutan di mana terdapat percabangan jalan ke kiri dan ke kanan (lha iya masak ke atas dan ke bawah?!). Sedikit berbenah diri dan hati, iket rambut dan kepala, berdoa bagi yang mau berdoa, sedikit wejangan dan pesan, berlanjut dengan memilih jalan ke kiri (dari interogasi dengan tukang ojek yang membawa kami sewaktu pulang, baru diketahui bahwa jalur ke kanan adalah menuju ke air terjun), meletakkan tapak demi tapak menyusuri jalan-jalan tanah merah. Berlanjut dengan mengikuti jalan pematang perkebunan, tidak perlu belok ke manapun tinggal terus aja mengikuti jalan setapak. Sempat beristirahat sejenak di "teras" gubug yang terkunci di tengah perkebunan dan berfoto di sana.

Perkebunan perlahan-lahan berubah menjadi seperti bekas perkebunan. Kukatakan begitu karena tampak sama sekali tak terurus. Pohon-pohon pisang memang banyak, tetapi lebih banyak lagi pohon-pohon liar yang bertumbuhan di mana-mana, sedikit pohon ditebang, dan pohon-pohon tidak jelas lainnya. Dari "bekas perkebunan" kemudian memasuki hutan, terus menerus menyusuri jalan setapak tanah merah hingga bertemu dengan pipa air melintang berwarna putih. Di sini kami sempat mengisi air di pipa yang sedikit pecah, sedikit ngobrol dan makan satu kerat roti tawar rasa coklat ("tawar" kok punya "rasa"?), kemudian melanjutkan perjalanan lagi.

Sejak awal hujan turun setengah hati tetapi tidak putus-putus, ciprat sana dan ciprat sini, kadang kecil dan kadang besar, membuatku tidak bernafsu lagi untuk mencatat jam-jam embarkasi dan debarkasi kami di tempat-tempat spesifik maupun di tiap pos-pos selama pendakian.

Dari pipa air, kami melanjutkan perjalanan dengan (sesuai dengan yang pernah kualami dan kuketahui) tidak mengikuti pipa air ke manapun ia pergi, melainkan menembus hutan mengikuti jalan menanjak di bagian kanan pipa air jika dilihat dari arah kedatangan (naik).

Jalan setapak demi jalan setapak di tengah hutan demi hutan kami lalui, jauh lebih menanjak ketimbang jalur sebelumnya di tengah-tengah "bekas perkebunan" maupun perkebunan itu sendiri. Jalur didominasi oleh tanah humus dan akar-akar pohon dan sedikit batu-batu. Perjalanan menjadi lambat setiap kali malaikat di atas langit sana mengencingi kami di bumi ini dengan air hujan, membuat kami harus pilih-pilih tempat tiap kali ingin menjejakkan kaki. Berulang kali terpeleset atau kecele karena trap tanah atau batu yang ambrol sewaktu diinjak.

Sesudah beberapa jarak (entah berapa jarak) melalui pipa air, kami bertemu dengan tanjakan yang terputus karena adanya pohon besar yang tumbang. Tetapi tampak ada jalur alternatif yang belum lama dibuat (karena masih amburadul dan masih terdapat sisa-sisa bekas membabat pohon) di kiri jalur. Kami ikuti jalur itu, dan setelah beberapa saat muncul kembali di "jalan yang benar". Dari sana akan tampaklah pohon besar yang tumbang dan menutupi jalur.

Semakin kami naik, tanah humus dan akar-akar pohon berubah menjadi tanah coklat muda mengarah ke kuning dengan akar dan batu yang sangat miskin. Sungguh-sungguh licin jika dipadukan dengan air hujan. Bahkan sepatu larsku kadang ditipu mentah-mentah oleh trap-trap di sepanjang jalur yang sialnya seringkali tidaklah datar. Perjalanan semakin dan semakin lambat karena pertimbangan dan percobaan yang harus dilakukan setiap kali ingin menjejakkan kaki menaiki tanjakan.

Pos 4 dan pos 5 telah kami lalui, sementara jalur telah berubah kembali menjadi tanah dengan cukup banyak batu. Hanya satu saja yang tidak berubah sejak kami mulai memasuki hutan Gunung Salak ini, yaitu hujan yang plin-plan dan lumpur yang sangat mewarnai jalur.

