28 August 2012

Puncak Gede #7

18 April 2006 18:50:33

15 April 2006 Subuh
Menghampiri warung tempatku biasa numpang tidur, meletakkan barang di bale di luar, kemudian melihat bulan yang tampak sangat cantik dengan halo yang mengelilinginya. Pukul dua lewat sepuluh pagi baru sampe di Cibodas, setelah malam sebelumnya pergi ke Bogor dan di sana selama satu atau dua jam terdampar di sepotong mobil angkutan L-300 jurusan Cianjur yang tidak kunjung jalan karena supirnya masih ngotot menunggu sampai mati agar angkutannya penuh penumpang (yang mana sesungguhnya mereka asik nonton pertandingan bola di tv di sebuah warung).

Akhirnya karena hari semakin malam dan sang supir masih saja berkeras pada pendiriannya, maka aku dan beberapa penumpang lain memilih untuk naik angkot jurusan Ciawi, kemudian naik bus jurusan Bandung, turun di pertigaan Cibodas, dan dari sana disambung angkot lagi.

Pemilik warung sudah tertidur, yang ada justru tiga orang entah siapa yang sedang mengobrol dan merokok di dalam. Sebentar menikmati api hangat di sepojok toko bersama penjaganya sampai sekitar pukul 3, melihat sebuah tas yang tampak sangat bagus, tetapi dengan harga yang sangat-sangat jauh dari bagus.

Setelah itu aku masuk ke dalam warung. Sambil bersiap untuk tidur aku sedikit mengobrol dengan orang-orang yang sejak tadi ada di dalam. Dan kemudian aku tidur, walaupun sulit.

Pagi
Sekitar pukul enam pagi alarm membangunkanku. Langsung melipat jaket dan memesan makanan untuk pagi itu. Nasi, telur, sayur kacang, dan tahu goreng, serta teh manis hangat. Sebungkus lagi dengan menu yang persis sama untuk makan siangku nanti. Selesai makan dan mengepak lagi segalanya, kukenakan sepatuku, dan memberinya ikatan kencang.

Jam tangan menunjukkan pukul enam dua puluh pagi ketika aku mulai berjalan, enam empat puluh sampai di pos, dan tujuh dua puluh lima sampai di pos Panyancangan. Cukup ramai keadaannya di sana, dua orang turis dengan seorang pemandunya, satu keluarga yang sedang beristirahat di tengah perjalanan menuju air terjun, dan sekelompok orang yang sepertinya sedang dalam masa pelatihan.

Aku berbelok menuju jalur pendakian, berjalan sendirian menapaki bebatuan, di antara pohon-pohon dan daun, dipayungi langit yang biru cerah. Kadang sinar matahari menerobos masuk ke celah-celah dedaunan, membelai bumi dengan berkas cahayanya. Langkah demi langkah sepasang kaki menembus hutan demi sebuah pelarian.

Seonggok bangunan kecil kulewati, di sana seseorang memintaku untuk memotret dia menggunakan kamera telepon genggamnya. Sesudah itu kulanjutkan langkah-langkah menyusuri lorong-lorong di antara semak dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Undakan dan jalan datar, tanjakan, bebatuan, terkadang lumpur menggenang yang tidak terlalu dalam. Begitu seterusnya, melewati Air Panas, Kandang Batu, air terjun kecil di seberang kanan jalur, dua buah jembatan kecil, kemudian tibalah aku di Kandang Badak. Entah pukul berapa karena aku lupa mencatatnya.

Kuletakkan pantatku di seruas akar yang menonjol di tanah. Duduk sendirian, ditemani sebotol air putih, sebatang coklat, dan sebatang racun. Kusapukan pandanganku ke sekeliling. Kandang Badak sangat ramai hari itu, ada puluhan orang di sana, dalam mungkin belasan tim. Ada yang baru datang dan ada yang akan pergi. Tetapi bukan itu yang menjadi perhatianku.

Perasaanku menjadi tidak enak. Muak dan jijik dengan sedikit rasa marah. Ada berkarung-karung sampah yang tergeletak di tengah lapangan yang semakin hari menjadi semakin lapang. Bahkan ke arah shelter sedikit ke bagian bawah di mana biasanya masih terutup semak dan pohon, hari itu tampak berdiri sepotong tenda. Sampah-sampah tergeletak di manapun mata memandang, dari bungkus mie instant, kopi instant, kaleng gas bekas, bungkus permen, bungkus ini, bungkus itu, segalanya tumpah ruah di tengah hutan di mana seharusnya manusia cuma menumpang hidup dan tidak lebih dari itu.

Sempat terdengar oleh telingaku seseorang menegur seseorang karena mengenakan jaket merah. Tidak boleh pakai baju merah di Kandang Badak, katanya. Kupikir, apalah gunanya mengikuti peraturan aneh bin ajaib semacam itu, jika kita meninggalkan sedemikian banyak sampah di dalam sana.

