11 August 2012

Berkabung Nasional

28 Januari 2008 15:06:47

PROLOG

Tujuh hari berkabung untuk wafatnya mantan presiden Soeharto, presiden kedua republik ini. Demikian pemerintah mengumumkan. Diinstruksikan juga untuk mengibarkan bendera setengah tiang untuk menyatakan rasa berkabung, memberi penghormatan terakhir untuk kepergian mantan penguasa Orde Baru, sang Bapak Pembangunan, Jenderal Bintang Lima, the Smiling General, Haji Muhammad Soeharto.



1

Sejak dari sebelum kematiannya, ada banyak, banyak sekali pihak, para tokoh-tokoh masyarakat dan para pejabat-pejabat yang terhormat, yang meminta masyarakat untuk memaafkan Soeharto, meminta pemerintah untuk memberikan pengampunan untuknya, apapun bentuknya.

Dari yang jelas memang kacung setianya semacam Wiranto dan Moerdiono, orang-orang yang pernah mendapatkan kenyamanan darinya semacam Muladi, pejabat-pejabat yang entah bagaimana tetap setia kepada majikan dan dewanya itu semacam wakil ketua MPR A. M. Fatwa, tokoh keagaamaan seperti ketua MUI Ma'ruf Amin, tokoh politik Amien Rais, hingga artis-artis "figur publik" dan tokoh-tokoh lainnya.

Dan ya! Memang sebagian masyarakat pun memaafkannya dengan ikhlas, diikuti dengan ungkapan-ungkapan dan kutipan-kutipan religius nan alim berbahasa Arab, masyarakat memaafkan segala dosa-dosa mantan presiden Soeharto.

Lebih dari itu, sebagian masyarakat malah meminta maaf kepadanya, kepada almarhum Soeharto yang mereka cintai. Mereka meminta maaf atas nama masyarakat Indonesia yang hingga akhir hayatnya tak mampu memaafkannya, yang tetap menghujat-hujatnya, yang tidak dapat melupakan keburukannya, dan tidak sudi mengingat segala jasa-jasanya. Mereka meminta maaf kepada Almarhum Bapak Pembangunan Soeharto.

Memang ternyata masyarakat masih mencintainya. Banyak warga yang berusaha melayat ke kediamannya di jalan Cendana, banyak warga yang langsung berangkat ke Solo untuk mengiringi pemakamannya, suasana sendu berputar-putar di televisi, dan ya, memang bendera setengah tiang terlihat di banyak tempat.



2

Bersama istrinya, seorang pedagang bubur ayam gerobakan melihat di televisi aksi Tramtib menertibkan pedagang-pedagang kaki lima di jalan Diponegoro, Salemba; memukul dan menendang-nendang pedagang yang berusaha memunguti dagangannya. Ia menangis, ia geram, "lihat tuh Bu, lihat tuh! Jahat sekali mereka. Pedagang ditendang-tendang!" Tiga minggu sebelumnya gerobaknya sendiri digaruk Tramtib karena berdagang pada tempat yang tidak semestinya. Ia membuat gerobak yang baru, tetapi tetap ketakutan, sangat-sangat ketakutan. "Bagaimana ya Bu kalau nanti dagangan kita diambil lagi," pagi harinya ia telah ditemukan mati gantung diri.

Gadis kecil berumur tiga tahun mati karena sakit muntaber. Satu kali dibawa ke puskesmas, setelah itu ayahnya tidak mampu lagi membayar empat ribu rupiah sebagai biayanya. Duda beranak dua itu memang hanya seorang pemulung botol plastik dan kardus bekas di Jakarta Pusat. Jangankan pemakaman, ia bahkan tak mampu membeli kain kafan. Sambil menuntun anak laki-lakinya yang berusia enam tahun, ia gendong mayat sang gadis dalam sarung kemerahan ke stasiun Tebet, demi harapan bantuan pemakaman yang layak dari kaumnya di Kampung Kramat, Bogor. Ketika ada yang bertanya mengenai anaknya, “saya jawab anak saya sudah mati dan akan dibawa ke Bogor.” Hasilnya, empat jam ia diinterogasi di Polsek Tebet setelah digelandang seperti pesakitan. Tanpa bantuan apapun dari Polsek maupun RSCM tempat di mana tadinya akan dilakukan otopsi, ia gendong lagi mayat gadis kecilnya untuk akhirnya mendapat bantuan dari sesama kaum melarat.