Sesudah hari menjadi gelap.
Seorang teman mulai drop ketika satu per satu dari kami mulai mengeluarkan senter untuk membuat kami dapat tetap melihat dalam kegelapan hutan, dengan hujan yang masih plin-plan seperti sebelumnya. Tetapi ada yang sedikit menarik tentang hujan pada perjalanan kali ini, pada umumnya ia turun setiap kali kami berhenti untuk beristirahat. Kondisi fisik yang sudah mulai lelah, sedikit dingin diguyur hujan, dan seorang teman yang mulai drop membuat kami memutuskan untuk segera membuka tenda begitu mendapatkan tanah datar yang cukup dan cukup layak untuk sebuah tenda.

Beberapa lama berjalan di dalam gelap, tanah datar yang didamba-dambakan tidak juga ditemukan. Yang selalu ada hanyalah jalur sempit menanjak dan menanjak, berlumpur seandainya datar, dan seperti itu seterusnya. Sempat kulirik kiri-kanan jalur, seandainya ada suatu sudut di mana dengan sedikit membabat pohon-pohon kecil dapat dijadikan tempat mendirikan tenda. Tetapi tidak pernah kutemukan tempat itu.

Hingga di satu titik di tengah-tengah rimba yang gelap itu, terdapatlah sepotong jalur yang sedikit membuka menjadi tanah datar yang sangat-sangat sempit. Dengan akar menonjol di beberapa tempat, sedikit lumpur di pinggirnya, batang kayu di sini dan di sana. Kuputuskan untuk membagi tim menjadi dua. Dua orang menunggu sementara aku dan seorang lainnya melepas beban dan berjalan cepat ke arah atas untuk mencari kemungkinan adanya tanah datar. Hilangnya beban dari punggung membuat langkah menjadi sangat cepat, tetapi hal itu juga membuat udara menjadi terasa cukup dingin. Beberapa lama berjalan menembus gelap, ternyata yang ditemukan hanya lumpur dan lumpur lagi yang semakin dan semakin dalam. Kaki temanku sempat terperosok lumpur dan sedikit terjebak di dalamnya.

Karena hasil pencarian yang nihil, kami kembali lagi ke posisi semula dan membawa keputusan untuk dengan cara apapun mengusahakan terbukanya tempat berteduh dan tidur semalam di tempat itu.

Segera kubuka kerierku, mengeluarkan gulungan tenda, mulai sedikit membenahi alas, dan bersama-sama mendirikan tenda. Karena sempitnya medan, mau tidak mau suka atau tidak suka dengan sama sekali tidak adanya perasaan berat hati kami tutupi jalur pendakian dengan tenda.

Sesudah sang sarang impian berdiri, satu per satu dari kami melepaskan sepatu, melepas baju hingga tinggal celana dalam, masuk ke dalam tenda, dan berganti pakaian. Terakhir adalah aku sendiri, dilanjutkan dengan menyalakan lampu minyak, menutupi barang-barang berlumpur di luar sana dengan ponco, dan membuka makanan. Karena yang paling kami butuhkan saat itu adalah kehangatan dan istirahat tidur di dalamnya, disertai dengan keyakinan bahwa puncak tidak akan terlalu jauh lagi dari tempat itu, maka kami hanya makan biskuit dan coklat. Segala yang manis itu cukup untuk membuat perut terasa berisi dan menyambut tidur.

Ketika sedang makan biskuit di dalam tenda, sempat terdengar suara semacam gonggongan dari arah depan pintu tenda kami, agak jauh dari dalam gelap dari balik hutan di dalam sana. Hanya satu kali tidak lebih dari itu, tetapi berempat kami semua mendengarnya, tetapi tidak terlalu perduli lagi dengan hal itu dan meneruskan makan (walaupun sesungguhnya aku masih sedikit khawatir juga). Sesudah makan aku sempat kencing, dan dengan harapan yang sejatinya memang hanya harapan, bahwa binatang-binatang hutan pun masih sama seperti binatang sirkus yang tidak suka pada bau amoniak, kukeluarkan air kencingku ke arah gelap hutan di depan tenda, ke kanan dan ke kiri mirip seperti semprotan air pemadan kebakaran. Temanku yang juga kencing sesudahnya juga kuminta melakukannya ke arah yang lain.

