28 August 2012

Bau Anyir Darah

18 Juni 2006 4:47:44

Jejak-jejak darah yang ditinggalkannya belum lagi hilang. Bau anyirnya pun masih mengambang di udara. Mayat-mayat yang mati penasaran masih berserakan di dalam kuburnya masing-masing, di pojok-pojok kampung, dan di tempat-tempat yang tidak diketahui lagi oleh manusia manapun. Arwahnya berkeliaran di pinggir jalan desa dan kota, di tengah perkebunan dan sawah, di pojokan rumah kumuh, di balik jeruji penjara, di tepi pelabuhan, di tanah negeri ini.

Pembantaian demi pembantaian sejak empat puluh satu tahun yang lalu, yang masih berlumuran darah dan belum terurai menjadi tanah. Lenyapnya jutaan manusia, pemelaratan abadi, penganiayaan demi penganiayaan, penyiksaan, dan perbudakan; atas jasa Yang Terhormat Jenderal Soeharto.

Aceh, Timor, dan Papua, Pulau Buru, Maluku, Tanjung Priok, Bali, dan segala tempat di Nusantara. Di Jakarta dan di setiap kampung-kampung dari kepulauan ini. Darah berceceran, darah membalut tanah, bola-bola mata yang penasaran tersembul dari kepala yang telah menemui ajal.

Ajal yang terjadi karena pembantaian dalam nama kekuasaan dan pembangunan, dalam nama profit dan persatuan dan kesatuan, dalam nama stabilitas nasional. Dalam nama keabadian cengkeraman kuku kekuasaan Haji Muhammad Soeharto!

Dan kini orang berebut bacot tentang maaf untuknya. Orang meminta pertimbangan akan jasa-jasa yang telah dilakukannya. Agar kesalahannya dilupakan, dan ia dibiarkan mati dengan tenang. Anjing-anjing itu memintakan maaf baginya, ketika kita semua masih menginjak genangan darah dan menghirup bau anyir bangkai-bangkai manusia yang pernah dibantainya!

Oo! Biarlah seluruh api neraka tertuang ke dalam surga!!

Tentara memang bertugas untuk menembak dan menghabisi nyawa musuhnya, dan pemimpin memang harus berkepala dingin. Tetapi Jenderal atau pemimpin sekalipun kukira adalah manusia, manusia yang mempunyai kemanusiaan, logika, nalar, nurani, dan hati.

Ternyata justru mereka, Jenderal-jenderal kita yang terhormat, dan pemimpin negeri ini, memiliki hati yang membatu, otak yang membatu, logika dan nalar seekor keledai, nurani yang membusuk, dan kemanusiaan yang telah mati tertindih kuasa dan harta.

Dengan tenang dan dingin, dengan penuh wibawa dan kebapakan, dengan anggunnya mereka meminta, untuk memberi maaf kepada seorang manusia yang demi kekuasaannya telah membasahi setiap jengkal tanah bangsa ini dengan darah!

Apa yang ada di dalam kepala keledai-keledai itu?!

Mungkin karena itulah, langit malam di kota ini selalu memerah. Karena darah masih menguap bersama bau anyir mayat, dan arwah-arwah penasaran masih menunggu keadilan dan kebenaran.

Tetapi Jenderal dan pemimpinku, tenanglah karena aku tau kau takkan mampu dan tak bernyali untuk mengadilinya, karena hal itu akan sama saja dengan mengadili bapakmu sendiri. Tenanglah, karena aku tak akan mengemisi pengadilan baginya kepadamu, aku tak akan menuntut kau menghentikan bacotmu. Biarlah kekuasaanmu memaafkannya, biarlah kau menunaikan baktimu yang terakhir sebelum ia mampus dengan tenang.

Tetapi Jenderal dan pemimpinku, adalah tangan anak-anak bangsa ini sendiri yang akan mengadilinya, merenggutnya dari damai kematian, dan mendudukannya kembali di atas kursi pesakitan abadi.

Dan ingatlah Jenderal, bahwa sejarah tidak pernah mengenal maaf. Maka tunggulah, ketika waktu akan mengadili bapakmu dan kau sendiri, mempertemukan kalian dengan arwah penasaran dari orang-orang yang pernah kalian bantai.

Demi sebuah perhitungan!

No comments:

Post a Comment