Padahal belum satu bulan yang lalu diadakan Operasi Bersih di tempat ini, membersihkan sampah-sampah yang ditinggalkan orang-orang egois yang hanya ingin menikmati tanpa perduli pada hal yang lainnya. Kupikir, adalah sangat pantas jika orang-orang yang bulan lalu melakukan Operasi Bersih (bukan aku) merasa sakit hati atau bahkan marah menyaksikan hal ini.

Rasa muak dan jijik yang ada akan cukup terobati ketika hari itu kulihat ada beberapa orang atau tim yang menjaga kebersihan sekitar tendanya, juga beberapa orang yang membawa sampah mereka turun.

Siang
Pukul sembilan lima puluh lima kulanjutkan perjalanan menuju puncak. Setelah berbelok kiri di pertigaan pertama (kiri Puncak Gede, kanan Pangrango), kutemukan pertigaan yang lain. Lurus Puncak Gede dan kiri Kawah Ratu. Jalur menuju Kawah Ratu tampak telah tertutup pohon tumbang dan tidak terlihat jelas ketika kuperhatikan. Sesudah dua buah pertigaan pertama, muncul lagi pertigaan yang lain.

Kedua-duanya kanan dan kiri sama-sama menuju ke Puncak Gede, tetapi dengan variasi jalur yang berbeda. Berdasarkan penilaianku, jalur kanan cenderung lebih landai, tetapi lebih panjang dan sempat melewati tebing cukup terjal beberapa jarak sebelum mencapai puncak bayangan. Sementara sebaliknya jalur kiri cenderung lebih menanjak dengan undakan-undakan yang lebih tinggi, tetapi lebih singkat dan tidak melewati tebing terjal.

Kupilih jalur kanan untuk naik. Melewati tebing, kemudian langit mulai terlihat memutih di balik pepohonan di kejauhan, pemandangan pepohonan berubah dan tampaklah lingkaran besar kawah besar di hadapanku, selepas itu tibalah aku di puncak bayangan. Seperti di Kandang Badak, di sana pun ramai sekali.

Tidak beristirahat, aku langsung menyusuri gigir kawah bergaul dengan bebatuan menuju puncak. Kabut-kabut putih tampak berkali-kali datang melewati sepanjang gigir kawah. Sebagian besar langit biru pun tertutup oleh awan putih. Mulai tampak lembah Suryakencana di bawah sana, dengan kota Sukabumi di balik Gunung Gumuruh jauh di baliknya.

Di tengah perjalanan dua orang anak yang kira-kira masih SD menawarkan nasi uduk padaku. Empat ribu rupiah satu bungkus. Sebenarnya sudah ada sebungkus nasi yang kubawa dari bawah, tetapi karena ketakjubanku pada mereka yang ada di puncak gunung ini untuk berjualan, kubeli juga satu bungkus.

Sambil membayar, kuajak anak-anak itu mengobrol, rupanya mereka berangkat melalui jalur Gunung Putri memang untuk berjualan di sini. Mereka akan menginap bertenda di lembah Suryakencana jika hujan datang atau dagangannya tidak habis. Anak-anak kecil itu memang tidak sendirian, mereka ditemani oleh orang tua mereka atau setidaknya oleh orang yang lebih dewasa. Tetapi usaha untuk mencari penghidupan hingga ke puncak gunung seperti ini, bersama anak-anak mereka, adalah cukup luar biasa.

Setelah sedikit melanjutkan perjalanan yang tersisa, entah pukul berapa karena lagi-lagi lupa mencatat, tibalah aku di puncak yang sebenarnya dari Gunung Gede. Kawah ratu tampak besar berasap di bawah sana. Langit masih memutih dan kabut masih menerpa dinding gunung membelai-belainya. Di sini keadaannya lebih ramai lagi dari di puncak bayangan, puluhan orang memenuhi tanah-tanah terbuka di tepi kawah.

Kunyalakan telepon genggam berbungkus plastik, tetapi segera mati lagi karena kedinginan. Lalu kubuka nasi bungkus yang kubawa dari bawah, menyiapkan air minum, dan mulai makan. Tragedi terjadi ketika telor rebus berbalut cabe tergelincir dari tepi bungkusan dan jatuh tergeletak di atas pasir berbatu. Sambil makan, coba kunyalakan lagi telepon genggam yang sudah kuselipkan di dalam tas dan sempat juga kujepit dalam ketek. Rupanya nyala, maka satu, dua, kemudian tiga potong sms meluncur.