Selanjutnya kami berempat pergi tidur, sementara belati kuletakkan di dada di dalam genggaman tanganku di dalam kantong tidur. Malam itu kurang tenang rasanya. Selain karena keberadaan kami yang kurang jelas (walaupun pasti masih berada di jalur ajaran yang benar pun tidak sesat), juga karena akar-akar pohon yang menonjol di pantat hingga pinggangku, di punggung temanku, di selangkangan teman yang lainnya, di kaki dan kepala yang lainnya lagi.

2 Februari 2006
Ketika matahari sudah menyinari tenda.
Mataku terbuka, menatap sinar matahari yang menerpa tenda, dengan bayang-bayang dedaunan bergerak-gerak pelan. Hati cukup tenang karena ternyata malam telah berlalu tanpa gangguan atau kesialan apapun, juga bahkan hujan pun tidak turun sama sekali. Seorang teman sudah terbangun juga. Tidak lama segera kubangun, menggulung kantong tidur, dan keluar dari tenda. Hari yang cukup cerah. Tanpa kabut dan matahari bersinar berusaha menembus awan tipis di sebelah timur, berselang-seling dengan pohon-pohon tinggi.

Aku mulai membenahi barang-barang berlumpur di luar tenda, menjemur sepatu dan celana kotorku, membangunkan dua teman yang lain, sementara seorang teman lainnya mulai membenahi barang-barang di dalam tenda.

Setelah melakukan pertimbangan, diskusi, jajak pendapat, dan referendum dengan tiga orang teman lainnya, dihasilkan keputusan bahwa tidak akan makan berat terlebih dahulu sebelum mencapai puncak. Masih dengan pertimbangan bahwa perut belum benar-benar kelaparan dan keyakinan bahwa puncak sudah dekat yang masih melekat erat pada tiap potong kepala, jiwa, dan hati sanubari kami. Beberapa petunjuk yang membuat kami yakin adalah sejak semalam berulang kali terdengar desir-desir angin keras yang sejauh pengetahuanku hanya mulai terdengar ketika kita sudah mendekati atau setidaknya berada di punggungan menuju puncak. Selain itu adalah langit yang mulai terlihat berada di atas sana, meskipun sejak kemarin - ketika matahari masih cukup bersinar - tempatnya selalu berpindah-pindah dan ada saja tanjakan yang mesti kami lewati.

Entah pukul berapa, sudah lupa.
Kami mulai berjalan lagi. Kembali menggumuli jalur-jalur menanjak tinggi, dengan lumpur yang mulai mengendap, dan kondisi hutan yang tampak jauh-jauh lebih "kering" daripada hari sebelumnya.

Pos 6 kami lalui, terus berjalan, dan menemukan sepotong tanda arah petunjuk yang berkata "puncak" dipaku ke sebatang pohon. Cakrawala perlahan-lahan semakin merendah dan meyakinkan, hingga tiba-tiba pada satu belokan terlihat sepotong bangunan kayu di bagian kiri atas jalur. Dan selepas sepotong tanjakan kudapati selembar makam dari keramik putih, yang tengah sepi sendirian di atas segala hutan-hutan di bawahnya. Kami bertiga berdiam diri sebentar di hadapan makam, berdoa, berucap-ucap, atau mengucap permisi bagi yang ingin melakukannya.

Dari situ kunaiki satu tanjakan terakhir, dan kuucapkan selamat datang di Puncak I Gunung Salak kepada ketiga temanku, dua ribu dua ratus sebelas meter dari permukaan laut. Tidak ada tim lain di tempat ini, pun tidak ada seseorang siapapun lainnya di sana. Hanya tim kami satu-satunya yang ada.