Seorang pencopet tertangkap polisi. "Saya punya dua anak, yang satu meninggal. Yang satunya lagi minum susunya kuat. Saya tidak punya uang untuk beli susu." Lelaki lulusan SMP ini sebenarnya dulu pedagang kaki lima, berjualan pakaian di pinggiran Pasar Baru, sebelumnya juga pernah menjadi pedagang kain keliling, di kampung-kampung dan di kota. Tetapi berkali-kali pula dagangannya digusur Tramtib. "Apa gunanya saya tutup-tutupi. Saya memang salah karena nyopet, tetapi saya lakukan itu karena enggak ada pilihan. Anak saya perlu susu, istri perlu makan, sedangkan jualan saya digusur terus."

Bidik dan sorot kamera menerangi ruangan. Buruh bangunan berusia muda yang berusaha menjambret itu tertangkap pada percobaan pertamanya. Menjadi bulan-bulanan belasan orang, bibir, mata, dan sekujur badannya luka-lebam. Setelah itu diseret ke kantor polisi, diinterogasi dan kembali menjadi bulan-bulanan, untuk selanjutnya masuk ke dalam sel. Ia menjambret demi biaya aborsi sang kekasih yang hamil.

DPRD DKI Jakarta membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berisi larangan memberi uang kepada pengemis dan membeli dari pedagang asongan. Denda seratus ribu hingga dua puluh juta rupiah, atau kurungan sepuluh hari hingga enam puluh hari bagi yang melanggarnya.



3

Kekuasaan Soeharto merentang sepanjang tiga puluh dua tahun. Sepanjang ia berkuasa (sebagian pihak mengatakan bahkan sejak sebelum kekuasaannya), ia adalah pelaku korupsi. Bersama anak-anaknya, cucu-cucunya, keluarganya, bawahannya, pejabat-pejabatnya, sohib-sohibnya, sobat-sobatnya, teman-temannya, kenalan-kenalannya, dan tidak lupa: istrinya.

Yayasan ini dan itu, dana ini dan itu, perusahaan ini dan itu, perkebunan ini dan itu, pertambangan ini dan itu, proyek ini dan itu, penyelundupan ini dan itu, monopoli ini dan itu, perdagangan ini dan itu, mark up ini dan itu, impor ini dan itu, penebangan hutan yang ini dan yang itu, juga reboisasi yang ini dan yang itu; semuanya mesti ditilep, semuanya tidak boleh utuh, tidak ada yang jujur, pasti dikorup, tidak mungkin tidak, sudah niscaya, puji tuhan: ALHAMDULILAH!

Soeharto, sang penguasa Orde Baru itu, bertakhta pada tahun 1966 setelah kejatuhan presiden pertama republik ini, Sukarno. Untuk biaya pendirian Orde Barunya itu dikorbankan sekitar lima ratus ribu hingga dua juta jiwa manusia, yang dibantai tanpa pengadilan, dengan kesalahan utama adalah karena "diduga komunis". Tanpa pengadilan, baru "diduga", dan "diduga komunis"! Beberapa juta lainnya mengalami berbagai macam perlakuan; diperkosa, disekap, dibuang, disiksa, dijadikan pekerja paksa, dan (lagi-lagi) dibantai di berbagai tempat, terutama di pulau Buru. Cerita-cerita seputar penyiksaan para jenderal, tarian Gerwani, dan berbagai macam KEBOHONGAN lainnya disebarkan melalui koran Angkatan Bersenjata. Diskriminasi terhadap keluarga-keluarga korban, secara resmi dan tak resmi berlangsung jauh setelah ia sendiri turun takhta pada 1998.

Biaya lainnya yang sama-sama tak terbayarkan adalah penghancuran penghentian revolusi ketika ia belum lagi selesai, pembunuhan terhadap karakter, jati diri, dan semangat bangsa yang sedang tumbuh. Ratusan juta jiwa yang baru mulai dapat duduk tegak dan belajar berbangga itu dijadikan kembali bermental tempe dan kacung dan budak, menyeretnya kembali ke dalam kolonialisme, yang mesti termanggut-manggut membungkuk di hadapan kekuatan-kekuatan modal asing.