Selesai bungkusan pertama, kulanjutkan bungkus kedua dan selesai pada pukul dua belas tepat, dan sebatang racun sebagai penutup. Kunikmati lagi pemandangan puncak Gunung Gede untuk terakhir kali pada kesempatan itu, untuk selanjutnya mulai berjalan balik menyusuri pasir dan bebatuan lagi. Dua belas lima belas siang.

Pada perjalanan turun, kutemukan pertigaan di mana jalan akan berpisah sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas. Kuambil jalur kanan (yang berarti kiri jika arah naik), tidak melewati tebing terjal dan lebih singkat, tetapi undakan-undakan memang lebih tinggi.

Sampai di Kandang Badak kulepaskan sepatu, kuganti kaos kakiku dengan yang lebih tipis agar ujung-ujung jari kaki tidak terlalu tertekan sewaktu berjalan turun. Ternyata cara ini cukup efektif untuk mengurangi rasa sakit yang muncul selama perjalanan turun. Satu empat puluh lima kakiku mulai menyusuri lagi jalan-jalan panjang menuju Cibodas.

Perjalanan turun kulakukan dengan cukup ngebut karena tidak ada beban berat yang kupanggul, hanya tas kecil berisi dua botol besar air minum, pakaian, jaket, kotak P3K, dan beberapa hal kecil lainnya. Kadang berjalan beriringan dengan orang lain yang tak kukenal, di lain waktu berjalan sendirian mengikuti jalan-jalan berbatu yang panjang.

Sore
Tiga kali sempat kudengar suara guruh di kejauhan, langit pun seluruhnya tampak putih. Mungkin akan turun hujan. Kandang Batu kulalui, Air Panas, kemudian lorong-lorong kecil menyusuri tanah berbatu dalam kebisuan yang hening. Membiarkan diriku mencumbui ketenangan hati dan pikiran yang bersih.

Tiga tiga puluh lima sore tibalah aku di pos Panyancangan. Duduk untuk istirahat sejenak bersama sebatang racun, kemudian turun menuju Cibodas. Di perjalanan sempat mengobrol dengan seseorang yang sama-sama sedang berjalan turun sebelum akhirnya ia meninggalkanku yang berjalan lebih perlahan. Belum selesai separuh perjalanan, hujan tiba-tiba mulai turun.

Hujan belum berhenti ketika aku melewati pos dan kemudian tiba di warung. Kulepaskan tas, mengambil baju kering, kemudian sedikit membersihkan badanku dan berganti baju di WC umum. Nasi dengan lauk yang tidak berbeda jauh dari sebelumnya kupesan, tidak lupa teh manis hangat. Perlahan-lahan hujan berhenti, meninggalkanku yang tengah menikmati makanan sambil memandangi pucuk Gunung Pangrango di kejauhan. Tampak anggun dan indah tak bergeming.

Tiba-tiba terbersit pikiran, apa yang terjadi dengan gunung kesepian dengan lembah Mandalawangi-nya yang sangat indah itu? Apakah sekarang telah hancur lebur seperti Kandang Badak? Semoga saja tidak. Walaupun baru saja turun, langsung muncul lagi keinginan untuk "menjenguk" sang gunung kesepian sewaktu-waktu, melihat kabarnya, membantu membersihkannya jika ada yang dapat dibersihkan, apapun yang dapat dilakukan.

Matahari sore mulai menguning dan hangat, jalan beraspal dibasahi air hujan, dan angin menerpa wajahku yang berada di dalam angkot menuju pertigaan Cibodas. Disambung dengan L-300 menuju Bogor. Aku duduk di depan bersama dengan dua orang perempuan yang tak kukenal. Yang kuketahui dari pembicaraan mereka hanya bahwa mereka berasal dari Bandung dan Cianjur. Di sana kusadari, alangkah manisnya suara logat Sunda Cianjur terdengar di telinga.

Malam
Di sekitar Puncak Pass, kabut turun dan menutupi bumi dengan pekat. Jalan hampir tak terlihat, pandangan hanya beberapa meter, dan hanya terlihat garis putih jalan yang mengkilat. Pada sebuah tikungan, bahkan garis jalan pun sempat tak lagi terlihat. Tetapi untunglah sang supir tampaknya telah mengimani jalan-jalan Bogor-Cianjur dengan segenap jiwa-raganya. Maka selamatlah kami semua di dalam mobil meskipun sang supir pantang menyerah menginjak pedal gas.

Kota Bogor kuhampiri, berjalan sedikit ke terminal, untuk menumpang bus Bogor-Kali Deres. Tiba di Jakarta dan berjalan kaki menuju kosku. Mandi dan kembali lagi pada tugas yang belum terselesaikan, tetapi tertidur sejenak kemudian.

***

Sepotong perjalanan hampir tepat dua puluh empat jam telah selesai.

No comments:

Post a Comment