Siang itu.
Pertama kami mencari pertimbangan di manakah akan kami dirikan tenda tempat beristirahat satu malam lagi. Pertama-tama kuberikan berbagai alternatif, yang kemudian membuahkan hasil sepetak tempat kecil di bagian kanan puncak di antara semak-semak di balik kubangan air sana. Tempatnya cukup nyaman, tidak becek, dan dapat dengan mudah menjangkau posisi "best view". Kami mulai mendirikan tenda sementara seorang teman yang lain mulai memasak. Tetapi kemudian kami menggotong tenda ke dekat gubug kayu karena ternyata di tempat sebelumnya terdapat banyak (banyak sekali) semut-semut hitam yang dikhawatirkan bersikap nakal dan badung serta jahil juga amoral plus kurang tau diri.

Tenda telah berdiri, tali rafia dan kayu-kayu gubug dijadikan tempat menjemur pakaian kaos kaki dan segala yang lainnya, barang-barang sudah dikeluarkan dari kerier dan dibenahi di dalam tenda sesuai dengan zoning-nya masing-masing, makanan pun sudah matang, maka sesudah berganti pakaian kami segera mengisi perut yang mulai kelaparan. Hanya mie instant sebagai pembuka, tetapi rasanya seperti surga yang nyungsep ke bumi dan mentok di puncak gunung ini.

Sejak kedatangan kami di puncak, ada mahluk yang terus menerus mengiringi kami. Berwarna hitam tetapi tidak menyeramkan, cepat dan gesit tetapi tidak besar (cuma sebesar kepalan tangan), adalah entah apa namanya tetapi kami menduganya berasal dari marga tikus dan berspesies gunung, sehingga nama ilmiah berbahasa Latinnya adalah Tikus gunung. Makanan yang paling disukainya - sejauh yang kami tau - adalah remah-remah mie instant mentah dan sisa-sisa kornet dari kalengnya.

Selanjutnya kami bersantai-santai mengobrol ngalor-ngidul. Sedikit tidur-tiduran, berjalan-jalan, aku sempat membuang isi perutku, begitu juga dengan seorang temanku. Kucuci celanaku yang belepotan lumpur dengan air kubangan yang sesungguhnya warnanya pun coklat seperti lumpur. Tetapi menjadi tampak sangat-sangat bersih sesudah kucuci.

Beberapa jam kemudian adalah waktunya untuk makan lagi. Kali ini lebih nikmat menunya. Adalah tumis kacang panjang dengan bawang putih dan cabe merah serta lada tumbukan sendiri serta margarin gurih, juga telor acak dengan bumbu yang sama, yang dijadikan teman untuk nasi hangat sebagai mangsa kami. Acara selanjutnya masih bertema yang tidak berbeda, yaitu bengong dan ngobrol, tidur-tiduran, sempat kubaca beberapa potong berita dari koran-koran bekas yang kami bawa. Dari mulai tentang komunitas adat di Bulukumba Sulawesi Selatan, tentang pendidikan, hingga Israel yang melarang kampanye di Yerusalem. Sesudahnya aku pun sempat membiarkan diri tertidur sejenak.

Sekitar pukul enam sore.
Kami satu per satu mulai liar kembali, memasak mie instant goreng sebagai makanan ringan, yang dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol yang semakin ngalor-ngidul dan tidak menentu arah, kembali tidur-tiduran dan demikian seterusnya. Ketika hari mulai gelap lampu minyak mulai kami nyalakan, membuat suasana menjadi mesra dan romantis juga tenang dan indah serta syahdu (alah apaan sih), yang mana sangat disayangkan tidak ada satupun di antara kami yang perempuan. Karena kehadiran seorang (atau berapa orang perempuan pun) di tempat dan suasana seperti itu tentu saja akan membuat suasana menjadi hangat (tidak bermaksud untuk berpikiran ngeres atau cabul dan sebagainya dan semacamnya).

Sekitar pukul sembilan malam.
Kami keluar tenda dan mulai membakar ranting-ranting kayu yang ternyata masih basah di dalamnya, sehingga bakar-bakaran menjadi ditunjang oleh siraman tutup demi tutup botol minyak tanah ke dalam api. Sebelum memulai masak (lagi!) kami pergi ke dalam gelap untuk melihat "best view" seperti apa yang sebelumnya pernah kujanjikan pada teman-temanku. Berjalan ke arah semak-semak, menembus sedikit jalan sempit dan menghampiri tepian lereng puncak gunung yang menghadap ke arah Bogor. Seperti pada perjalanan sebelumnya, kembali menatap titik-titik lampu kota Bogor dan Jakarta di kejauhan dan lain-lain di sekitarnya - yang semuanya bagai permadani hitam berbintik-bintik kuning, merah, dan putih terang.