Maka perlahan-lahan ia jual segalanya kepada kekuatan modal-modal asing tersebut. Gas bumi di Aceh, emas di Papua dan di Sulawesi, juga perkebunan di mana-mana, minyak bumi di sini dan di situ, bahkan rakyatnya sendiri ia jual sebagai buruh-buruh murah demi memasok kebutuhan industri, atau dijual sebagai TKI ke luar negeri supaya pulang setelah diperkosa atau bahkan tinggal menjadi mayat. Rakyat, bumi bangsa ini, yang disebut-sebut sebagai "Ibu Pertiwi"; melalui kekuatan militernya ia paksa sang Ibu Pertiwi mengangkang lebar-lebar supaya dapat diperkosa habis-habisan oleh kekuatan modal. Hasilnya sebagian besar kembali kepada pemodal, sebagian kecil kepada pemerintah Jakarta (yang tidak lupa dikorupsi terlebih dahulu), dan secuil kecil untuk daerah asalnya.

Dan jika ada pemberontakan, atau sekadar kata tidak suka dari daerah asal tersebut, bedil yang akan berkata-kata. Darah berceceran nyawa melayang, di Aceh puluhan ribu orang mati, di Papua ribuan orang mati, diikuti pemerkosaan, penyiksaan, kebohongan-kebohongan yang disebar. Kebudayaan dirusak dan alam dihancurkan.

Memang tidak boleh ada yang mengkritik, tidak boleh tidak senang, tidak boleh protes, apalagi terdengar separatis. Aceh dihajar sepuluh tahun, dan Papua dua puluh tahun karena berujar "merdeka". Di Timor Timur sepertiga penduduknya, ratusan ribu jiwa, melayang dikuras bersih.

Setiap konflik kemudian dijawab dengan bedil. Perebutan tanah, penggusuran, pembangunan ini dan itu, keagamaan, semuanya menjadi mudah: Dalam nama Soeharto yang berkuasa atas setiap bedil yang dipegang oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; sawah-sawah disikat, ladang diduduki, tanah diserobot, yang protes dihabisi, yang membela didor, yang mengabarkan diteror.

Penggusuran-penggusuran membahana; Ciuleunyi Bandung, Raci Pasuruan, Grati Pasuruan, Nyamil Blitar, Kunir Lumajang, Pungguk Blitar, Kunir Lumajang, Pungguk Blitar, Nyinyir Blitar, Sunggal Medan, Tanjung Bulan Sumatera Selatan, Martoba Pematang Siantar, Percut Deli Serdang, Tuntungan Sumatera Utara, Kedung Ombo Jawa Tengah, Pulau Bintan, Agra Binta Cianjur Selatan.

Kematian-kematian merajalela; Petrus, Tanjung Priuk, Makassar, Lampung, Riau, Waduk Nipah, 27 Juli, Marsinah, Udin Bernas, Wiji Thukul, hingga akhirnya penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998.

Semuanya sah-sah saja, semuanya boleh-boleh saja, apapun itu, berapapun biayanya: Demi Tegaknya UUD 1945 dan Pancasila yang Lurus dan Konsekuen, demi Pembangunan Nasional, demi Persatuan dan Kesatuan Bangsa, demi Tetap Utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, demi Keamanan dan Ketertiban, demi Kestabilan Ekonomi, demi BERDIRI DAN TETAP BERDIRINYA REJIM HAJI MUHAMMAD SOEHARTO!

Tetapi akhirnya jatuh juga, setelah kekacauan besar melanda Indonesia, setelah nyawa mahasiswa melayang, setelah gedung MPR-DPR tempat kacung-kacung dan kawan-kawannya biasa mendekam dikuasai rakyat, ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.



4

Sepuluh tahun setelah kekuasaannya diakhiri, ia mati pada tanggal 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, setelah sakit dan terbujur kaku pada perbatasan antara hidup dan mati selama dua puluh empat hari.

Dan ia telah mati: Ketika belum satu kali pun ia masukki jeruji penjara untuk apa yang telah dilakukannya selama berkuasa, ketika ia belum sedikit pun menerima hukuman, ketika harta yang kini dikuasai oleh anak-cucu dan para kroni serta sohib dan sobat-sobatnya belum ada yang dikembalikan kepada rakyat, ketika segala apa yang dirampoknya belum dikembalikan, dan ketika belum ada satupun kejahatannya yang ia pertanggung jawabkan.