Tampak kembali lingkaran hitam Kebun Raya Bogor, jalan Sudirman di dekatnya, lampu sorot langit Bogor Trade Center, jajaran jalan Tajur, daerah Puncak, Cipanas di kanan sana, Jakarta di kiri di kejauhan membentuk cakrawala hitam bertitik-titik merah dan putih, dan segala yang lainnya. Indah sekali.

Sesudah cukup kedinginan menyaksikan keindahan, kami berempat kembali lagi ke tenda. Tiga temanku mulai memasak makanan sementara aku sendiri lebih memilih tidur. Bergulung di dalam kantong tidurku, membungkus kedua kakiku dengan dua kaos kering yang tersisa, membiarkan hangat meraja, dan melayang-layan dalam alam tidur.

3 Februari 2006
Entah pukul berapa, matahari sudah bersinar kembali.
Seorang temanku sudah terbangun, beberapa saat kemudian aku pun ikut bangun. Menggulung kantong tidur dan keluar tenda, mengeluarkan air kencing dan memeriksa jemuran-jemuran. Hari masih dingin walaupun tidak terlalu dingin. Embun membasahi tenda dan alas duduk di luar tenda. Aku mengeluarkan kompor dan gas, mulai memasak mie instant untukku sendiri, makan di pagi hari yang sejuk sambil menatap Puncak II yang kadang tertutup kabut di kejauhan di seberang sana. Seorang teman yang sudah terbangun kemudian melanjutkan memasak untuknya sendiri. Mungkin karena bau makanan yang semerbak di pagi dingin itu, dua orang lainnya ikut bangun dan kami mulai memasak makanan yang lebih "serius".

Sementara teman-temanku memasak, aku pergi berkeliling puncak membawa kamera digital pinjaman temanku untuk foto-foto pemandangan di sekitar puncak. Pohon-pohon, Puncak II, kota Bogor, matahari di balik pohon, Gunung Halimun samar di kejauhan, dan lain-lain.

Kornet goreng dengan bawang putih dan cabe potong, telor buncis dengan bumbu yang sama plus lada, dan nasi hangat memasuki perut kami. Dilanjutkan dengan membereskan barang-barang dan membakar sampah-sampah bawaan kami dan sedikit sampah-sampah yang "secara tidak sengaja dan tanpa niat sedikit pun tertinggal" oleh pendaki-pendaki lain yang datang sebelum kami.

Sesudah selesai packing, dan berpakaian seperti sebagaimana mestinya, berdoa dengan caranya masing-masing, memberi salam perpisahan dan "sampai jumpa lagi" di makam Mbah Gunung Salak, kami mulai turun menyusuri kembali jalan-jalan yang pernah kami lalui. Turunan demi turunan, akar-akar pohon, bebatuan, dan segalanya perlahan-lahan kami lalui. Sebatang batang pohon yang kutemui di jalur kugunakan sebagai tongkat untuk membantuku nge-rem dan mengalihkan beban ketika turun.

Pos 6 kami lalui, kemudian pos 5, berlanjut ke tempat di mana sempat kami dirikan tenda pada malam pertama kemarin. Berhenti sejenak dan memperhatikan keadaan sekeliling. Semakin tampaklah, bahwa sesungguhnya bisa dikatakan merupakan hal yang hampir mustahil untuk mendirikan tenda di tempat semacam itu.

Beberapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara tetes-tetes air yang menghujam daun-daun di atas sana. Gerimis mulai turun, yang mana perlahan-lahan berubah menjadi hujan yang sesungguhnya. Tetapi kali ini, berbeda dengan yang sebelumnya, hujan turun dengan sangat sungguh-sungguh, deras sekali. Seperti melepaskan kepergian kami ketika menyusuri hutan-hutan yang indah. Sesekali terdengar suara guntur yang tidak menyeramkan.

Jalur yang sebelumnya telah sempat menjadi sedikit kering berubah kembali menjadi kubangan-kubangan lumpur, licin dan sangat licin, berkali-kali terpeleset, aku sendiri sempat dua atau tiga kali terjungkal dengan tertimpa kerierku sendiri.

Perjalanan tidak menjadi sarang emosi dan penyesalan atau kesedihan ketika hujan membuat seluruh jalur menjadi saluran air. Bahkan bagiku sendiri hujan deras selama perjalanan turun ini membuatnya menjadi menyenangkan. Bermandi hujan dalam sebuah perjalanan di tengah hutan sungguh jauh lebih nikmat daripada mandi air "hujan" bohongan dari shower di kamar mandi. Beberapa potong lagu yang terpotong-potong sempat dilantunkan, saling cela dan hina, saling sindir, ketawa-ketiwi menghiasi perjalanan, menjadi selingan untuk tapak demi tapak yang kulalui dalam kebisuan.

Air berwarna coklat bercampur tanah mengalir deras menuruni gunung. Dalam satu dialog dengan seorang temanku terungkaplah, dengan hutan yang selebat ini saja air begitu derasnya meluncur, apalagi ketika hutan telah dibabati secara illegal ataupun legal (!!) dengan segala rupa alasan ekonomis manusia-manusia picik?? Air yang begitu deras meluncur dengan tanah yang dibawanya juga memperlihatkan, longsor bukanlah sesuatu hal yang aneh jika air dan tanah yang meluncur sederas itu tidak ditahan atau ditampung lagi oleh akar-akar pohon. Ini baru dalam beberapa jam dan dalam satu buah jalur pendakian saja, tak terbayangkan air yang memandikan seonggok gunung dalam satu kali kejadian hujan, dalam satu bulan, atau bertahun-tahun.

Kembali kami lalui jalur alternatif untuk jalur yang terputus karena pohon tumbang. Sebelum mencapai lokasi tumbangnya pohon besar tersebut, kami berbelok ke kanan (belokan yang tampak lebih menyerupai jalur babi hutan ketika itu), kukeluarkan belatiku untuk sedikit memotong ranting yang masih menghalangi jalan, hingga muncul kembali di jalur yang semestinya. Di sepanjang jalur Cimelati ini ada dua tanda yang dapat dijadikan panduan jalur, yaitu ikatan tali rafia di pohon dan sebuah tanda berupa tiga buah luka yang dibuat pada batang pohon. Kubuat juga tanda serupa di kulit pohon agak besar yang berdiri di dekat pintu masuk menuju jalur alternatif itu.

Perlahan-lahan hujan berhenti ketika kami mendekati pipa air. Kami beristirahat sebentar di tempat itu, memakan mie instant mentah sebagai hiburan bagi lidah. Ketika beristirahat di tempat ini mulai terasa tanda-tanda adanya protes dari ujung-ujung jari kakiku yang meminta segera dilepaskan dari si jahanam sepatu lars yang ampuh dan efisien namun sedikit membawa derita. Mungkin ketika itu mereka tengah bernyanyi lagu dangdut "lebih baik sakit hati, daripada sakit kaki ini... ." Tetapi tanah yang licin dan basah membuatku memaksanya untuk sedikit lebih lama lagi bercumbuan dengan sang sepatu, hingga ujung jalur pendakian deh.

Hutan berubah menjadi "bekas perkebunan" dan kemudian menjadi perkebunan. Lalu menjadi sepotong hutan kecil, dan akhirnya tiba kembali di pertigaan semula. Di sana kami berganti pakaian dari yang paling luar hingga yang paling dalam. Satu per satu bergantian ganti pakaian di tengah alam terbuka hanya dengan bantuan sepotong kain penutup aurat daerah selangkangan, berharap tidak ada seorang pun yang melihat kami, dari dekat ataupun dari jauh. Sepatu pun kuganti dengan sendal jepit, dan sejak itu jari-jari kakiku bernyanyi paduan suara puji-pujian dengan sangat-sangat merdu sekali.