Bahkan! Bahkan hingga detik kematiannya tetap belum ada kejelasan resmi apakah ia bersalah atau tidak. Proses pengadilan belum pernah menunjukkan arah yang jelas dan cerah, di mata hukum nama Haji Muhammad Soeharto sang Jenderal Bintang Lima itu tetaplah sebatas "tersangka" yang, berdasarkan asas praduga tak bersalah, tetap saja tidak bersalah. Tidak pernah ada usaha resmi untuk mengungkap kejahatannya di luar urusan korupsi belaka.

Bahkan! Bahkan ia berhasil memenangkan perkara pencemaran nama baik melawan majalah Times!

Bahkan! Bahkan dua puluh empat hari menjelang kematiannya adalah hari-hari di mana ia mendapatkan perawatan yang mungkin adalah perawatan tercanggih yang bisa didapatkan di Indonesia, dengan biaya yang jika dituliskan dalam bentuk angka mungkin akan membuat bingung seorang anak SD! Dua puluh empat hari di mana puluhan dokter mencurahkan segala perhatian dan kemampuan terhadap satu orang tunggal!

Bahkan! Bahkan orang ini mendapatkan upacara militer dan pemakaman resmi kenegaraan!

Bahkan! Bahkan orang ini mendapatkan belasungkawa tujuh hari dari pemerintah!

***

Soeharto belum mempertanggungjawabkan kejahatannya,
belum ada penjelasan dan kejelasan resmi mengenai kasusnya,
belum ada usaha resmi untuk mengungkap "dugaan" kejahatannya yang lain.

Bukan saja hukum tidak mampu menyentuhnya dan dibuat kaku di hadapan senyumannya, bahkan hukum bermain mata dengannya, sementara pemerintah bertekuk lutut, dan sambil sesengukan datang melayat memohon ampun kepada mayat Jenderal Bintang Lima di balik kain putih itu.

Bandingkan apa yang dilakukan hukum dan negara ini kepada rakyat-rakyatnya yang lain!

Berjualan di pinggir jalan digusur!
Karena tidak sesuai dengan perda dan ini dan itu,
karena melawan hukum, karena melanggar undang-undang!
Dan pencopet-penjambret picisan yang mencopet dan menjambret karena kemiskinan ditangkapi!
Dan menggendong mayat gadis kecil karena kemelaratan digelandang seperti penjahat besar!!

Dan kemudian bahkan mereka, para penguasa-penguasa yang terhormat, berpikir untuk membuat peraturan yang melarang memberi uang kepada pengemis dan membeli dari pedagang asongan!

Maka adalah bacot omong kosong murahan bau tengik jika ada yang mengatakan bahwa hukum di negara ini tidak pandang bulu dan netral.

PENJAHAT KEMANUSIAAN ITU!
Diktator militer,
penguasa otoriter,
pembantai jutaan nyawa,
penyengsara jutaan jiwa,

sang tiran!

Ia mati dengan tenang! Setelah dilayani bagai raja, tanpa sedikitpun menyicipi penjara, TANPA pertanggungjawaban apapun atas perbuatan-perbuatannya! Apapun! Tidak satupun!

Hukum di negeri ini mandul!
Pemerintahnya cabul!

Mereka hanya mampu dan mau mengurusi pedagang kaki lima, pencopet, penjambret, dan bapak yang menggendong mayat anaknya!

Dan mereka, dengan tanpa malu-malu dan tanpa ditutup-tutupi baru saja memperlihatkan sebuah pertunjukkan paling memuakkan kepada seisi dunia!

Dan mereka, menyatakan berkabung selama tujuh hari untuk seorang penjahat kemanusiaan!!

Maka mereka, baru saja mempertunjukkan siapa diri mereka sebenarnya.



EPILOG

Aku menolak untuk berkabung, aku tidak sudi menyediakan belasungkawa untuknya dan keluarganya. Sedikitpun tidak.

Aku mengutuk hukum dan penguasa negara ini yang secara luar biasa vulgar telah memperlakukan rakyatnya secara sangat-sangat-sangat tidak adil.

Aku akan mengingatkan, lagi dan lagi, untuk tidak lupa pada sejarah, untuk sadar dan selalu ingat: Tangan Soeharto sang Bapak Pembangunan itu berlumuran darah berjuta-juta rakyat negeri ini!

No comments:

Post a Comment