Sore.
Berempat kami turuni jalan, berbelok kanan begitu bertemu jalan peradaban modern manusia, melalui jalan di mana terdapat vila di sisinya, bertemu dengan beberapa orang serdadu. Yang pertama hanya saling tegur sapa dengan kami, yang kedua benar-benar menegur kami, dia bilang sebenernya tidak boleh lewat jalan ini. Tapi kami malah bersikap manis, dengan senyum di bibir, tawaran halus, dan sedikit logat Sunda yang bisa kumainkan - lewatlah kami. Sedikit berjalan, malah ada seseorang yang menawarkan ojek hingga pertigaan Cimelati; sepuluh rebu dollar Gunung Salak per ekor manusia plus segala barang yang digondolnya. Luar binasa.

Empat biji motor membawa kami meluncur dari sebuah pos militer, melalui jalan sambil ngebut. Jalan turun yang curam dihajar tanpa rem, bercak tanah merah di ujung jalan sempat membuatku khawatir, tapi rupanya sang pengemudi sudah menjiwai jalan ini seperti rumahnya sendiri. Dengan gaya kalem, kemeja biru cerah, rambut klimis, dan sedikit bau wangi parfum, ia labrak semua jalan-jalan. Malah sempet ngobrol denganku yang sedang berpegangan erat ke badan motor dan sedikit deg-deg-an.

Obral punya obrol, dari sana kuketahui bahwa jalur ke kanan di awal pendakian adalah jalur menuju air terjun. Juga kuketahui bahwa (katanya) ada air terjun lain di sebelah kiri sana (tapi entah lewat mana). Hal lainnya adalah kuketahui juga bahwa menurut cerita punya cerita dari orang-orang tua di sana, adalah bahwa makam di puncak Gunung Salak I bukanlah sungguh-sungguh berarti "makam". Itu hanyalah semacam tempat semadi atau singgah seorang haji atau wali atau wali lokal atau orang bijak atau apalah namanya di masa lalu yang kemudian dijadikan tempat ziarah untuk mengenang atau menghormatinya. Lalu kuketahui juga bahwa yang kukira pos militer di atas tadi bukanlah "pos militer", melainkan "pos satpam" untuk menjaga vila-vila di sana. Kemudian hal terakhir yang penting adalah bahwa yang empunya dari vila-vila di tempat itu adalah orang Jakarta atau yang penting adalah "orang-orang kota" sana, dan dia setuju-setuju aja waktu kukatakan "alah bikin pila jauh-jauh, ngarusak utan waƩ!"

Sementara obrolan temanku yang lain dengan pengendara ojek yang membawanya (yang mana adalah yang menegur kami pada kesempatan sebelumnya) menghasilkan "temuan penting" juga, bahwa sesungguhnya dia menegur kami atas dasar larangan dari sang bos empunya vila, dan bahwa sesungguhnya dia secara pribadi tidak keberatan apa-apa kalau kami mau lewat di sana, juga sesungguhnya dia pun merasa tidak enak karena mesti menegur kami.

Ketika sore berganti menjadi gelap.
Di pertigaan Cimelati, nangkring di pinggir jalan membiarkan kendaraan-kendaraan berlalu lalang di depan kami. Berpesan kepada seorang "petugas tidak resmi" di pertigaan untuk memberhentikan bus jurusan Sukabumi-Kali Deres yang lewat. Tetapi karena mungkin tidak ada lagi yang akan lewat, atau terlalu penuh seandainya tetap lewat, maka bus UKI-Sukabumi juga boleh-boleh saja.

Bus yang dimaksud muncul, berhenti di depan warung di pojok jalan. Memasukkan barang-barang ke dalam bagasi, mengucap terimakasih kepada si akang juru stop bus, dan duduk di kursi paling belakang.

Sesudah malam turun menyelimuti bumi.
Sampai di UKI, berganti bus P6, dan turun di depan Citra Land. Menyeberangi jembatan penyeberangan, menyusuri jalan gelap, menuju kosku. Tuntas sudah sebuah perjalanan tiga hari dua malam. Untuk belajar tentang alam dan belajar tentang diri sendiri.

***

Terimakasih untuk:
1. Jawaban-jawaban untuk pertanyaanku tentang jalur Cimelati di berbagai milis.
2. Tiga teman seperjalanan.
3. Gunung Salak itu sendiri.
4. Segala pihak yang telah mendukung dan menjadi pembangkit semangatku selama dalam perjalanan, termasuk dia.

No comments:

Post a Comment